DUA

62 5 0
                                    

Bee adalah sahabat kecilku. Seorang gadis mungil yang suka sekali mengoleksi sepatu. Tersusun rapi dalam sebuah lemari raksasa di kamarnya. Dikeluarkan sebulan sekali untuk dibersihkan.

Aku tak pernah melewatkan ritual kecil itu. Minggu pagi, aku akan datang ke rumahnya yang hanya satu blok dari rumahku sambil membawa bakpao isi kacang hijau hangat buatan ibuku. Kudapan kesukaan Bee.

Saat sampai di rumahnya, tidak akan ada yang melarangku untuk langsung menerobos masuk ke dalam kamar Bee karena rumahnya sudah seperti rumah kedua bagiku. Sama seperti rumahku yang selalu menerima kehadirannya.

Biasanya aku akan menemukan Bee masih bergelung di atas ranjangnya dengan selimut yang sudah terlempar jatuh ke lantai dan bantal yang terlepas dari sarungnya.

Entah bagaimana caranya, Bee akan bangun dengan sendirinya jika sudah mencium aroma bakpao di tanganku. Dia akan bangkit, tanpa menyapaku, langsung menyambar kantong bawaanku dan melahap isinya tanpa repot-repot menyisir rambut, membasuh muka, atau menggosok gigi terlebih dahulu.

Aku tak akan banyak protes. Selagi menunggu Bee menghabiskan sarapannya, aku akan menikmati suasana kamarnya yang bersih dan rapi. Kontras dengan ranjang dan pemiliknya yang sudah seperti korban bencana alam.

Kamar Bee didekorasi dengan warna dominan cokelat, memberi kesan hangat ketika memasukinya. Langit-langitnya berbentuk diagonal, membuat kamar itu tampak tak simetris.

Ada satu rak superbesar yang dibuat menyatu dengan tembok agar tidak memakan banyak tempat. Terdiri dari lima tingkat, melintang sepanjang tombok tempatnya bersandar. Diisi dengan begitu banyak koleksi buku yang semuanya sudah kami baca berulang-ulang.

Kami memang suka membaca sejak kecil. Berawal dari buku dongeng tentang Serigala dan Tiga Ekor Babi, lalu beranjak ke buku-buku Science-Fiction seiring dengan umur kami yang semakin dewasa. Tapi favorit kami adalah novel-novel detektif.

Waktu kecil, kami sering menciptakan teori-teori kami sendiri. Kami begitu percaya dengan monster di bawah ranjang, zombie di tengah gelap, drakula di balik lemari, juga peri gigi. Tapi keyakinan-keyakinan itu malah sering membuat kami sulit tidur sehingga biasanya kami akan berkirim pesan singkat tentang ketakutan kami, atau membahas buku detektif yang sudah kami baca ribuan kali sampai kami lupa dengan makhluk-makhluk fiksi itu karena kantuk. Lalu, kami akan meninggalkan pesan berbalas kalimat "see you".

Janji untuk bertemu lagi esok hari.

Aku suka konsep itu. Biasanya jika bertemu keesokan harinya, usai pulang sekolah, kami akan bercerita heboh di kamarnya. Duduk berhadapan di depan jendela raksasa yang dibuat menjorok ke luar sehingga menyisakan ruang yang lebih luas untuk diisi alas empuk dan bantal-bantal kecil. Tempat kami menghabiskan waktu untuk berdiskusi, curhat, membaca buku, atau hanya diam melihat ke luar jendela. Mengagumi matahari.

Kembali ke Bee. Jika ia sudah menghabiskan sarapannya dan aku sudah puas menikmati suasana kamarnya, kami akan sama-sama mengeluarkan koleksi sepatunya satu persatu, lalu mengelapnya dengan selembar kain.

Sepatu-sepatu Bee bukan hanya koleksi belaka. Ia juga sering menggunakan sepatu-sepatu itu untuk bepergian. Model sepatunya tak banyak berubah. Hanya sneakers berbagai warna yang beberapa sudah bulukan, tapi masih tetap digunakan. Oh, ia juga punya beberapa pasang boots dengan warna yang selalu sama, cokelat.

Secara keseluruhan, yang bisa kuceritakan tentang Bee adalah ia suka sekali mengoleksi sepatu dan ia juga pecinta buku.

"Jadi dia yang bikin kamu terobsesi sama sepatu sampai melototin sepatu orang-orang yang lewat?"

Aku meringis, membenarkan ucapan Merly. Bee adalah orang yang membuatku tergila-gila pada sepatu. Aku ingat dulu Bee pernah berkata "Sepatu itu bukan cuma alas kaki semata, tapi sudah jadi bagian dari hidup manusia. Bahkan ada juga yang menggunakan sepatu untuk memprediksi sifat pemakainya. Kalau menurutku, sepatu akan membawa kita pada diri kita yang sebenarnya."

SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang