ML - Tiga

8.1K 661 16
                                    

Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku ketika telingaku mendengar suara jam weker. Pemandangan pertama yang tertangkap secara samar-samar oleh mataku yang menintip malas dari kelopak mata adalah helaian-helain kain tipis yang mengitari tempat tidur, diterangi cahaya lembut yang menyusup dari jendela kaca.

Aku kembali menutup mataku lalu menggeliat tanpa mematikan alarm, membiarkan bunyi mirip lonceng itu mengiringi gerakkan tubuhku. Setelah hampir dua menit menggeliar sana-sini, barulah aku membuka mataku dan mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. Sekilas aku meliriknya, pukul 06;05.

Aku kembali mengucek mataku. Sekarang aku harus belajar sedikit mandiri, paling tidak bisa bangun pagi tanpa bantuan Dara. Pilihan pertama adalah menggunakan jam weker. Dan ternyata berhasil walau aku telat lima belas menit dari rencana.

"Dasar pemalas. Perempuan mana yang baru bangun jam segini?" aku tersentak mendengar suara tegas yang sedikit keras. Astaga kenapa aku lupa kalau aku sudah menikah sekarang. Rasa kantungku menguap seketika. Ini adalah pagi pertama aku menjadi istri Raffael. Laki-laki yang baru aku tahu Namanya seminggu ini. Aku menoleh dan tersenyum. Tapi dia malah membalasnya dengan dengusan. Wajar sih, wajar dia seperti itu. Salahku memberi kesan buruk di pagi pertama kami menjadi suami-istri.

"Maaf. Aku nggak biasa bangun pagi," cicitku. Aku menyingkarkan selimut yang terasa nyaman dari tubuhku. Duduk dan menyisir rambutku dengan jemari tanganku.

Matanya memicing menatapku, lalu dua kembali mendengus, "Dan perempuan mana yang tidak biasa bangun pagi?"

"Astaga, Maaf. Aku akan berusaha bangun pagi."

"Tanpa bantuan alarm? Emang bisa?" Dia menghampiriku setelah mengambil kaos di lemari. Tubuhnya penuh dengan keringat, bahkan kaosnya sudah sangat menempel di badannya. Aku yakon serratus persen dia baru selesai olah raga.

"Hmm ... Akan kuusahakan." Walau aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku.

Dia mengangguk, tapi senis anggukun meremehkan. Sialan! Ternyata dia juga tidak percaya dengan ucapanku. Kemudian banda basah mengenai wajahku sukses membuat aku berteriak.

"Apa- apaan ini?!" aku menyingkirkannya dari wajahku. Baju? Baju bekas keringat Raffael? Rafleks aku membuangnya ke lantai. Baju itu tidak terlalu bau, tapi tetap saja aku tidak suka. Aku mendelik dan dia malah terkekeh.

"Kamu apa-apaan sih? Kamu pikir yang kamu lakuin itu bagus?" rasanya aku mau muntah mencium keringat orang. Walaupun pemalas, aku ini orangnya pembersih. Hidungku tajam dan sensitive pada bau.

"Apa? Mau marah?" tanyanya dengan muka tengil.

Kalau saja aku tidak ingat dia suamiku, sudah ku smack down dia. Walaupun cetek urusan agama, aku masih tahu dosa besar hukumnya melawan sama suami. Ck, aku jijik dengan diriku sendiri yang mendadak ingin menjadi istri yang baik.

"Lain kali jangan gitu. Aku sensitive sama bau."

"Enak aja. Keringatku nggak bau." Dia masih keukeuh mempertahankan harga dirinya. Kemudian memungut bajunya dari lantai. "Nah kan, wangi gini. Kamu tahu kaosku harganya mahal? Baru kali ini dia nyium lantai ..." dia menggelengkan kepala, seolah tak habis pikir denganku.

Aku tahu niat utamanya. Dia ingin memancing emosiku.

"Tetap aja aku sensitive."

"Yakin sensitive sama bau?"

"Iyalah. Kamu nggak percaya?"

"Pengennya percaya. Dari pada bajuku, bau ilermu lebih bau. Ck, sana cuci muka."

Astaga kesabaranku habis. Sejorok-joroknya aku aku tidak pernah tidur ngeluarkan air liur, apa dia kira aku anak kecil. Kuraih botol air mineral di nakas lalu melemparnya tepat di wajahnya. Aku sedikit bersyukur lemparanku meleset. Dan yang terdengar adalah kekehan menjijikkan darinya. Ingin rasanya aku memukulnya, untung saja dia cepat beranjak ke kamar mandi.

___

Raffa menggunakan baju kaos putih dan celana pendek berwarna beige saat masuk ke dapur. Aku sedikit bersyukur Rafa punya badan sesuai dengan suami impianku. Berotot pas dan kencang, tidak besar seperti binaragawan. Aku yang sedang duduk manis di meja makan langsung mengalihkan pandanganku saat mata kami bertemu. Aku masih kesal padanya. Rasa kesalku bekali lipat saat melihat wajah tanpa dosanya. Dia hanya mengerutkan kening ketika aku memalingkan wajahku.

"Aku kira kamu yang masak," gumamnya. Aku menoleh dan mendapati dia sedang memperhatikan Dara.

"Dia siapa?" tanyanya kemudian.

"Dara. Orang yang selalu mengurusi keperluanku." Dia memicingkan matanya, seolah ada yang salah dalam ucapanku. Aku tidak bohong, selama ini memang selalu ada orang yang mengurusi keperluanku. Dari makan sampai tidur. Bukan salahku jika dari kecil aku dibiaskaan manja.

"Emang kamu nggak bisa ngapa-ngapain sendiri?"

"Kamu bisa nggak sih ngomong nggak usah pake otot?" tanyaku kesal. Pasalnya saat berbicara padaku, nada suaranya selalu ketus. Padahal saat bicara dengan orang lain dia biasa saja.

"Jangan mengalihkan. Pertanyaanku nggak ada hubungannya dengan nada bicaraku." Dia berdecak kesal. Matanya terus menatapku tajam, membuatku merasa menciut seketika.

"Aku dibiasin begini ini dari kecil. Bukan salahku dong."

"Ck, ternyata aku menikah dengan gadis manja. Selain umurmu yang muda ternyata keseharinmu juga tidak mandiri."

"Ihhh ..." Kenapa dia selalu mengesalkan? Padahal baru beberapa jam kami tinggal bersama namun dia berhasil membautku begitu kesal.

Dara datang membawa dua mangkuk bubur ayam, membuat aku mengurungkan niatku untuk menjawab.

"Mbak, mau dibuatin susu sekalian?"

"Nggak usah, Dara. Aku mau lemon madu aja."

"Maaf, Mbak. Dari tadi saya nggak ada meliahat madu."

Aku menoleh ke Rafa yang sekarang sibuk memakan buburnya. Dia mengangkat pandangannya, sadar kuperhatikan, dia bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Kamu nggak punya stock madu?"

Dia mengangkat bahu dan lanjut menyuapkan buburnya, tanpa menjawab pertanyaanku. Dasar nyebelin. Apa susahnya sih menjawab.

"Mbak, jadi gimana?"

"Ya sudah, Dara, nggak usah buatkan apapun pagi ini. Nanti siang kita belanja. Sekalian kamu cek apa aja yang perlu di beli, biar sekalian. Aku rasa rumah ini nggak tersedia apapun."

Aku menghiraukan tatapan protes Raffael. Dan memilih mencicipi buburku. Aku tidak bermaksud menyidir. Sepertinya rumah ini memang baru di tempati. Semuanya masih seperti baru, dari sofa, lemari dan teman-temannya. Dan wajar saja sulit menemukan stock makanan di rumah ini, kareba memang tidak ada.

"Besok jangan seasin ini ya, Dara. Saya mau ngurangi asin. Ya sudah kamu sarapan juga sini."

"Siap, Mbak. Saya sudah sarapan tadi." Aku mengangguk dan mulai mamakan buburku.

"Kamu suka merintah ya?"

"Hah? Kamu ngomong apa?" dia ngomong sambil makan, makanya aku tidak terlalu jelas dengarnya.

"Lain kali kerjakan semuanya sendiri,"

Aku mau bertanya maksud ucapannya apa, namun kalah cepat dengan gerakannya yang mengambil ponsel di meja dan beranjak ke kemar. Dia berhenti sejenak di anak tangga,  dan kembali berkata,

"Kamu belum pantas menikah, Ra. Kamu nggak bisa biarin kebiasaan kamu ini.  Kamu harus belajar mandiri kalau mau rumah tangga ini bertahan lama."

Aku menelan sisa bubur di mulutku. Hatiku tertohok mendengar ucapannya yang sepenuhnya benar. Aku memang belum pantas menikah, umurku masih jalan delapan belas. Dan walau sudah dua tahun pisah dengan Papa, aku tidak dibiarkan mengurusi diriku sendiri oleh nenekku, akan selalu ada orang yang mengurusi kebutuhanku.  Lalu salahku kalau aku tidak bisa apa-apa?

__

Duh Receh banget hehe... Nggak papa ya, namanya juga manusia. Hmm ... Terimakasih yang udah baca dan meninggalkan jejak... Dukung aku terus yaaa...

Marriage LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang