"Udah gue kasih tau, kan, alasannya. Banyak kuman! Asal lu orang tau aja. Tangan orang tuh udah megang-megang apa tau ga lu? Itu kenapa kita orang ngasih salamnya begini." Anak bocah itu mengepal tangan kirinya dan menempelkan dengan telapak tangan kanannya yang lalu membungkus tangan kirinya, kemudian menundukkan badannya. "Gitu kata kungkung gue!" dia menegaskan sekali lagi.
Anak bocah itu adalah orang Cina atau menurut peraturan presiden yang baru dia orang keturunan darah dari negara Tiongkok, alias orang Tionghoa. Masalah sepele soal penyebutan dan ketersinggungan berlebihan. Sepertinya memang itu sifat dasar mereka, ya seperti si Hua Ting ini.
Ting dididik keras oleh kedua orang tuanya untuk bersikap selayaknya orang Tionghoa. Dia tidak pernah ingin bersalaman dengan orang lain. Jaga jarak, begitu katanya. Orang barat, si etnis lain itu, yang membuat cara aneh dalam menyambut orang lain. Apalagi kalau ternyata orang asing yang baru saja kenal dijabat tangannya, bagi Ting itu salah parah.
"Nih ya, asal lu orang tau aja, cara kita sama mereka beda. Kita sama-sama nunduk dan pasti harus ada jarak. Artinya hormat, ya gak? Apaan tuh caranya pegang-pegang tangan gue," protesnya lebih lanjut.
Ting bukannya tidak ramah, tetapi memang begitulah cara dia hidup. Senyumnya pun berprinsip keras. Tidak gampang digoyah. Yang pasti ia tahu, jarak harus dijaga dan kepercayaan pada orang lain tidak boleh sembarang diberi. Kepercayaan itu harus diraih.
Berteman dengan Ting sejak kecil membuatku mengerti akan prinsip itu. Namun, karena aku memang bukan orang Tionghoa, tentu saja aku tetap berjabat tangan. Akan aneh kalau aku tiba-tiba menyambut orang dengan gerakan itu. Kulitku coklat, wajahku sangat Jawa, dan apa kata dunia kalau aku tiba-tiba begitu?
Sayangnya tidak ada yang sadar, bahkan diriku sendiri, kalau ternyata prinsip itu mengubahku saat sudah lebih dewasa. Sedikit teman, lebih sedikit lagi teman dekat, dan aku selalu berusaha menjaga jarak pada laki-laki yang sangat aku suka.
***
"Vic, boleh pinjem catetan Fisika kemarin ga? Aku kemarin sakit dan ga masuk," tanyaku padanya malu-malu. Sebenarnya aku tidak terlalu butuh, namun teman-temanku memaksa. Mereka berdua sekarang sedang duduk di kursi paling belakang dan pura-pura tidak tahu.
"Boleh aja. Sebentar ya," Vico mengorek-ngorek isi tasnya, sementara aku melihat ke belakang dan memerhatikan kedua temanku yang sedang tertawa-tawa kecil. "Ini. Besok balikin, ya."
Tubuhnya tiba-tiba hanya berjarak sekitar 30 sentimeter dariku, aku reflek mundur satu langkah. "Oke. Makasih, Vic."
Pelan-pelan langkahku makin ke belakang, lalu langsung berbalik badan dan berjalan ke arah tasku.
"Jadi gimana, Na?" mereka berdua langsung bertanya sambil berjalan ke arahku tak sabaran. "Lumayan 'kan?" lanjut mereka.
"Ah, biasa aja. Gitu doang," jawabku sedikit melecehkan tantangan mereka. Padahal jantungku berdebar lumayan keras juga.
Yuni dan Andhina memang selalu mendorong-dorongku untuk lebih dekat lagi dengan Vico. Aku sendiri merasa belum saatnya aku memasukan dia dalam lingkaran intimku, bahkan lingkaran personal. Dia masih jauh di lingkaran publik, harus 45 sentimeter atau lebih.
Biasanya hanya sebagai objek pemandangan di saat kelas sedang membosankan atau saat dia sedang menjadi pusat perhatian saat tim Voli sekolah kami bermain.
Aku dan kedua temanku ini juga tidak sedekat itu. Sejarang mungkin aku melakukan kontak fisik kepada mereka, seperti merangkul atau bahkan bertatap mata. Saat berbicara, biasanya mataku terpaku pada batang hidung atau dahi orang lain. Hanya pada Ayah dan Ibu dan kedua adikku saja aku menatap mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga
Short Story"Hati-hati aja, biasanya orang sakit hati makin gampang kalo udah ga jaga jarak," balasnya tanpa melihat ke arahku. Di hadapan kami berdua memang ada anak-anak tetangga yang suka sekali bermain sepak bola di jalan depan rumah Ting. Bermodalkan bola...