Mysha's POV
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sepuluh pagi. Belum terlalu lama dari sarapan tadi tapi aku sudah mulai merasa lapar. Berkali-kali aku menahan kantuk karena semalaman aku begadang untuk membuat daftar barang-barang yang harus dibeli untuk diisi di rumah baruku dan dimana aku bisa mendapatkannya.
Sambil mencomot roti cokelat yang tadi sempat kubawa dari hotel, aku melihat contoh furniture yang ditampilkan di display studio, ditemani oleh seorang SPB yang semangat menjelaskan apa saja yang tokonya bisa buat. Kelebihannya dari toko ini kita bisa membuat sendiri desainnya karena disediakan desainer interior. Tapi rasa kantuk yang semakin lama semakin intens, dan aku dikelilingi kasur-kasur yang sedari tadi memanggilku untuk ditiduri, aku memutuskan untuk keluar dari toko dan mengataan akan menghubungi kembali nanti.
Langit siang ini mendung, membuat kantukku semakin menjadi-jadi. Langkah kakiku membawaku ke kedai kopi, aku sangat membutuhkan asupan kafein saat ini. Dan juga sepotong cinnamon roll yang terlihat menggiurkan itu.
Sebelum memutuskan untuk berhenti kuliah, aku memikirkan apa yang bisa aku lakukan dan membuka kafe ada di urutan teratas. Dan akhirnya aku memantapkan untuk membuka kafe saja di Jakarta. Meskipun jarang, tapi aku jago membuat pastry. Setelah mencari-cari toko yang bisa kusewa, aku menemukan sebuah rumah yang lantai satunya dulu dibuat menjadi warung makan oleh pemilik rumah sebelumnya. Dan dari foto-foto yang kulihat di aplikasi properti, rumah ini menarik perhatianku. Meksipun ternyata setelah kulihat langsung, banyak yang harus dikerjakan.
Aku sudah memikirkan konsep untuk kafe dan rumahku. Sebelum ini aku membayangkan mendesain konsep rumah tinggal dan mencari furniture dan segala macamnya akan menjadi menyenangkan, tapi ternyata...
Aku membuka buku, melihat coret-coretan yang kubuat semalam. Denah perabotan rumah beserta konsepnya.
"Iced Caffe Latte pesanan atas nama Mbak Mysha sudah jadi." Aku menengok ke arah mas waiter dan tersenyum. Aku bangun dari dudukku dan mengambil segelas caffe latte dingin yang tampak segar. Dengan cepat minumanku sudah habis setengah. Padahal hari ini tidak sepanas kemarin saat aku baru menginjakkan kakiku di Jakarta.
Aku memandangi lagi coret-coretan di kertas dan caffe latteku bergantian. Aku teringat sesuatu, aku belum memikirkan nama kafe yang akan kubuat ini.
Caffe latte?
Hmm...
Sepasang kekasih masuk ke dalam kedai kopi. Saat sang pria berjalan melewati kursiku, dia sempat mengerling ke arahku. Aku langsung membuang muka. Gila, laki-laki jaman sekarang genitnya nggak ketulungan banget.
Ah! Aku mendadak mendapatkan ilham untuk nama kafeku.
KAFELATTE!
Kafelatte terdengar bagus, kan? Aku menulis kafelatte besar-besar di atas kertas.
Kemarin aku sudah melihat tempat yang akan kujadikan kafe. Tidak begitu besar, tapi menurutku itu malah lebih baik. Karena aku memang tidak berniat membuka kafe besar. Ah, semangatku mulai muncul kembali. Aku mengambil ponsel dan mencari kontak teman semasa kuliah dulu—yang sekarang sudah menjadi seorang desainer interior. Aku baru saja akan memencet tombol "menghubungi" namun aku merasa sedikit ragu.
Tapi mengingat aku tidak sanggup mengerjakan semuanya sendiri, aku akhirnya menghubunginya.
- K A F E L A T T E -
Satu jam kemudian aku sudah berada di daerah Sudirman. Jalanan tidak begitu padat, malah hampir lancar. Aku dan Arven memutuskan untuk ketemuan di Pacific Place. Masih ada waktu sampai nanti aku bertemu dengannya. Perutku sudah keroncongan jadi aku memutuskan untuk makan duluan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFELATTE
RomanceDua perempuan dan satu orang laki-laki dengan latar belakang dan problema masing-masing tinggal di satu atap! Mereka yang sama-sama sedang krisis harapan kemudian menemukan perspektif baru mengenai dunia yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya. ...