TIGA

42 4 5
                                    

Perubahan itu berawal saat kami akan masuk ke SMA. Tubuhku semakin jangkung. Meski sudah tak menggunakan celana kodok lagi, mereka tetap menganggapku cupu. Mungkin karena kacamata out of date yang kukenakan. Entahlah, aku juga tidak tahu.

Waktu itu aku baru pulang dari rumah Kakek dan Nenek. Aku langsung melesat ke rumah Bee sambil membawa lari sekantong besar buah mangga yang sudah ranum. Berniat menghabiskannya bersama Bee sambil membaca ulang kisah-kisah Harry Potter. Tapi, yang kudapati ketika memasuki kamarnya adalah sesuatu yang sangat mencengangkan.

Ruangan yang dulunya didominasi warna cokelat kini sudah berganti warna menjadi pink dan biru. Bantal-bantal di depan jendela sudah diganti dengan boneka-boneka berbagai bentuk dan ukuran. Kamar itu sudah tak lagi menyimpan aroma vanili. Sama seperti pemiliknya yang tiba-tiba menguarkan harum strowberry.

Kupikir aku salah masuk kamar. Ternyata tidak. Aku mendapati Bee ada di sana sedang mengepak buku-buku koleksinya ke dalam sebuah kardus raksasa, siap dipindahkan ke gudang. Begitupun dengan koleksi sneakers-nya.

Semua itu digantikan dengan novel-novel roman dan jajaran high heels serta flat shoes dengan warna feminin. Bajunya sudah tidak lagi gombrong. Ia lebih suka mengenakan dress atau baju-baju girlish yang pas badan. Seketika itu, Bee sudah bukan Bee lagi.

"Bayangin aja! Koleksi novel detektif luar biasa karya Agatha Christie diganti sama novel-novel romance yang mengagung-agungkan kosep Happily Ever After!"

"Perubahan itu hal wajar, kan?" Merly kembali berkomentar, "Lagipula di umur segitu, Bee lagi dalam masa puber. Wajar, lah, kalau dia mau mengubah penampilannya jadi lebih feminin."

Aku mendengkus sekali. Menelan pil pahit yang tiba-tiba saja tercipta di tenggorokkanku. "Kalau perubahannya cuma sampai situ, gue juga masih bisa maklum. Sayangnya, nggak, Merly."

"Maksud kamu?"

***

Awal masuk SMA, Bee yang dengan penampilan baru langsung bergabung dengan tim cheers, membuatnya banyak dikenal dan disenangi orang-orang. Bee jadi begitu ceria, mudah bergaul, juga ... cantik.

Aku mengakui fakta yang terakhir. Ia sudah menjadi gadis cantik. Giginya sudah tidak berkawat. Rambutnya sudah dibiarkan melewati bahu, terlihat halus sekali. Ia juga sudah tak tampak macam orang terserang demam. Wajahnya lebih sering merona karena polesan blush on di pipi, juga gincu warna peach di bibir. Tubuhnya yang mungil malah semakin membuat ia terlihat lincah dan menyenangkan. Bee mendadak populer.

"Bagus, dong. Seenggaknya dia nggak akan di-bully lagi."

Aku tersenyum miris. "Ya. Dia emang udah nggak di-bully lagi karena justru dia yang bully gue."

Dengan Bee yang masuk ke kalangan anak populer, ia juga menaikkan derajatnya. Ia jadi tertular penyakit jijik jika melihat orang-orang sepertiku, padahal ia sendiri pernah berada di posisi itu.

Bee ikut menindasku. Waktu itu aku dikerjai anak-anak satu kelas. Disiram dengan seember air dari kolam ikan tanpa kutahu apa yang membuat mereka melakukan itu. Kaca mataku memburam. Pandanganku memang tidak terlalu jelas. Tapi aku yakin, saat itu aku melihat Bee ada di sana, ikut menertawakanku dengan tawa paling lebar yang pernah keluar dari mulutnya.

Ia lalu berjongkok di depanku, menatapku tajam, kemudian berkata dengan sangat kejam, "Loser!"

Hari itu adalah hari terakhir aku melihat Bee sebagai sahabat. Hari di mana kami berhenti menjadi teman. Hari di mana Bee naik kasta menjadi putri kerajaan, sedangkan aku tetap menjadi alien. Hari di mana aku kehilangan Bee.

***

SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang