10 - Malam Penuh Kenangan

74 20 7
                                    


Alva sudah menyiapkan semua ini dengan tangannya sendiri dibantu oleh temannya dan juga Veno, sahabatnya. Alva harus berterima kasih kepada pria itu, karena pria itu sudah mau membawa Wulan untuk menemui dirinya.

Malam ini Alva mengajak Wulan kesebuah pasar malam. Wulan yang sedari tadi diam saja mulai menunjukan raut wajah sebalnya. Kenapa juga Alva harus mengajaknya ke pasar malam? Apa tidak ada tempat lain yang bisa dikunjungi?

Setelah mereka memasuki pasar malam, Alva terus saja menarik tangan Wulan ke tempat area permainan. Wulan hanya bisa pasrah mengikuti kemanapun Alva membawanya. Wulan sebenarnya ingin protes pada pria itu, tapi mengingat malam ini adalah malam terakhir baginya untuk menghabiskan waktu berdua dengan Alva jadi Wulan memutuskan untuk menuruti semua yang Alva mau.

"Kita naik itu yuk!" ajak Alva kepada Wulan. Wulan membulatkan matanya. Alva tidak seriuskan?

"Lo.. Lo gak serius ngajakin gue naik biang lala, kan?" keringat dingin hampir memenuhi sebagian wajahnya yang tiba-tiba menjadi pucat pasi. Alva tidak memperdulikan ucapan Wulan, ia segera menarik Wulan menuju tempat pembelian karcis.

"Dua, ya mba!" Penjaga karcis kemudian menyerahkan dua lembar karcis kepada Alva. Alva menerimanya, lalu menyerahkan uang satu lembar lima puluh ribuan.

***

"Al, lo mau buat gue mati, ya?" Wulan berjalan dengan agak sempoyongan. Percis seperti orang yang sedang mabuk, ya dia memang mabuk. Mabuk permainan.

"Tadi itu seru tau." sebenarnya kondisi Alva juga tidak berbeda jauh dengan dirinya. Tapi, mungkin dia tidak mau menunjukan wajah pucatnya pada Wulan. Entah kenapa tadi tiba-tiba saja dia malah mengajak Wulan menaiki wahana biang lala. Padahal dirinya sendiri tidak begitu yakin bisa menaiki wahana tersebut.

"Alahhh... dari tadi yang teriak-teriak gak jelas. Plus pegang tangan gue siapa?" Wulan dan Alva memutuskam untuk duduk disebuah bangku yang di belakangnya terdapat pohon besar yang daunnya begitu rindang.

Alva mendengus sebal, mendengar ucapan Wulan yang seakan sedang memojokannya, "gue. Puas lo?" Wulan tersentak mendengar ucapan Alva dengan nada emosinya.

Wulan tidak bermaksud untuk membuat pria itu menjadi marah seperti saat ini. Padahal, seharusnya yang marah itu dirinya, mengapa jadi Alva yang marah padanya?

"Alva..." Wulan mencoba untuk memanggil pria itu dengan selembut mungkin. Alva tidak merespon sama sekali. Membuat Wulan menghela nafas beratnya.

"Alva! Please maafin gue!" pinta Wulan dengan nada yang terdengar seperti lirihan. Alva, sebenarnya tidak benar-benar marah dengan gadis itu. Dan kalian taukan kalau dia itu tidak akan bisa berlama-lama marah pada Wulan.

Alva membalikkan tubuhnya sehingga menghadap ke arah Wulan yang sedang menunduk. Alva memegang ke dua pipi Wulan, memaksa Wulan untuk menatap wajahnya.

"Gue yang seharusnya minta maaf sama lo. Gak seharusnya gue maksa lo buat naik wahana itu. Lo maafin gue, kan?" Alva melepaskan kedua tangannya dari pipi gadis itu.

Wulan tersenyum, lalu mengangguk.

"Gue maafin lo. Asalkan dengan satu syarat!" Alva menautkan ke dua alisnya, "apa?"

"Lo, harus janji sama gue. Lo harus kembali sama gue. Dan setelah lo kembali, lo gak boleh pergi lagi walaupun dengan alasan apapun juga."

"Gue..." Alva seakan berat untuk mengucapkan bahwa sebenarnya ia tidak bisa mengucapkan janji yang Wulan ajukan padanya. Bukannya tidak mau hanya saja Alva tidak yakin ia bisa menepati janjinya nanti kepada gadis itu.

"Lo janjikan?" tanya Wulan lirih, meminta kepastian dari pria itu.

Alva tidak bisa berkata-kata, seolah ada yang menghalangi tenggorokannya untuk mengucapkan sesuatu.

Wulan masih menunggu pria itu mengucapkan sesuatu, tapi sampai beberapa menit ke depan ke duanya saling terdiam sampai akhirnya. Alva meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

"Gue gak bisa janji sama lo. Karena gue gak tau, gue bakalan kembali lagi ke Indonesia atau gak. Setelah tugas gue dari Rizky selesai. Gue tetap harus menetap di sana. Lo taukan orang tua gue pengen gue kuliah di luar negeri? Tapi, lo tenang aja. Gue bakalan usahain permintaan lo yang satu itu terwujud." Wulan sudah tidak bisa lagi menahan air matanya yang seakan berlomba keluar dari matanya, meluncur begitu saja membasahi pipinya.

Alva menyadari gadis itu menangis, karena kemeja yang dia pakai sedikit basah. Tapi, dia hanya membiarkan gadis itu mencurahkan seluruh perasaannya dengan cara menangis. Alva semakin mempererat pelukannya. Membuat Wulan merasa nyaman berada di pelukan pria itu.

***

Alva hampir lupa tujuan awal ia membawa Wulan ke tempat ini. Untung saja ia dengan cepat mengingatnya kembali.

Sekarang Alva sedang membawa Wulan kesebuah tempat yang masih berada di dalam pasar malam yang sudah ia setting sedemikian rupa dengan sedikit bantuan dari Veno.

Wulan menatap ke arah depan, dimana di sana terlihat sebuah danau dan di atas danau tersebut terdapat saung yang sudah didekorasi dengan berbagai macam hiasan, membuat saung itu nampak seperti sebuah tempat yang sangat indah.

"Ayo kita ke sana!" Wulan mengangguk, Alva lalu meraih tangan Wulan dan menautkan seluruh jarinya dengan jemari mungil gadis itu.

Wulan merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Debaran yang dulunya tak pernah ada, tiba-tiba saja muncul dengan sendirinya. Bahkan Wulan yakin jika, Alva memeluknya pria itu bisa mendengar debaran jantungnya yang seakan sedang berpesta.

Alva mempersilahkan gadis itu untuk duduk di bawah karpet, lalu ia melakukan hal yang sama dengan apa yang gadis itu lakukan.

"Gue, pengen nanya satu hal sama lo. Lagu apa yang pengen lo nyanyiin sama orang yang lo sayang?" tanya Alva, Wulan mengerutkan keningnya. Untuk apa Alva menanyakan hal tidak penting seperti itu?

"Gue sih pengen lagu yang ada di soundtracknya film yang tadi kita tonton." jawab Wulan, sambil mengingat betapa bikin bapernya film Ada Cinta Di SMA. Apalagi pas bagian adegan Alya dan Iqbal.

"Oh, yang nyanyinya si cantik dan si buruk rupa itukan? Auww..." Wulan dengan biadabnya mendaratkan kepalan tangannya pada kepala Alva.

"Lo, kalau ngomong suka salah."

"Bukannya. Lo, kalau ngomong suka bener. Kok lo malah kebalik?" Alva menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Membuat Wulan merasa kesal sekaligus gemas melihat tingkah pria itu.

"Kan lo ngomongnya salah." Alva mengangguk acuh. Ia mengambil gitar yang berada tak jauh dari tempatnya duduk.

"Mau lo apain tuh gitar?"

Alva tersenyum, lalu memajukan sedikit tubuhnya supaya bisa lebih mudah mengacak-acak rambut gadis itu. "Mau gue mainin lah. Masa gue makan." jawabnya sedikit terkekeh.

"Gak lucu."

"Emang siapa yang bilang lucu?"

"Alvaro!" Alva lagi-lagi tersenyum, ia sangat senang jika Wulan sedang benar-benar marah dan otomatis gadis itu akan memanggilnya dengan nama Alvaro bukan Alva.

"Ok, gue minta maaf. Gimana kalau, sebagai tanda permintaan maaf gue. Gue bakalan nyanyiin satu lagu buat lo."

Wulan mengangguk dengan ragu. Ia penasaran dengan suara pria itu. Selama Wulan bersahabat dengan pria itu ia tak pernah mendengar Alva bernyanyi.

"Ternyata cinta begitu hebatnya, bisa membuat benci menjadi cinta!" Wulan menutup kedua kupingnya, suara Alva sangat berisik.

"Stop!" seru Wulan yang sudah tidak tahan dengan suara Alva yang malah seperti orang berteriak.

"Kenapa?"

"Lo nyanyi atau lagi teriak sih?"

"Nyanyilah."

"Suara lo jelek. Lebih bagus juga suara gue."

"Apa? Suara kaya nenek lampir aja bangga."

"Daripada lo, suara lo mirip kudanil."

"Kebanyakan lipsing lo."

"Adimas Alvaro."

-------

Thanks for reading :)
Baca ceritaku yang lain juga
Minta kritsarnya juga, buat cerita aku
Baca quotesku jugaaa......

Mini Couple (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang