Malam sudah semakin merangkak larut. Tapi, aku dan Merly masih betah di coffee shop ini. Mengisi ulang kopi sampai tiga kali tanpa berniat untuk beranjak dan pergi.
Merly tak merespons ketika kuceritakan bagaimana Bee memperlakukanku sebagai pecundang. Ia diam saja. Mungkin kehabisan komentar. Atau juga bingung menanggapi situasi yang kualami.
"Itu ...." Kalimatnya menggantung. Tak jadi diselesaikan. "Pasti sulit banget, ya, buat kamu."
Aku mengangkat bahu dengan enggan. Sebenarnya hal yang paling sulit bukan saat di mana Bee berbalik menyerangku, tapi kenyataan bahwa ia sudah bukan lagi sahabatku. Kenyataan bahwa aku sudah tidak bisa lagi menggapainya. Kenyataan bahwa aku kehilangan sahabat kecilku. Kenyataan-kenyataan itu yang sampai saat ini kusesali. Membuatku bertanya-tanya.
Kenapa harus Bee? Di antara miliaran manusia, kenapa harus Bee yang berbalik kemudian menjauh?
"Well, hidup itu penuh kejutan, Rex." Ucapan Merly membuatku sadar, aku baru saja menyuarakan isi otakku. "Kamu pernah tanya kenapa dia berubah?"
Apa aku pernah bertanya? Oh, ya! Tentu saja! Aku pernah bertanya. Tepatnya setelah insiden 'siraman' di sekolah. Aku berderap ke rumahnya, bersiap untuk marah, tapi kemudian tertegun sendiri saat Bee tak menerimaku dengan baik.
"Ngapain lo kemari?"
Ketika kuutarakan pertanyaanku, ia malah tertawa meremehkan.
"Lo masih nanya? Hello, Rex! Lo nggak capek apa jadi bahan ejekan anak satu sekolah?"
Aku menggeleng tegas. Memang aku tidak lelah. Karena selama Bee di sampingku, selama kita melewatinya bersama, kurasa kami tak akan lelah. Tapi ternyata ....
"Gue bukan lo, Rex." Kali itu nada suaranya terdengar putus asa. "Gue bukan lo yang bisa cuek bebek sama semua gangguan itu. Gue selama ini diam karena gue pikir gue akan baik-baik aja kalau gue lewatin itu semua sama lo. Gue pikir semuanya akan tetap indah. Tapi nggak, Rex. Gue capek. Gue capek jadi olok-olokkan. Gue capek jadi makhluk aneh yang dihindari seolah gue bawa penyakit menular. Gue capek jadi alien kayak lo!"
Waktu itu aku menunduk dan melihat ia sudah tak lagi menggunakan snearkes lusuhnya. Ia menggantinya dengan sepasang heels tujuh centimeter berwarna merah jambu. Dengan itu, persahabatan kami benar-benar berakhir.
Aku menghela napas pelan. Menceritakan hal-hal semacam ini ternyata lebih melelahkan dibanding lari maraton berbulan-bulan.
Merly mengaduk kopi di cangkirnya yang sudah dingin. Ia sepertinya juga tidak berniat menyesap isinya. "Kamu marah sama Bee?"
Aku tertegun sejenak. Apa aku marah? Tentu saja!
Siapa pula yang tidak marah jika diperlakukan seperti pecundang oleh sahabat yang sudah kamu kenal luar dalam. Dalam keadaan seperti itu, kurasa akan dengan mudah aku membenci Bee. Dan dengan begitu, akan lebih mudah pula aku melupakan persahabatan kami.
Tapi yang terjadi tidak begitu. Semakin aku mencoba untuk membencinya, yang terjadi justru sebaliknya. Aku semakin mengingat hari-hari persahabatan kami sampai rasanya ngilu sekali.
Merly diam saja. Ia menatapku serius seolah bisa melihat ke dalam hatiku dengan benderang. "Kamu jatuh cinta sama Bee."
Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Telak. Tepat. Benar.
"Ya." Jika ditembak seperti itu dua tahun lalu, aku akan menampik mati-matian. Tapi ketika aku menampik, yang terjadi selanjutnya malah lebih parah.
Aku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta pada gadis cilik yang sudah menjadi sahabatku sejak kami masih balita. Aku jatuh cinta pada gadis cilik yang menyukai kisah-kisah detektif. Aku jatuh cinta pada gadis cilik yang mengoleksi sneakers berbagai warna. Aku jatuh cinta pada Bee yang kini berbalik membenciku untuk satu alasan yang entah apa.
Tidak ada keraguan untuk itu. Aku mencintai Bee dengan sadar sesadar-sadarnya. Bahkan meskipun ia sudah tak ingin melihat wajahku lagi.
Entah dari mana perasaan itu muncul, aku merasa tubuhku berfungsi dengan benar jika Bee bersamaku. Dan, sama sekali tak berfungsi ketika gadis itu pergi.
Fred pernah bilang, "Nggak ada yang namanya cewek sama cowok cuma temenan doang. Kalo nggak salah satunya, ya pasti dua-duanya saling jatuh cinta."
Dulu aku tak percaya. Tapi sekarang, aku yang menjadi bukti nyatanya.
"Kenapa kamu nggak ungkapin?"
Aku tertawa keras, membuat Merly menatapku tak mengerti. Tawa getir yang menyedihkan. Aku benci kenyataan ini.
"Udah nggak berguna! Nyatain cinta sama orang yang jelas-jelas benci sama lo adalah kekonyolan paling bego yang bisa dilakukan manusia. Lagipula gue nggak tau Bee gimana sekarang. Abis lulus SMA, dia kuliah di Bandung. Sejak saat itu, gue nggak pernah ketemu lagi sama dia."
"Menurutku Bee nggak benci sama kamu."
"Siapa peduli? Benci atau nggak, kenyataannya toh dia udah pergi. Dan, gue nggak bisa apa-apa." Aku mengernyit ketika memikirkan sesuatu. "Kata abang gue, cara paling ampuh buat lupain cewek adalah dengan cari cewek lain. Makannya dia ubah penampilan gue mati-matian, terus bikin program blind date kayak gini buat gue."
Merly tertawa lebar, membuat taringnya yang gingsul terlihat. "Jadi itu sebabnya kamu terdampar di tempat ini?"
"Ya." Aku ikut tertawa. "Gue seneng bisa ngobrol sama lo, Merly. Dan, gue serius tentang lo yang adalah perempuan pertama yang betah berlama-lama sama android ini."
"Well, kayaknya aku juga perempuan pertama yang kamu ajak ngobrol seserius ini setelah Bee."
Aku tersenyum kecut, membenarkan ucapannya.
"Omong-omong, Rex." Merly melirik jam tangannya, kemudian menepuk-nepuk pahanya sendiri. "Ngobrol sama kamu itu bikin lupa waktu, tahu nggak. Udah malem, nih, aku harus pulang."
Aku terkejut sendiri melihat arloji yang menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah berapa lama aku bertahan di sini? Kenapa rasanya baru sebentar?
"Biar gue antar pulang."
"Nggak usah, Rex. Aku bisa pulang sendiri."
Merly beranjak dari duduknya. Aku turut bangkit, kemudian mengikutinya keluar dari coffee shop setelah meninggalkan uang di meja.
"Jadi ...." Gadis itu berhenti di pintu depan sambil menatapku dengan senyum lebar. "Malam yang seru, Rex."
Aku mengangkat sebelah bahu. Merasa bersalah karena malah curhat ngalor-ngidul tentang gadis lain bersama date-ku. "Kayaknya yang tadi itu lebih mirip talkshow, deh, ketimbang blind date."
Merly tertawa ringan. Sama sekali tak marah. "Aku senang, Rex. Kita baru ketemu beberapa jam, tapi rasanya aku udah kenal kamu bertahun-tahun."
Benar. Mengobrol dengan Merly seperti berbincang dengan teman lama. Padahal biasanya aku paling tidak bisa bicara banyak. Apalagi bersama orang asing.
Taksi Merly sudah datang. Ia bersiap masuk ketika kuhentikan. "Apa kita akan ketemu lagi?"
Gadis itu tersenyum manis sekali, kemudian menyerahkan sebuah gantungan kunci berbentuk cangkir padaku. Aku menerima benda itu dengan bertanya-tanya.
"Aku berharap bisa ketemu kamu lagi, Rex. Tapi kalaupun nggak, aku harap benda itu bisa ngingetin kamu tentang aku. Perempuan yang nemenin kamu menghabiskan tiga cangkir kopi tanpa bosan."
Merly masuk ke dalam taksi, lalu menurunkan kaca jendelanya. Aku menunduk untuk mendengar ia bicara. "Aku serius, Rex. Aku yakin Bee nggak pernah benci sama kamu."
Dengan itu, Merly melesat membelah malam, meninggalkan aku yang terpekur sedirian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPATU
Teen FictionBagi Rex, dunia adalah tumpukkan buku-buku dongeng dan misteri. Baginya pula, dunia adalah Bee, gadis manis yang mengoleksi banyak sekali sepatu di rumahnya. Sedangkan sekolah adalah tempat dimana seharusnya ia tidak pergi. Karena di sanalah mimpi...