Remember Remember

4 1 0
                                    

Awan-awan mulai berkumpul di langit, secara perlahan mengakhiri pancaran sinar matahari yang menyelimuti gedung tua itu. Angin yang dahulu berhembus pelan dipercepat sesaat gigil mulai merambat sepanjang tulang belakangku. Pelatuk sudah di tangan, tidak ada suara di ruangan itu. Nasib terburuk sudah menghantuiku, melingkari tubuhku yang dingin. Saat itu juga, aku, Jacky White, menunggu. Menunggu untuk serpihan-serpihan besi menyobek daging yang terlekat pada tulangku dan akan musnah ke dalam atmosfer pada malam ini, 5 November 2012.

***

Aku berada di pekuburan tadi pagi, untuk menjenguk teman lamaku. Namanya Maggie. Dia meninggal 5 tahun lalu. Aku suka bertemu dengannya. Dahulu, ia selalu penuh dengan sukacita dan senyum manis. Namun, itu sudah berakhir. Ia meninggal akibat overdosis obat-obatan. Awalnya dia tidak ingin, tetapi, suatu kejadian memaksanya untuk berbuat demikian. Suatu kejadian yang tidak dapat kuabaikan. Suatu kejadian yang menyisakan bekas luka pada kami berdua, orang yang disayangi, dan juga negara ini.

Tujuh tahun yang lalu, aku dianggap sebagai anak muda yang biasa-biasa saja yang menjalani tahun pertama kuliah. Jurusan psikologi terlihat sebagai jurusan yang bagus, tapi, jujur saja, aku tidak tahu apa yang aku mau lakukan di masa depan. Aku menyukai hidupku apa adanya. Aku tidak memiliki idola dan sepertinya akan begitu pula pada waktu mendatang.

Aku selalu tertarik pada sejarah. Aku suka berjalan keliling kota tua London. Walaupun sudah modern, aku masih bisa mendengar sejarahnya bergema dari jalur-jalur berbatu-bata dan tempat minum lamanya. Dari semua itu, tidak ada yang dapat menandingi kehadiran gedung Parlemen. Setelah ratusan tahun, ia masih berdiri tegak dengan muka jam yang putih dan agung itu.

Tempat tinggalku merupakan suatu rumah kecil bertingkat dua yang terletak di ujung-ujung kota London. Rumahku terlihat seperti rumah yang sering dijumpai setiap hari, namun terdapat sebuah rahasia dibalik pintu kayunya itu. Setelah pintu itu dibuka, seseorang tidak akan disambut oleh suatu ruang tamu yang biasa, malah, terdapat benang-benang merah yang tersebar seperti sarang laba-laba di depan muka. Ujung-ujung benang tersebut ditancapkan kepada foto-foto dari lukisan Guy Fawkes, Parlemen, dan tentunya, bom. Aku biasa menamakannya Hutan Benang Merah – dibuat oleh kakekku, seorang sejarahwan, Professor Charles White.

***

Pada suatu siang, aku sampai ke rumahku secara biasa. Semuanya terlihat normal seperti biasanya. Udara terasa lembab setelah hujan berhenti dan tetes-tetes air berjatuhan dari atap ke jalur batu-bata yang berwarna kirmizi. Bunga-bunga yang mengelilingi halaman rumah mekar seperti biasanya sambil menyambut tamu-tamu serta penghuni dengan kesan yang nyaman. Namun, pada hari itu, kesan nyamannya tidak bertahan lama.

Ketika aku memutar gagang besi pada pintu tua itu, mataku terbuka lebar dan rahangku terlepas lemas. Aku melihat hutan kakek yang penuh dengan benang merah itu rusak. Terlihat seperti seseorang telah membongkar tempat ini dan menhamburkan kertas-kertas dan foto-foto yang telah tergeletak di lantai kayu itu.

Apakah ini karena perampokkan? pikirku. Sebelum aku mendapat kesempatan untuk memikirkannya, aku melihat kakek duduk di ujung ruangan, bergemetar, ketakutan.

"Kek, ada apa ini? Apa yang terjadi?" tanyaku.

Ia tidak menjawab. Ia hanya duduk diam disitu, masih bergemetar, seolah-olah ia baru saja melihat hantu.

"Grimmy? Mana kamu?" teriakku sambil berjalan ke dapur untuk mencarinya.

Joshua Grimm adalah temanku. Sebenarnya, ia kuanggap sebagai saudaraku. Kakek mengadopsinya setelah ia melihatnya mengorek sampah di rumah lama kami. Ia baru berumur 4 tahun pada waktu itu (seusiaku). Ia tidak dapat mengingat dari mana ia datang maupun namanya sendiri. Tanpa disangka-sangka, kakek menemukan kelebihan jahitan pada baju rusak Grimmy. Di celahnya, terdapat sebuah kertas yang berisi pesan ini:

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang