21. Duduk Manis, Hari Manis.

7.1K 664 103
                                    

Ada banyak macam kebahagian yang bisa kita rasakan. Tapi hanya ada satu macam kebahagian yang berada di paling puncak, yaitu cinta. Tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagian cinta. Contohnya saja seperti saat ini. Semuanya sedang sibuk memberi hiasan kamar kosong yang nantinya akan menjadi kamar calon bayiku. Aku tahu ini terlalu dini mengingat usia kandunganku terbilang masih muda. Tapi apalah daya, Andrea dan Harry sangat tidak sabar untuk mendekor kamar bayi. Mereka terlampau bersemangat dibandingkan aku yang sedang mengandung.

“Grandma, lantainya tidak di cat juga?” tanya Harry selalu dengan wajah polos dan lugunya.

“Tidak perlu sayang. Hanya dindingnya saja,” jawab Andrea tanpa menoleh. Andrea masih sibuk menempelkan stiker pelangi pada tembok yang sudah di cat. Sedangkan Harry, ia sibuk memegang kuas cat tanpa membantu sama sekali. Dan aku? Aku seperti ratu yang hanya menerima beres. Mereka tidak mengijinkanku untuk membantu.

James beberapa menit kemudian datang membawa ranjang bayi yang baru kami beli tadi siang. Hanya tinggal meletakan beberapa furniture maka kamar bayi ini akan selesai. Akan tambah sempurna jika bayinya nanti sudah lahir.

Aku mengelus perutku bergumam berbagai hal pada bayiku. Dia sama sekali tidak bergerak. Biasanya bayiku di dalam selalu aktif bergerak terlebih saat malam hari tapi ini dia tidak bereaksi apapun. Sedikit membuatku khawatir.

“Selesai,” ucap Andrea, menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. Ia terlihat puas dengan hasil kerjanya hari ini.

Harry menghampiriku, duduk di sebelahku. Seperti biasa ia bergelayut manja, mengoceh bahwa ia sangat lelah mendekor kamar untuk calon adiknya, padahal Harry dari tadi hanya duduk di lantai memegang kuas tanpa melakukan hal yang membantu sedikit pun.

“Mommy, adiknya cepat suruh keluar. Kamarnya sudah jadi mommy,” katanya, mendongak padaku dengan senyum khas yang meleket di bibir mungilnya.

“Sabar Harry, empat bulan lagi,” timpal James, membenarkan posisi ranjang ke tengah kamar.

Harry menyilangkan tangannya di dadanya. “Huhu. Kemarin mommy bilang 4 bulan, sekarang grandpa juga bilang begitu. Ini sudah setahun grandpa! Kenapa adiknya betah di dalam perut mommy? Harry saja dulu saat di dalam tidak betah makanya Harry cepat keluar dari perut mommy,” gerutunya dengan bibir yang maju.

Kami semua tergelak. Seharusnya setiap Harry bicara, aku merekamnya agar nanti saat Harry beranjak dewasa dia melihat sendiri kelakuan masa kecilnya yang mampu membuat orang-orang sekitar tertawa. Aku benar-benar tidak tahu dari mana Harry belajar bicara seperti tadi.

“Memang Harry ingat saat di dalam perut mommymu?” goda Andrea.

Harry diam lalu menggeleng tanpa merasa bersalah. “Tidak ingat.”

Lagi-lagi, suara tawa menggema di kamar ini.

Harry menangis begitu ditertawakan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak terima jika jadi bahan tertawaan. Sebelumnya hal ini sudah terjadi.

“Huahhhhh,” tangisnya mengalahkan tawa kami. Kami pun perlahan berusaha menghentikan tawa kami dan beralih pada Harry yang terus menangis.

Aku mengusap puncak kepala Harry dan menahan tawaku. Jika aku menertawainya lagi, Harry pasti akan lebih mengencangkan suara tangisannya. Aku sudah hafal betul sifat anakku yang satu ini.

“Harry ayo main sepeda sama grandpa,”  bujuk James.

Harry menggeleng kuat. “Tidak mau. Grandpa jahat!” teriaknya. Harry membenamkan wajahnya di pinggangku dan masih terus menangis.

“Aku rasa Harry sudah mengantuk,” ucapku pada Andrea dan James. “Biar aku bawa ke kamar.”

Aku mengangkat tubuh Harry dengan hati-hati. Sebenarnya Kevin melarangku untuk mengendong Harry karena dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada janinku. Tapi kali ini Harry sangat susah di bujuk hingga mau tidak mau aku harus mengangkat tubuhnya.

STORM #TDOM2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang