DALAM TAHAP EDITING UNTUK RILIS EBOOK. AKAN DIRILIS DALAM JANGKA WAKTU DEKAT!
Hari ini Karen baru saja memberikan kuliah umum selama dua minggu penuh di Harvard. Sambutannya meriah. Banyak mahasiswa yang terpukau dengan hasil karya Karen. Dia sedang ebrbincang dengan para mahasiswa setelah kuliah umum. "It's a big world, but we meet again at starting point," sebuah suara yang amat dikenal Karen terdengar dari belakang Karen. Dengan cepat Karen membalikkan tubuhnya. "And you will be a Senator in a month, Riley," timpal Karen datar.
Wanita bernama Riley tertawa. "Maybe, apa kabarmu, Karen?" tanya Riley sambil mengulurkan tangan kepada Karen. "Good," jawab Karen singkat sambil membalas jabat tangan Riley. "Wah wah, duo emas bertemu kembali di Harvard!" terdengar gelegar suara lain. Ternyata itu adalah suara Profesor Devon, dekan jurusan Teknik yang juga dulu dekat dengan Karen dan Riley. Bisa dibilang, Profesor Devon adalah penasihat hubungan cinta mereka pada zaman dulu. "Profesor Devon," sapa Karen sopan. "Halo, Profesor," sapa Riley. "Sudah sudah. Ayo kita ke ruanganku. Aku kangen dengan kalian tau!" kata Profesor Devon sambil merangkul mereka berdua dan membawa mereka menuju ruangannya.
"Jadi, bertemu kembali di kampus! Kalian ini jodoh sepertinya hahahaha!" gelegar tawa Profesor Devon membahana. Kumisnya yang lebat dan putih ikut bergetar. Karen hanya menggeleng. "Percuma aja kalau Anda berusaha bikin saya balikan dengan Riley. Saya udah punya pilihan lain," kata Karen tajam. "Wah, tapi kan aku belum lihat kamu menikah dengan pilihanmu itu. Riley, kesempatanmu masih ada," kembali Profesor Devon tertawa. Wajah Riley tidak bisa ditebak. "Profesor Devon, aku gak bisa paksain apa yang aku mau, karena pemaksaan itu gak akan berakhir baik," jawab Riley tenang. "Ah, baiklah baiklah! Aku bisa jawab apa kalau seorang calon Senator gemilang jika sudah berbicara. Jadi, bagaimana dengan kampanyemu? Bagaimana juga dengan kampanye ayahmu?" tanya Profesor Devon sambil membuat tiga cangkir kopi. "Kampanyeku berjalan mulus. Mungkin akan sedikit lebih lama di Massschusetts karena aku melihat peluang bagus. Kalau Daddy... dia sedang berkampanye di Philladelphia," jawab Riley. Profesor Devon menganggukkan kepalanya serius. "Aku gak bisa bayangkan kamu akan melawan ayahmu. Aku kira kamu akan ikut ayahmu sebagai Republikan," ucapan dari Profesor Devon membuat Karen melebarkan matanya.
"Yah, apa yang dipikirkan Dad terkadang menyakitkan banyak orang. Namun aku berjalan dengan jalurku sendiri. Benar bukan, Karen?" pertanyaan mendadak dari Riley membuat Karen tersenyum sinis. "Bilang itu kepada dirimu lima tahun lalu, Riley," kata Karen. "Orang bijak gak lahir sebagai orang bijak. Orang bijak ada karena mereka menjadi bodoh dan belajar dari kesalahan mereka," jawab Riley. "Rupanya menjadi anggota partai Demokrat bikin kamu jauh lebih bijaksana, Riley," kata Karen sarkastik.
"Aduh kalian ini! Sudahlah Karen, kejadian itu kan udah lama. Sekaran Riley membuktikan diri dia seorang wanita tangguh, yah kayak apa kamu minta dulu. Kalian berdamailah, aku gak suka liat kalian kayak gini," kata Profesor Devon sambil meletakkan buah cangkir di hadapan Karen dan Riley. "Aku gak ada masalah dengannya sama sekali. Aku juga minta maaf dengan apa yang udah terjadi di antara kitaz Aku cuma ingin berteman dengan kanu, Karen, memperbaiki jarak kita. Gimana pun juga, kamu kenal aku lebih baik dari pada siapa pun," ucap Riley. Karen tersenyum sinis dan berjalan menuju pintu. "Kalau minta maaf bisa menyelesaikan masalah, penjara pasti kosong," lalu Karen berjalan keluar dari ruangan Prosefor Riley.
------------------------------
Malam harinya, Karen sedang menunggu balasan pesan singkat dari Ollivia ketika sedang makan malam di kamar hotelnya. Sebenarnya, ada pikiran lain di kepalanya. Riley. Wanita itu sudah berubah dari gadis ambisius dan cepat marah menjadi wanita tenang dan penuh akal. Penampilannya juga berubah total. Dulu Riley mahasiswi aktivis yang menghadiri tiap perkuliahan dengan baju kaus, jaket kulit, rambut dikuncir kuda, sepatu kanvas, dan celana jeans belel. Sekarang Riley memakai kemeja sutera, celana bahan, rambutnya digelung rapi, memakai sepatu tumit tinggi, dan sangat anggun. Riley telah bermetamorfosis dengan sempurna.
Karen menggeretakkan giginya dengan kesal. Andaikan saja dulu Riley bisa setenang sekarang, mungkin hubungan di antara mereka berdua tidak perlu kandas. Juga tidak merubah Karen menjadi dingin dengan semua orang. Betapa muaknya Karen dengan Jeffery Moore. Ketika dulu Riley mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia berpacaran dengan Karen, Jeffrey menggunakan kekuasaannya untuk menghentikan hubungan antara Karen dan Riley. Mereka berdua dilanda ketakutan luar biasa oleh orang-orang suruhan Jeffrey. Profesor Devon lah yang menyelamatkan mereka, membela mereka. Hingga akhirnya Riley menyerah. Dia tunduk dengan mau ayahnya, meninggalkan Karen yang patah hati dan putus asa.
Pikiran Karen mengawang jauh ketika dia dikagetkan oleh suara bel kamarnya. Karen lalu membuka pintunya. Riley berdiri di balik pintu. "Mau apa?" tanya Karen ketus. Senyuman lembut terkulum di bibir Riley. "Karen, izinkan aku untuk menebus kesalahanku. Aku cuma mau bicara," kata Riley. Karen menggeleng. "Gak perlu, Riley. Aku capek. Sampai jumpa," lalu Karen menutup pintunya, namun ditahan oleh Riley. "Seenggaknya aku mau traktir kamu minum. Ayolah, kita udah lama nanget gak ketemu dan bicara. Ini untuk pertemanan kita. Kumohon, Karen," kata Riley pelan. Akhirnya Karen mengangguk kaku. "Aku ambil jaket dulu," katanya, lalu mengambil jaket kulitnya dan keluar dari kamar hotelnya.
------------------------------
Mereka berada di sebuah bar yang tidak terlalu ramai. "Karen, aku bener-bener minta maaf. Aku belajar dari kesalahanku. Oh, tenang aja, aku gak minta kita balikan. Aku juga harus fokus dengan kampanyeku," Riley menambahkan. Karen menghisap rokoknya dan tertawa. "Yah, kita gak bisa ulang waktu. Gak udah disesali juga," jawab Karen. Riley tersenyum lebar. "Jadi, gimana dengan usaha arsitekturmu? Kamu diundang sebagai dosen tamu di Harvard, artinya kamu sukses ya," kata Riley sambil mengaduk cocktailnya.
Karen tersenyum kecil. "Bisa dibilang begitu. Kamu sendiri kenapa tiba-tiba datang ke kampus?" tanya Karen sambil meneguk birnya. Riley tersenyum. "Aku datang sebagai pembicara di seminar politik. Betapa menyenangkan melihat anak-anak muda dengan tatapan dan visi yang begitu naif. Mengubah dunia dengan idealisme politik mereka yang naif. Rasanyabkayak bercermin dengan diriku beberapa tahun lalu," kenang Riley. Matanya berbinar mengngat masa itu.
Karen tergelak. "Aku tetep gak paham dengan dunia politikmu, Riley. Well, selama aku bisa bebas di negara bebas ini, aku gak ada masalah," komentar Karen. "Pembohong! Kamu jelas-jelas jago dengan dunia politik, buktinya tugas makalahku dapat nilai bagus dengan idemu," kata Riley sambil tertawa. Karen hanya tertawa mendengarnya.
"Kamu ini kan Leonardo Da Vinci abad 21, gak usah merendah Karen," kata Riley. Kali ini Karen hanya tersenyum. Mereka lalu diam. "Karen, besok kalau kamu ada waktu, datang ya ke kampanyeku. Gak jauh kok dari hotelmu. Abis itu, kita makan di diner itu. Aku traktir. Hah, betapa menyenangkan bisa bertukar pikiran dengan orang yang memang pintar," kata Riley sambil tertawa. Mendengar itu, Karen tertawa juga. "Mereka kan juga orang-orang pintar, mereka itu tim suksesmu loh," katanya. Riley menggeleng. "Mereka ingin pintar atau berpura-pura pintar, Karen. Itulah politik," kata Riley.
Tanpa mereka sadari, seorang reporter tengah membidik mereka berdua sambil menuliskan detail pertemuan mereka. Lalu dengan sekali tekan, sebuah berita terkirim ke kantor utama. Tanpa disangka, berita itu langsung masuk ke redaksi online dan diterbitkan secara online. Segera saja berita itu menyebar luas.
Ratusan kilometer dari Boston, seorang wanita tengah membaca koran online dan terkejut melihat berita barunya. Judul dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 'Calon Senator Muda Riley Moore dan Masa Lalunya' terpampang di salah satu kolom. Yang lebih menyakitkan lagi adalah fotonya yang menunjukkan foto-foto masa lalu Riley dengan Karen serta foto mereka berdua di dalam bar yang baru saja diambil beberapa saat lalu. Diberitakan juga hasil investigasi sang wartawan terhadap hubungan antara Riley dengan Karen, yang dengan tepat mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan khusus di masa mereka kuliah. Tak disadari, air mata menetes dari wanita itu. Tanpa berpikir panjang, wanita itu mengangkat telepon dan menelepon perusahaan penerbangan. "Satu perjalanan Jakarta-San Fransisco, lalu lanjutkan dari San Fransisco ke Boston, kelas bisnis. Atas nama Ollivia Elyas."
-----
Hi, Dear Readers! Aku mau promosi cerita baruku dengan judul Keep Me. Vote dari kalian sangat kuhargai di seluruh ceritaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love My Coffee Decaf
RomanceE-BOOK SUDAH TERSEDIA DAN DAPAT DIPESAN MELALUI DM INSTAGRAM @NATSUKIBENIBARA ALL RIGHTS RESERVED. DILARANG COPY DAN/JIPLAK CERITA AKU. BARANGSIAPA YANG MENJIPLAK, AKAN DIKENAKAN PASAL PEMBAJAKAN HAK CIPTA. Attention/Perhatian: Ini kisah lesbian. K...