ML - Dua

12.6K 789 85
                                    

Pagi-pagi sekalinpun aku harus bangun dari tidurku yang baru beberapa jam, dan mendapati kehadiran nenek di depan pintu kamar. Aku menyuruh Dara meninggalkan kami berdua, karena aku yakin ada hal penting yang ingin nenek bicarakan.

Seratus persen yakin parihal perdebatanku dengan papa sudah sampai ketelinga nenek. Biarkan saja. Aku tak perduli sekalipun nenek mengusirku karena telah mempermalukan anaknya.

Aku membantu nenek duduk di sofa. "Jadi apa yang mau Nenek bicarakan?" tanyaku langsung dengan mulut yang menguap.

"Tidur jam berapa kamu sampai masih ngantuk gitu?" Yang aku heran, nenek masih menjaga nada bicaranya. Biasanya dia akan mengamuk jika keluarga ini tidak menghormati anak kesayangannya.

"Kamu tahu begadang tidak bagus untuk keseharan kamu, termasuk kesehatab kulit. Lihat, kulit nenek masih sehat kan? Ini kerena tidur yang teratur."

Nenekku memang sudah tua.  Rambutnya sudah memutih semua kalau saja tidak di beri warna coklat, kulitnya juga harusnya sudah keriput kalau saja dia tidak perawatan ke dokter yang berhasil mengurangi setiraknya kerutan di wajahnya. Dan gaya hidup sehat juga memengaruhinya.

Nenek itu orang yang sangat cerewet dimasa mudanya, dan semakin cerewet setiap harinya.  Satu lagi sifat yang tidak aku sika dari nenek.  Anaknya selalu benar.

"Ser?"

"Lupa," jawabku. "Sera nggak lihat jam. Jadi Nenek mau ngomong apa?"

Nenek tidak langsung bicara. Dia melihatku beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas. "Nenek dengar kamu ketemu Reno,"

"Ya. Ini bukan pertama kalinya dan Nenek tau Sera nggak peduli. Nenek mau marahin aku karena aku buat masalah?"

"Biar bagaimana pun dia ayah kamu, Nak."

Pembela anak nomor satu.  Aku heran kenapa Papa tidak mewarisi sifat yang satu ini dari nenek. Tapi plusnya, dia tidak memarahiku, atau belum.

"Manusia pasti pernah berbuat salah,  Shier, dan Reni sudah menyesalinya."

"Sera malas bahas ini, Nek." Pagi-pagi sudah bahas Papa sama dengan merusak mood-ku. Sesopan apa pun aku dididik untuk menghormati yang lebih tua, tidak ada kesopanan jika membahas dia. Tidak Tanpa diingatkan pun aku tahu dia Papaku. Papa.  Orang yang tega mengusir anak sendiri demi istri tercintanya.

"Hanya karena satu kesalahan kamu melupakan kebaikannya yang lain?" tanya Nenek mulai sinis. Sedetik kemudian, entah apa yang membuatnya terseyum lembut dan meraih tanganku. "Reno sayang kamu, Nak."

"Siapa pun pasti akan ngelakukan hal yang sama kalau berada di posisi Sera, Nek. Seorang Ayah mengusir anaknya sendiri hanya karena istirnya yang meminta. Istri.  That's Stupid. Bahkan dia nggak mencari Sera setelah itu. Kalian pun nggak. Jadi Nenek nggak perlu ngingatin lagi." Aku akui dikeluarga ini hanya aku yang berani membantah Nenek. Bahkan Arka tidak seberani aku. Mengeluarkan suara kuat saja dia tidak berani jika ada Nenek.

"Bisa kamu lupakan ingatan kamu dan mulai yang baru, Sayang?

What? Aku tertawa. Permintaan yang sungguh konyol. Melupakan  bagaimana sakitnya saat itu. Malam itu hujan, saat Ayah menyuruhku pergi untuk sementara katanya. Aku sudah membantah, bersikukuh tidak mau meninggalkan rumah yang Ayah beli saat masih bersama mamaku. Namun ternyata, Ayah terlalu menyayangi istri barunya yang sedang mengandung sampai-sampai tidak memperdulikan perasaanku. Bahkan aku hanya diberi waktu satu jam untuk berkemas. Begitu waktu habis, padahal aku sedang menangis, Ayah tetap keukeuh ingin aku pergi daripada istrinya muntah-muntah. "Sera bukan malaikat."

Nenek kehabisan kata-kata. Dia hanya diam dan memandangku sendu. Bisa percaya denganku, Nenek ini tidak akan pernah melihat kesalahan anaknya itu. Dia akan selalu menutup mata akan kesalahan anaknya. Maka dari itu, saat Ayah menceraikan mama saat sedang hamil anaknya, Nenek tetap diam dan membela Ayah. Parahnya, dia masih membela Ayah saat mama kecelakaan tepat saat ayah menggugatnya. Sedangkan aku, bisakah aku menutup saat hal yang sama hampir terjadi padaku?

Marriage LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang