Dia adalah Bagas

285 21 2
                                    


Hari yang indah. Matahari bersinar cerah, menyinari Kota Bandung di awal musim kemarau ini. Kilau matahari pagi itu menyilaukan mata seorang siswi yang kini tengah berdiri di depan gerbang sebuah sekolah menengah atas ternama di Kota Bandung. Dia adalah Alya, siswi pindahan dari Malang.

Sebenarnya, Kota Bandung adalah kota kelahiran Alya. Alya juga sempat tinggal di Bandung, tujuh tahun yang lalu.

Namun, ketika kelas 5 SD,  Alya bersama orangtuanya pindah ke Malang. Dan sekarang, di usianya yang ke 16 tahun ini, Alya sangat senang bisa kembali ke kota kelahirannya tersebut. Alya berharap, ia bisa mendapatkan teman-teman yang baik di sekolah barunya.

"Adek murid baru ya? Oh ya, Pak Siswanto sudah menunggu di ruangannya, Dek!" Suara seorang satpam sekolah membuyarkan lamunan Alya. Pak Siswanto adalah guru kesiswaan yang mengurus perihal mutasi siswa.

"Mari saya antar!" Lanjutnya.

"Oh iya Pak, terima kasih!" Alya pun menuju ke ruangan Pak Siswanto dengan diantar satpam tadi.

Setelah tiba di ruangan Pak Siswanto, Alya diberi sambutan yang baik oleh guru kesiswaan tersebut. Kemudian Pak Siswanto menyuruh seorang siswa laki-laki bernama Bagas untuk untuk mengenalkan sarana-sarana yang ada di sekolah ini pada Alya kemudian mengantarnya kelas barunya.

"Hai, aku Bagas!" Bagas memperkenalkan dirinya. Saat mendengar nama Bagas, Alya pun terkejut lalu menatap mata Bagas heran. Mata sipit itu, mata yang ia rindukan selama ini, juga sedang menatap Alya tak kalah herannya.

Bagas adalah teman Alya di Sekolah Dasar. Ah tidak, Alya menganggapnya musuh, bukan teman. Mereka lebih sering bertengkar seperti musuh dengan musuh.

"Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengan tukang contek ini" Alya berujar dalam hatinya.

Dulu, saat duduk di bangku SD, Bagas memang anak yang nakal. Ia suka mengganggu temannya, selalu mengerjakan PR di sekolah, dan senang menyontek ketika ulangan. Bagas juga sering mengancam teman-temannya agar tidak mengadukan perbuatannya pada guru ataupun wali kelas. Meskipun begitu, Alya tidak takut pada ancaman Bagas.

Lalu, pada suatu hari, Alya memberanikan diri untuk melaporkan kenakalan Bagas tersebut pada wali kelas. Hingga wali kelas memanggil orang tua Bagas ke sekolah, dan akhirnya Bagas diskors dari sekolah.

Bagas merasa kesal pada Alya, saat mengetahui bahwa Alyalah yang melaporkannya pada wali kelas. Bagas juga sedikit menyimpan dendam pada Alya. Sampai pada suatu hari, Bagas menegur Alya saat pulang sekolah.

"HEH TUKANG NGADU!" Teriak Bagas.

Langkah Alya terhenti, lalu ia menoleh ke belakang.

"Lu manggil siapa?" Tanya Alya penuh keberanian.

Ia tak pernah takut menghadapi Bagas yang nakal itu, berbanding terbalik dengan teman-temannya yang lain yang sangat takut pada Bagas.

"Elu lah. Siapa lagi coba? Lagian di jalan ini gak ada siapa-siapa lagi selain lu!" Ujar Bagas sambil berjalan mendekat ke arah Alya.

"Jangan ganggu gue. Gue mau pulang." Ucap Alya ketus, kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.

"Dasar TUKANG NGADU! Tunggu pembalasan gue ya!" Bagas berteriak, namun Alya tak menghiraukannya.

                           ***

"Hei, gue Bagas. Nama lu siapa?" Ucap Bagas pura-pura tak mengenal Alya.

"Astaga.. si sipit menyebalkan ini bahkan gak inget nama gue!" Gerutu Alya dalam hatinya.

"Eh, kelas gue dimana? Katanya mau nganterin gue!" Ucap Alya mengalihkan pembicaraan.

Saat ini, Alya merasa lebih baik jika Bagas tidak tahu namanya. Toh, Bagas sudah tidak mengenalnya, mungkin Bagas memang sudah melupakannya. Itulah yang ada dipikiran Alya sekarang.
Padahal sebenarnya, apa yang dipikirkan Alya itu salah. Sebenarnya Bagas masih mengingatnya, bahkan Bagas sangat merindukannya. Namun, Bagas merasa gengsi jika harus menanyakan kabar Alya. Bagas juga gengsi jika harus mengatakan kalau dia merindukan Alya.
Tujuh tahun yang lalu, Bagas memang membenci Alya. Namun kemudian, kebencian itu hilang dan tergantikan oleh kerinduan. Seiring berjalannya waktu. Seiring dengan kepergian Alya ke Malang, tujuh tahun yang lalu.
                           ***
Mereka pun sampai di depan taman sekolah.

"Jalan aja lurus, terus ada perpustakaan. Kelas lu ada di deket perpustakaan. Kelas XI.IPA.5" Ucap Bagas sambil terus mengunyah permen karet di mulutnya.

"Jadi, lo gak mau nganterin gue?" Tanya Alya.

"Enggak. Soalnya gue ada urusan. Sorry ya!" Tutur Bagas santai.

"Eh, lo kok nyebelin sih? Pokoknya anterin gue sampai ke kelas!" Ucap Alya setengah membentak.

"Gak bisa, gue ada urusan. Bye!" Bagas pun pergi meninggalkan Alya sendirian di depan taman sekolah.

"Anak itu rupanya tak berubah. Dia masih suka permen karet. Dasar manusia permen karet!"

Alya mengeluarkan unek-uneknya ketika Bagas sudah pergi meninggalkannya di depan taman sekolah.

Untuk Bagas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang