Di Antara

233 16 0
                                    

            Tidak ada yang aneh bagi Zul. Semua nampak biasa, semuanya membosankan. Hal-hal normal seperti film, musik, dan buku tidak lagi bisa membuatnya terkejut. Berita bom di kotanya, tren di media sosial, dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak lagi menarik baginya.

"Makan apa, ya siang ini?" tanya Dana, teman satu gedung apartemen Zul. Dia lebih aneh lagi. Kebanyakan orang senang mengoleksi satu hal, seperti komik, uang lama, atau perangko tua. Dana mengoleksi tiga jenis barang itu dan masih banyak lagi. Dia bukan penimbun, karena semua koleksinya mahal dan tertata rapi.

"Duh, apa yang kira-kira udah lama gue nggak makan, ya?" Zul balik bertanya.

"Makanan Korea aja. Gue juga udah lama nggak makan makanan Korea."

"Hmm... Ya, bolehlah. Pada dasarnya, yang penting bikin kenyang."

"Dan enak di mulut!" sahut Dana.

Sekarang belum siang, baru pukul 10.00. Jangan heran, kerapian Dana tidak hanya bisa dilihat di luar, tapi seluruh hidupnya juga tertata. Makan siang memang masalah sepele, sesuatu yang mudah untuk diatur, tapi untuk minggu depan dia sudah tahu jadwalnya. Dana benci sekali terlambat dan orang yang terlambat. Padahal, pertama kali mereka berdua bertemu, Zul terlambat datang pada sebuah pertemuan yang akhirnya membuat mereka tidak bisa lepas dari satu sama lain.

Menjadi tetangga mereka, yang tidak jarang mendengar mereka berdua yang suka asik sendiri, aku akhirnya terbiasa. Walaupun begitu, aku masih tidak bisa mengerti mereka. Aku ini hanya sebuah koefisien di antara dua variabel, variabel yang masih harus dicari.

***

"Zul!" Aku mengetuk-ngetuk pintu apartemennya. Tidak lama, Dana membukakan pintu. Aku sudah tidak heran, dia memang lebih sering menghabiskan waktunya di sini. Katanya, ia lebih suka kamarnya bersih seperti tidak pernah dihuni. "Eh, laper, nih gue. Yuk, katanya mau makan makanan Korea."

"Iya. Sebentar lagi, ya. Dana masih banyak kerjaan, tuh," kata Zul.

"Kita. Kita yang banyak kerjaan," koreksi Dana. "Yuk, lanjut lagi."

"Daripada tegang, mending sambil makan siang aja," ajakku girang. Tidak ada jawaban apa-apa dari keduanya. Mereka masuk ke satu ruangan kerja mereka. Aku sampai sekarang tidak tahu apa yang mereka lakukan di sana. Pernah satu kali aku berusaha mengintip, tapi aku tidak melihat apa-apa yang signifikan. Mereka berdua hanya duduk berhadap-hadapan.

Aku akhirnya pergi makan sendiri. Huh.

Malamnya, aku kembali ke apartemen Zul. Aku tidak ingin langsung pulang, aku tidak tahu apa yang aku harus lakukan di apartemenku sendiri. Ini hari Sabtu.

"Kok sendiri, Zul?"

"Dana pergi," jawabnya singkat.

"Ke mana?" tanyaku lagi.

"Entah. Nggak mau tahu juga."

Ruang tengah apartemen ini hanya berisi satu sofa panjang dan satu laptop yang selalu ada di meja itu, tidak ada TV. Pernah satu kali aku melihat kamar Zul. Tidak ada apa-apa yang bisa mencerminkan dirinya. Hanya ada kasur dengan sprei berwarna polos, lemari pakaian, dan cermin. Ini bukan apartemen rongsok, hanya saja ia tidak punya banyak barang pribadi. Semuanya standar.

Di sofa ini kami sering duduk berdua. Menatap ke luar jendela. Tidak ada pemandangan mewah, lagipula ini hanya di lantai dua. Pemandangan yang ada hanya jalan raya dan toko-toko di pinggir jalan. Terlihat toko roti yang setiap hari Jumat selalu aku datangi. Mereka menjual donat paling enak di kota ini. Pikiranku melayang ke mana-mana setiap kali aku duduk merenung di sofa ini. Tanpa musik, tanpa stimulan.

TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang