9. Godaan atau Ujian?

9K 697 193
                                    

Aku menatap empat pria yang sedang kerepotan memasak untuk makan malam, sedangkan aku hanya duduk santai di bar mini memperhatikan mereka sambil bermain ular tangga bersama Harry.

Beberapa jam yang lalu, saat aku turun dari tangga aku hampir saja terpeleset, syukurnya aku bisa menyeimbangi tubuhku secepat mungkin dan sialnya Kevin melihatku. Dia langsung menjadi suami sekaligus ayah yang sangat protektif detik itu. Kevin memintaku tidak melakukan aktifitas apa pun termasuk memasak. Dan inilah sekarang, empat pria yang tidak pandai memasak sedang memasak. Sebenarnya Kevin lebih memilih untuk memesan makanan, tapi kutolak. Aku sedang ingin makan masakan rumah.

“Luna, ladanya yang mana?” tanya Kevin. Pelipisnya berkeringat.

“Ini garam atau gula?” tanya Blake.

“Aku tidak bisa mengiris sayur-sayuran ini!” keluh Tama, mengangkat tangan dengan pisau di tangan kanannya. “Lebih baik aku mengoperasi 100 pasien daripada memasak,” lanjutnya dengan nada kesal.

“Kenapa minumannya asin?” Zak menjulurkan lidahnya sesudah mencicipi minuman buatannya sendiri. Aku yakin Zak memasuki garam ke dalam minuman itu, bukan gula.

Harry yang sedang asik bermain denganku merasa terganggu dengan suara mereka. Harry pun menoleh pada mereka yang sedang memunggungi mereka. Wajah Harry yang tadinya kesal berubah menjadi geli saat melihat daddynya dan teman-temannya panik.

“Kevin biarkan aku yang memasak,” pintaku. Aku tidak tega melihat mereka kerepotan seperti itu.

Kevin langsung menolak mentah-mentah. Ia bilang mereka bisa menyelesaikan masakannya sebentar lagi. Aku pun hanya bisa pasrah. Aku ragu dengan masakan mereka. Mereka tidak bisa memasak sama sekali.

Setelah semuanya selesai, kami duduk hendak mencicipi hidangan dari empat pria yang tadi kerepotan memasak. Dari cara penyajiannya memang terlihat menarik, tapi tidak tahu dengan rasanya.

“Aku kemari untuk mengadakan pesta salam perpisahan karena lusa aku harus kembali ke Indonesia dan apa yang kudapat? Aku malah di suruh memasak padahal aku ingin mencicipi masakan istri Kevin untuk yang terakhir kalinya,” keluh Tama.

“Ya. Kukira kita kemari untuk berpesta dan makan enak. Tahu begini, aku lebih baik mengurus pasien sakit jiwa saja,” kini Blake ikut mengeluh.

Sementara mereka mengeluh, Jane datang membawa minuman. Minuman yang Zak buat tadi hasilnya gagal karena rasanya asin bukan manis. Apa dia benar-benar tidak bisa membedakan mana garam dan gula? Ck.

Blake berhenti mengeluh saat kedatangan Jane. Ia melihat Jane dengan tatapan memuja.

“Wow. Pembantumu cantik sekali Kev,” puji Tama.

Zak terbatuk-batuk setelah Tama mengucapkan itu dan aku terbelalak sekaligus kesal. “Jaga ucapanmu. Dia sepupuku!” sambarku.

Tama menganga sementara Jane duduk di sebelahku sambil tersenyum malu. Seharusnya Jane kesal karena dikira seorang pembantu tapi ia malah tersenyum pada mereka, menebarkan pesona kecantikkanya.

“Sampai kapan sepupumu di sini? Sepertinya mulai sekarang aku akan main kemari setiap hari,” ujar Blake, menunjukkan ketertarikannya pada Jane. Sudah kuduga, siapa saja pasti melirik kecantikkan Jane yang tidak terelakan. Lihat saja Blake dan Tama, mereka tidak berkedip sekali pun saat menatap Jane.

“Jane sudah memiliki kekasih jadi kau Blake, jangan berharap lebih pada sepupuku yang cantik ini,” kataku. Blake terlihat putus asa saat aku mengatakannya.

“Kekasih? Jane punya kekasih?” tanya Kevin, mimiknya begitu terkejut.

Aku hendak membuka mulut tapi Jane mendahuluiku. “Umm… Sebaiknya kita makan sekarang,” potong Jane cepat, seolah menutupi sesuatu.

STORM #TDOM2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang