LIMA

59 5 9
                                    

Pagi harinya, aku bangun dengan kantung mata mengerikan karena tak bisa tidur semalaman. Bercerita tentang Bee membuatku memikirkan gadis itu lebih keras dari biasanya sehingga aku masih mengantuk saat sarapan. Tepatnya saat Fred memberiku kultum di pagi buta karena aku tak memiliki nomor ponsel Merly, yang menurutnya adalah hal paling tolol. Siapa peduli? Untuk membuka mata saja aku tak sanggup.

"Lo itu bego atau apa, sih, mempertaruhkan hidup dan mati buat satu orang yang entah masih kenal sama lo atau nggak?"

Aku tertohok tapi tak berniat untuk komentar. Aku sudah pernah mendebatkan hal ini dengan Fred. Hasilnya sama saja. Dan, aku sama sekali tak ingin mengulang perdebatan alot dengan Fred yang sama sekali tak mau mengalah.

"Gue udah cukup menyedihkan tanpa lo bego-begoin." Aku bangkit, bersiap menuju toko sepatuku. "Ini urusan gue, Fred. Mending lo nggak usah ikut campur."

Aku pergi meninggalkan Fred yang masih bersungut-sungut di belakangku. Entah karena ucapanku, entah karena aku menanggalkan softline dan menggunakan kacamata bututku lagi.

Sampai di toko, aku langsung duduk di kursi, melepas kacamataku, lalu merebahkan kepala di meja kasir. Sebenarnya ini masih terlalu pagi dan toko belum buka. Pegawai pun masih belum datang semua. Aku hanya ingin melanjutkan tidur tanpa diganggu. Rasanya sangat-sangat lelah.

Memikirkan Bee benar-benar menguras tenaga. Sekujur tubuhku serasa runtuh. Aku butuh tidur. Benar. Aku butuh tidur. Dalam hati, aku berdoa. Semoga saja aku tak memimpikan Bee.

Namun, sepertinya permintaanku tak dikabulkan. Bahkan dalam mimpi pun aku bisa membaui aroma vanili khas milik gadis itu. Oh, juga suaranya yang memanggil namaku. Ini benar-benar menyedihkan.

Aku melenguh kesal. Kenapa gadis itu terus menggangguku bahkan ketika aku sedang istirahat dan ingin melupakannya? Gadis itu sungguh egois! Tidak bisakah ia biarkan aku tenang sebentar saja tanpa memikirkannya?

Dalam mimpiku, aku bisa merasakan gadis itu mengitari meja kasir, kemudian berdiri di sampingku. Tangannya terulur untuk menyentuh bahuku, dan seketika itu pula, aku merasakan aliran listrik menyengatku hingga aku berpikir, apa ini mimpi?

"Rex! Bangun!"

Aku membuka mata perlahan. Bersiap untuk bangun dan kembali pada kenyataan bahwa Bee tidak ada di sisiku lagi.

"Bangun, Rex!"

Sejurus kemudian, aku merasakan tubuhku diguncang hebat, membuatku duduk dengan tegak. Oh benar. Ini bukan mimpi. Seseorang sedang merusak tidurku. Namun, aku masih membaui aroma vanili yang familier. Aku jadi sangsi. Aku sudah bangun atau belum?

"Rex, lo tidur jam berapa sih semalam?"

Aku kenal suara itu. Suara milik ... "Bee?"

Aku membuka mata lebih lebar. Mencoba mengenali gadis di hadapanku dengan masih bertanya-tanya. Aku sudah bangun atau belum? Namun, hal itu sama sekali tak membantu. Pandanganku buram. Di mana kutaruh kacamataku?

Aku meraba meja di sampingku, mencari kacamataku. Setelah dapat, aku mengenakannya. Aku mengerjap sejenak untuk menyesuaikan pengelihatan, kemudian terkejut sendiri melihat siapa yang ada di hadapanku.

"Bee?" Desisku lihir.

Gadis itu berdiri di sana. Rambutnya terurai panjang. Lurus dan terlihat halus sekali. Pipinya merona oleh polesan blush on. Bibirnya berwarna peach.

"Iya, gue Bee."

Kalimat pembenaran itu membuatku bangkit dengan tiba-tiba, meyakinkan diri sekali lagi. Aku sudah bangun, kan?

"Lo sekarang lebih tinggi, ya? Gue berasa pendek banget kalo deket-deket sama lo." Gadis itu mundur dua langkah, tapi aku masih bisa menghirup aroma vanili dari tubuhnya.

"Bee?"

Untuk ketiga kalinya, aku hanya bisa menyebutkan nama itu. Terlalu terkejut untuk memikirkan kalimat yang lebih cerdas.

Benarkah ini Bee? Gadis itu di sini? Gadis itu datang? Apa gadis itu sudah tidak marah padaku? Apa ucapan Merly semalam benar? Apa Bee tidak membenciku? Apa gadis itu mau berteman lagi denganku?

"Iya, Rex. Gue Bee. Lebah kecil lo." Gadis itu tersenyum cerah sekali. "Dulu gue pernah bilang, sepatu akan membawa kita pada diri kita sendiri. Awalnya gue pikir kehidupan gue ada pada heels. Tapi ternyata gue salah. Kehidupan gue ada pada sepatu ini. Dan, sepatu ini yang bawa gue kembali ke lo."

Aku mencerna kalimatnya yang terdengar ambigu, kemudian menunduk untuk melihat alas kakinya. Seketika itu juga, aku tahu. Aku sedang tidak bermimpi, gadis di hadapanku adalah Bee dan ia sudah kembali. Gadis sepatuku sudah kembali.

Aku yakin sekali.

Karena ia mengenakan Sneakers.

TAMAT

Hi!

Terima kasih karena sudah membaca cerita saya ini.

Sebenarnya saya membuat cerita ini karena terinspirasi dari novel Winna Efendi yang berjudul "Happily Ever After". Bagi yang sudah pernah membaca novel tersebut, tentunya tidak akan asing ketika membaca cerita saya ini.

Saya hanya ingin membuat sebuah kisah yang sederhana meski mengangkat topik yang lumayan berat (menurut saya deskriminasi itu kasus berat).

Sekali lagi terima kasih karena sudah membaca, dan jangan lupa untuk voment.

Nariana

Kamis, 6 Oktober 2016

21:44

SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang