You (Chapter 8)

1.5K 160 4
                                    

     Sehun membawanya ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan pabrik. Dalam memilih bahan Sehun terlihat sangat teliti. Mendengarkan penjelasan karyawan yang tengah menawarkan berbagai macam produk. Lalu memesan produk yang menurutnya terbaik. Yoona bertugas mengingatkannya untuk membeli bahan-bahan selanjutnya, dan mencoret bahan yang sudah didapat.


     Ditengah proses pemilihan bahan, terjadi sesuatu yang tidak dipahami Yoona. Itu karena empat orang pria berbadan kekar memaksa Sehun untuk mengikuti mereka. Tanpa menghiraukan keramaian disana. Sehun terlihat membrontak dan berusaha melepaskan diri dari mereka. Yoona yang takut tidak berani berbuat apapun, bahkan meminta pertolongan sekalipun sulit baginya. Ternyata sulit untuk mereka membawa Sehun bersama mereka. Pria itu tidak semudah itu. Hal kecil baginya untuk melepaskan diri dari mereka. Tapi, ketika dilihatnya Yoona yang ditarik oleh mereka, tentu Sehun memilih menyerah.
"Baiklah, aku akan ikut bersama kalian." ucapnya dengan sangat menyesal. Tak kuasa menatap wajah ketakutan gadis itu. "tapi, lepaskan dia." sedetik setelah Yoona terbebas, pria itu sudah menghilang bersama keempat pria berbadan kekar itu. Yoona mencoba bernafas dengan tenang.
"Agassi, gwenchanayo?" tanya seseorang yang ada disana. Yoona hanya mengangguk dengan pandangan kosongnya. Lama memikirkan itu, barulah ia berlari keluar dari sana. Mencari keberadaan pria itu. Tentu, Sehun sudah tak terlihat lagi disana. Lantas kecemasan menguasai dirinya.



     Memeriksa keberadaan mobil pria itu di parkiran. Mobil itu masih berada disana, tetapi tidak dengan Sehun. Mencoba menghubungi ponsel pria itu, tidak aktif. Kini ia berlari menuju halte, menunggu kedatangan bis dengan gelisah, sembari terus mencoba menghubungi ponsel pria itu, walau tetap saja tidak membuahkan hasil. Setiba bis disana, ia langsung melangkah cepat masuk kedalamnya. Mengamati jalanan berharap dapat menemukan sosok itu disana. Kesal pada dirinya sendiri yang telah membiarkan pria itu dibawa paksa begitu saja.

     Setelah menuruni bis, langkah cepatnya melangkah menuju pabrik. Jaketnya yang tak terkancing pun melayang mengikuti arah angin, saking kencangnya langkah gadis itu. Ia harus segera melaporkan hal itu kepada ketua, atau siapapun itu agar pria itu segera diselamatkan. Membuka pintu gerbang dengan tergesa-gesa, karena kecemasan yang tengah meliputinya, ia menjadi kesulitan membuka pintu gerbang karena kehilangan konsentrasi.
"Yoong!" panggil seseorang dari belakangnya. Masih dengan raut cemasnya ia menoleh. Ternyata tadinya ia tidak menyadari telah melewati mini cooper itu. Yuri menghampirinya dengan tatapan bingung. "kau sedang apa?" tanya Yuri bingung melihat Yoona yang hanya memukul pintu gerbang, bukannya membuka pintu itu.
"..." Yoona sedikit mendapatkan kesadarannya. Menyadari telapak tangannya yang memerah akibat memukul pintu gerbang dengan keras.
"Tidak ada waktu untukku menanyakan itu. Kau ikut denganku." Yuri malah menariknya, memaksanya masuk kedalam mini cooper berwarna pink norak itu.
"Yuri-a, jamkamannyo." mencoba melepaskan tangan Yuri yang menariknya dengan paksa, tapi sangat sulit.
"Kau harus ikut denganku." kata sahabatnya itu yang sedang mendorongnya untuk segera duduk, tapi Yoona terus berusaha menolak itu.
"Aku harus.."
"Kai sudah keluar dari rumah sakit." Yoona terdiam menatap sahabatnya itu. "dan sekarang ia sedang menunggu kedatanganmu. Masuklah, aku tidak ingin membuatnya menunggu."
"Sudah keluar? Cepat sekali?"
"Kau seperti tidak mengenal Kai saja." kali ini Yoona membiarkan Yuri mendorongnya hingga terduduk, dengan perasaan campur aduk. Disatu sisi ia terus memikirkan Sehun yang tidak ia ketahui keberadaannya, dan juga sahabatnya Kai, yang juga selama  ini ia khawatirkan keadaannya. Tidak bisa berbuat apapun, belum mendapatkan jawaban hendak melakukan apa, hanya duduk dengan gelisah membiarkan Yuri membawanya menemui Kai.

---

     Disebuah ruangan yang tidak asing baginya. Tempat yang sangat sering ia kunjungi. Tidak, tepatnya tempat yang secara paksa harus ia kunjungi. Duduk disebuah sofa empuk namun tidak terasa nyaman baginya. Dengan seorang wanita tua yang sedang mondar mandir di hadapannya dan terlihat penuh amarah. Tapi Sehun terlihat santai, dengan tatapan kasihan dan menjijikkannya yang tentunya ia tujukan kepada wanita itu.
"Sekarang apa lagi?" tanya Sehun seraya menatap lengannya yang memerah akibat genggaman paksa pria berbadan kekar itu.
"Kau, bukankah kau sudah berjanji kepadaku, untuk tidak mengganggu hidupku?" kata wanita itu dengan penuh amarah, tapi terlihat aneh. Ia lebih terlihat gelisah.
"Mengganggu hidupmu? Hah." tertawa guna menghilangkan kekesalan yang tengah menggelutinya. "kaulah yang selalu memerintah mereka untuk membawaku kesini! Dan itu sangat menggangguku." sedikit meninggikan suaranya.
"Itu, itu karena aku tidak senang melihat kehidupan kalian! Ani, kalian tidak boleh bahagia! Terutama kau!" ucap wanita itu, dibalik pakaian mewahnya, jiwanya terlihat kacau.
"Naega? Waeyo?" menatap wanita itu dengan kecewa.
"Karena sesungguhnya keberadaanmu didunia ini tidak diinginkan!" kata-kata itu menancap dengan tajam. "keberadaanmu adalah kesalahan."
"Mwo?" mata Sehun memerah.
"Jika saja aku tidak mengandung dirimu, kehidupan kami pada saat itu pasti baik-baik saja. Suamiku tidak perlu diusir dari rumah dan menerima kemiskinan itu. dan juga, jika saja hal itu tidak terjadi, aku juga tidak akan pergi meninggalkannya. Tapi keberadaanmu membuat semuanya menjadi kacau!"
"Suami? Kau kira kau pantas menyebutnya seperti itu? Dia bukan suamimu lagi!" bangkit dari sofa yang semakin membuatnya tidak nyaman. "dan yang membuat semuanya menjadi kacau bukanlah aku, tapi kau!" melangkah menjauh darinya.
"Aku pastikan pabrik itu bangkrut dan hidup kalian akan menderita!" teriaknya dengan keras.
"Lakukan sesukamu." ujarnya tanpa menoleh, lalu berlalu pergi dan sukses untuk tidak meluapkan emosinya kepada wanita itu. Wanita itu yang tidak pernah menginginkan keberadaannya. Wanita yang sangat menyesal karena sudah mengandung dirinya dan melahirkannya ke dunia.

     Berjalan dengan langkah beratnya berusaha menahan kekecewaan yang sangat mendalam. Wajahnya terasa panas, merasa air mata hendak mengalir, ia mempercepat langkahnya, melewati pengunjung kafe yang ramai dengan berhati-hati. Sukses keluar dari kafe itu. Menatap ke jalanan, kota Seoul selalu dipadati akan kendaraan. Seakan mewakili perasaannya yang juga penuh dengan kesedihan, yang tak pernah bisa ia ekspresikan, dan tak seorangpun mengetahui itu. Mengingat keberadaan mobilnya, dengan cepat ia menaiki sebuah taksi. Setelah duduk didalam taksi, barulah terpikirkan olehnya tentang Yoona. Perasaan cemas langsung menggelutinya.

---

"Makanlah." bujuk Yoona kepada Kai yang tidak juga menyantap buburnya. Kai terus menolak suapan darinya. "kenapa begini?"
"Dari mana saja kau? Kenapa baru menghampiriku? Seharusnya kau menemaniku ketika aku keluar dari rumah sakit." menatap Yoona dengan raut kesalnya.
"Itu.." ia memang nyaris lupa akan keberadaan Kai. "mian. Lagi pula, aku tidak menyangka kau akan keluar secepat ini."
"Apa dia yang membuatmu melupakanku?" Yoona mengernyitkan keningnya, membalas tatapan Kai tidak mengerti. "jadi begitu?"
"Dia? Siapa yang kau maksud? Lagian, mengapa kau keluar dari rumah sakit secepat ini?" tidak mengerti maksud dari Kai.
"Dweso. Aku hanya tidak suka berada disana." Kai meraih mangkuk bubur dari tangan Yoona, menyantap bubur itu dengan kesal. Yoona melirik Yuri yang masih menunggunya di dalam mobil, tepatnya didepan rumah pria itu. Membuatnya merasa bersalah karena telah membuat kedua sahabatnya seperti itu.
"Kai-a.. Ada yang ingin aku katakan padamu." merasa harus mengatakan itu padanya.
"Mwoga?" kata Kai enggan menoleh.
"Yuri, menyukaimu." ungkapnya dengan yakin.
"Lalu?" Kai terlihat tidak tertarik, dan masih enggan menatapnya. Sedangkan Yoona sudah menatapnya tak percaya.
"Kau, kau tahu itu?"
"Hmm." meletakkan mangkuk bubur ke atas nampan yang masih berada dipangkuan Yoona. Seakan masih kesal terhadapnya, Kai hanya menatap rumput halaman rumahnya.
"Jadi, selama ini kau berpura-pura tidak menyadarinya?"
"Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk itu."
"Wae? Kenapa kau seperti ini?" betapa menyedihkan Yuri, Yoona semakin merasa bersalah.
"Aku tidak bisa membohongi perasaanku." mendadak Kai menatapnya dengan serius. Dapat Yoona rasakan perasaan yang tengah pria itu tunjukkan kepadanya.
"Tapi, Yuri.."
"Wae? Apa seharusnya aku menerima perasaannya? Apa itu yang kau mau?" Yoona merasa sulit menjawab perkataannya. "sebaiknya kau pulang saja. Aku tidak ingin amarahku semakin bertambah." mengambil nampan yang berisikan mangkuk dari tangan Yoona, tanpa pamit Kai langsung melangkah masuk kedalam rumahnya. Nafasnya seakan tak bersahabat, sulit untuknya menarik nafas dengan baik. Hal ini semakin membuatnya sulit berpikir.

       Menghampiri Yuri yang sedang duduk diam didalam mobilnya. Yoona mengetuk kaca mobil Yuri, Yuri yang tersadar langsung keluar dari mobilnya. Sahabatnya itu selalu tersenyum ketika berhadapan dengannya. Semakin membuatnya merasa bersalah. Tidak ada satupun hal baik yang bisa ia lakukan kepada sahabatnya itu, berharap kali ini ia bisa melakukannya. Tapi akan sulit untuknya menghadapi Kai. Karena, kini perasaannya menjadi sulit memilih.
"Wae? Wae? Kenapa ekspresimu seperti itu? kalian berkelahi?" tanya Yuri yang langsung menyadari raut wajah Yoona. lantas Yoona langsung memaksakan sebuah senyuman.
"Aniya."
"Aish! Dia pasti memarahimu."
"Ani.." merasa tidak bisa berlamaan didekatnya. Yoona memilih pulang dengan bis. "Yuri-a, kau pulanglah. Ada tempat lain yang ingin aku kunjungi."
"Aku bisa mengantarmu."
"Aniya, pulanglah." mendorong tubuh Yuri hingga gadis itu masuk kedalam mobilnya. Yuri membuka kaca mobilnya.
"Kau yakin tidak ingin aku antar?"
"Pergi sana." ucapnya dengan lembut.
"Baiklah. Sampai jumpa lagi." memandangi kepergian mobil berwarna pink itu. Mendadak ia menjadi tidak bersemangat. Melangkah dengan malas menuju halte. Tanpa menyadari bahwa Kai tengah mengikutinya, tidak jauh darinya. Pria itu hanya berniat melihatnya menaiki bis, agar dirinya tidak gelisah berada didalam rumah setelah berkata kasar kepada gadis itu tadinya. Ternyata benar, setelah Yoona menaiki bis, Kai pergi dari sana, kembali ke rumahnya dengan penuh rasa bersalah.

---

       Menyetir dengan gelisah. Setelah berlarian di pusat perbelanjaan itu guna mencari keberadaan Yoona, dengan cepat langkahnya melesat menuju mobil, hingga melupakan barang belanjaannya. Mobil melaju dengan kencang menuju pabrik. Setibanya di pabrik, ia langsung memarkirkan mobilnya dengan asal, bahkan tidak menghiraukan sapaan Henry dan Amber yang baru saja membubarkan karyawan, juga melewati Kris begitu saja, padahal selama ini ia sangat menghormati Kris. Terus melangkah dengan gelisah menuju lift.

      Pintu lift terbuka dan terlihatlah lantai lima yang sepi tanpa keberadaan seseorang. Mencoba untuk memastikannya, ia mengetuk pintu Yoona. Tidak ada jawaban. Dengan cepat dibukanya pintu itu olehnya, ternyata kosong. Semakin merasa bersalah telah meninggalkan gadis itu begitu saja. Ia kembali berlari menuju lift. Berniat kembali masuk kedalam mobilnya, tetapi sesuatu terlintas dipikirannya. Merasa yakin akan itu, ia kembali berlari guna memastikannya.

       Dilihatnya lampu kamar nenek yang mati, pertanda bahwa mereka sudah tertidur. Dengan cepat Sehun menoleh ke seorang gadis yang berada kursi halaman rumah nenek. Duduk seorang diri disana. Menahan dinginnya angin malam. 
"Kenapa kau duduk disini?" tanya Sehun yang baru saja duduk disampingnya. Yoona kaget bukan main.
"Kau dari mana saja? Tadi, sebenarnya apa yang terjadi?" tentu Yoona mengkhawatirkannya. Bahkan sangat mengkhawatirkannya.
"Bukan apa-apa." jawabnya santai.
"Lalu, mengapa mereka menarikmu seperti itu?"
"Tidak perlu kau pikirkan." menatap Yoona dalam diam. Tidak menyangka bahwa Sehun akan menatapnya selama itu. Yoona langsung memalingkan wajah. Ia merasa malu untuk menatap pria itu.  Tapi anehnya, Sehun masih saja menatapnya. Pria itu merasa sulit melepaskan pandangannya dari Yoona. Matanya memandangi wajah itu, dimulai dari mata, hidung, lalu bibirnya. Dugg! Dugg! Dengan cepat Sehun tersadar dan langsung mengalihkan pandangannya ke langit yang tengah memperlihatkan keindahannya.
"Bagaimana dengan barang belanjaan kita?" sadar Yoona yang sekaligus memecahkan keheningan disana. Berkatnya Sehun juga mengingat itu.
"Aish!" mengutuk dirinya sendiri yang telah melupakan barang belanjaannya. Ini adalah pertama kali baginya membuat kesalahan dalam bekerja.
"Kita juga tidak jadi mengunjungi toko roti milikmu." kata Yoona. "eottokhae?"
"Masih ada hari esok." tersenyum kepada Yoona, mencoba meyakinkan gadis itu bahwa kesalahan itu tidak terlalu bermasalah.  "kita pulang saja. Udara semakin dingin." bangkit dari duduknya dan mulai berjalan, diikuti Yoona yang merasa menyesal tidak menyelesaikan belanjaan mereka. Karena ia terlalu mengkhawatirkan pria itu.

       Melangkah berdampingan menuju pabrik. Sehun terlihat santai, begitu juga dengan Yoona. Disaat berada disebuah persimpangan yang memiliki dua arah jalan yang berbeda. Secara reflek Yoona memilih jalan yang berbeda dari pria itu. Beberapa langkah setelah itu Yoona menghentikan langkahnya. Menyadari bahwa ia telah salah memilih jalan. Melihat Yoona yang berada di seberangnya, Sehun berpikir sejenak. Barulah ia sadari itu.
"Jalanlah. Sudah lama kau tidak melewati jalan ini bukan?" perlahan Sehun mendahuluinya, tapi Yoona masih saja berdiri disana. Sehun segera berbalik guna melihatnya. Ia tertegun melihat mata gadis itu yang sudah berkaca-kaca. Sepertinya sebuah kenangan kembali terkenang. Dengan santai Sehun menarik pergelangan tangan Yoona. Memaksa gadis itu untuk mengikuti langkahnya. Walau terlihat enggan, tapi Yoona tidak bisa menolaknya. Beberapa saat setelah itu, mereka berhenti melangkah. "rumahmu masih kosong." kata Sehun seraya mengamati rumah Yoona yang berada diseberang jalan.
"..." tidak ada jawaban dari Yoona. Sehun menoleh kearahnya. Dilihatnya Yoona yang termenung menatap rumahnya, dengan air matanya yang sudah mengalir indah. Kenangan itu seakan menusuk hatinya. Sangat sakit. Keberadaan ayahnya di penjara, dan takdir yang mengatakan bahwa ibunya sudah tiada kembali menyakitinya. Saking sedihnya, Yoona sampai terisak, walau sudah mencoba menahannya, tetap saja Sehun bisa mendengarnya. Lama menatap air mata yang terus mengalir di wajah gadis itu, akhirnya Sehun memilih memeluknya.
"Menangislah." ujarnya sembari mengelus kepala Yoona. Isakan gadis itu semakin terdengar jelas. Pertama kali untuknya menangis seperti itu dihadapan orang.

---

      Sehun baru saja selesai membersihkan tubuhnya dan kini tengah berbaring di kasurnya. Menyalakan lampu tidurnya yang membuat kamar itu semakin terasa nyaman. Ia membenarkan letak bantalnya untuk segera tidur, tapi sejenak pikirannya melayang ke Yoona. Diraihnya ponsel miliknya. Menekan tombol satu beberapa saat lalu ponselnya segera menghubungi gadis itu. Tidak disangka, Yoona menjawab telepon darinya. Pertanda bahwa gadis itu belum tidur.
"Hmm?"
"Kau belum tidur?" tanya Sehun
"Hmm." jawab Yoona. Suaranya masih terdengar seperti baru selesai menangis.
"Tidak bisa tidur?" tebak Sehun.
"Hmm."
"Kalau begitu, keluarlah, aku tunggu di balkon."

       Berdiri bersandar pada pagar balkon. Mengamati Sehun yang tengah duduk dihadapannya, dengan santai memainkan gitarnya. Pria itu terlihat handal. Alunan musik yang terdengar sangat indah. Berhasil menyentuh hatinya. Hingga membuat Yoona tidak mampu menyembunyikan senyuman dari wajahnya. Pertama kali bagi Sehun melihat gadis itu tersenyum seperti itu secara langsung. Dugg! Dugg! Dengan cepat Sehun kembali berkonsentrasi dengan gitarnya dan menghindari wajah itu.

       Jarinya terus bergerak, memetik senar dengan lihai. Alunan yang tercipta semakin membuat senyuman Yoona melebar. Gadis itu benar-benar menikmatinya. Walau ia sudah berusaha menghindari itu, tetap saja sesekali ia melirik gadis itu guna melihat senyumannya. Dugg! Dugg! Kembali mencoba menghindari wajah itu , tapi kali ini tidak berhasil. Ia malah terpaku. Ketika itu Yoona menyadari tatapan darinya, alunan gitar terhenti karena kini kedua mata itu saling bertatapan.

       Keheningan semakin membawa mereka kedalam suasana itu. Terlihat Sehun yang sedang meletakkan gitarnya ke atas meja tanpa melepaskan tatapannya dari Yoona, lalu berdiri dan melangkah maju guna mendekatinya. Yoona terlihat malu karena Sehun terus berjalan mendekatinya. Sedangkan tidak ada jalan untuknya menghindar karena dirinya berada tepat didepan pagar pembatas balkon. Tepat 10cm dihadapan gadis itu, Sehun menghentikan langkahnya. Yoona menatapnya malu-malu, tetapi juga penasaran dengan perlakuan itu. Sedangkan Sehun menatapnya dengan yakin, dengan berbagai perasaan aneh yang mulai berkecamuk mengacaukan dirinya.

       Desiran perasaan mengganggunya dan terus mendesaknya. Semakin sulit untuknya menahan itu. Tangan Sehun bergerak untuk menggenggam pagar balkon, tepat disamping pinggang Yoona. Membuat gadis itu terkurung olehnya. Pergerakan selanjutnya terjadi begitu saja, mengikuti keinginan hati yang tidak bisa dihiraukannya. Tidak bisa menghindari itu. Sehun mendekati wajah Yoona dan dengan cepat bibirnya sudah mendarat di bibir gadis itu. Yoona reflek menutup matanya. Satu detik, tiga detik, lima detik, Sehun mulai melumat bibir gadis itu, perlahan, penuh perasaan. Sedangkan Yoona merasa tubuhnya mendadak kaku dan hanya bisa menerima sentuhan lembut itu.

       Gejolak itu semakin membakarnya. Sehun semakin menarik Yoona kedalam tubuhnya. Tangannya mulai melingkar di pinggang gadis itu. Perasaan yang selama ini membisiknya, menyerbunya dengan semangat hingga ia tidak bisa menghentikan itu. Yoona merasa tubuhnya hendak merosot jatuh, tak bisa membiarkan itu berlanjut, segera Yoona menjauhkan wajahnya dari pria itu dan ciuman itu pun terhenti.
"Sepertinya aku harus segera tidur." Tangan Sehun yang melingkar dipinggangnya pun terlepas, seakan baru menyadari apa yang telah ia lakukan kepada gadis itu. Menatap tubuh Yoona yang melangkah pergi meninggalkannya. Diam beberapa saat memikirkan itu, lantas ia tersenyum tak percaya. Tapi disatu sisi, akhirnya ia mengerti akan perasaan aneh yang selama ini mengganggunya.

---

       Yoona tengah menanti kedatangan para karyawan sembari menahan kantuk karena tidak berhasil tidur semalaman. Begitu juga dengan Sehun yang mencoba melawan kantuk dengan meneguk hingga tiga cangkir kopi. Tentu matanya terus mengamati gadis itu dari jendela kamarnya. Masih tidak menyangka atas apa yang telah ia perbuat pada malam itu. Cepat-cepat memikirkan apa yang harus ia lakukan ketika berhadapan dengan gadis itu. Berharap nantinya rasa canggung tak terlihat.

       Sementara itu tugas Yoona dipagi hari telah selesai. Tetapi ia masih memiliki tugas lainnya, hanya perlu menunggu pria itu memanggilnya. Yoona memilih duduk di halaman pabrik. Berlindung dibawah pohon guna menghindar dari butiran salju yang terlihat ramai melayang diatasnya. Mengancing jaket pemberian ayahnya dengan rapat, udara terasa semakin menusuk. Seharusnya ia masuk kedalam pabrik, tapi ia takut untuk bertemu dengan Sehun. Ia tidak tahu harus berbuat apa jika bertatapan dengannya.
"Nuna!" Amber berlari kearahnya. "minumlah ini." duduk disampingnya sembari memberikannya sekaleng minuman hangat. "kenapa kau duduk disini? Bukankah pagi ini dingin sekali?" tanya gadis tampan itu sambil meneguk minuman hangatnya.
"Kebiasaan burukmu itu apa tidak bisa diubah?" melirik Amber dengan sedikit menyipitkan matanya.
"Mwoga?"
"Memanggilku nuna. Yak, kau itu yeoja." menjitak Amber pelan.
"Aish, araso.." menggosok kepalanya yang baru saja dipukul Yoona. "ini karena selama ini aku terus bersama mereka, hanya aku wanita satu-satunya di pabrik ini. Kecuali beberapa karyawati yang pulang pergi dari sini."
"Aa, ada yang ingin aku tanyakan padamu. Sehun tidak pernah menceritakan tentang ibunya padaku. Apa kau tahu sesuatu?" Amber terlihat bingung hendak menjawab apa.
"Itu.. aku tidak bisa menjawabnya." meneguk minumannya dengan ragu.
"Waeyo?"
"Tunggulah, hyung pasti akan mencerikannya padamu. Kulihat kalian begitu dekat." kini giliran Amber yang melirik Yoona dengan tatapan menggodanya. Yoona kembali menjitak kepalanya. "appo!" menggosok kepalanya dengan kesal. "berkat tinggal selantai, kau sukses terlutar olehnya. Kenapa kalian mudah sekali memukulku?" memasang wajah sedihnya yang tidak imut. Malah membuat Yoona tertawa geli. "wae.. wae? Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu? Hoh, sepertinya hanya Henry yang mengertiku." ia hendak pergi, tapi ditahan oleh Yoona.
"Aa, ada yang ingin aku tanyakan lagi."
"Apa lagi?"
"Bagaimana ceritanya kau dan Henry bisa berada disini? Dan juga Kris oppa."
"Jadi Sehun hyung belum menceritakannya padamu? " Yoona menggelengkan kepalanya. Amber terlihat kesal. " aish, segitu tidak pentingnya kami." melempar kaleng minumannya ke tong sampah yang ada disamping pohon. "sepuluh tahun yang lalu, ketua memenangkan sebuah kejuaraan memasak yang membuatnya dapat berlibur ke Paris. Disana ia mengunjungi banyak tempat pembuatan kue, tentunya bersama Sehun hyung. Tepat disaat itu, ia mengunjungi sebuah tempat dimana aku, Henry dan Kris hyung bekerja disana. Kurasa ini semua sudah takdir kami. Tepat pada saat itu, kami bertiga dipecat dari tempat itu dengan alasan karena sering bolos. Tapi tidak kami sangka, ketua mengikuti kami hingga kami tiba di apartemen. Dan disitulah ia menawarkan kami untuk bergabung dengannya."
"Jika itu sepuluh tahun yang lalu, maka umurmu?"
" ya, aku dan Henry masih sangat kecil. Kris hyung lah yang merawat kami. Sebenarnya, kami bertiga dulunya tinggal di sebuah yayasan, karena kami tidak memiliki orangtua. Tapi tiba disaat Kris hyung mendapatkan sebuah pekerjaan, ia memilih keluar dari sana dan membawa kami ikut bersamanya. Sedikit menyesal, karena sebenarnya penyebab pemecatan itu dikarenakan kami yang sering membuat ulah, tapi syukurnya ketua mau menerima kami. Tepatnya membawa kami ke sini. Dan seperti yang kau lihat, hidup kami sudah sangat bahagia." tersenyum membayangkan semua itu. Begitu dengan Yoona yang merasa terharu dengan cerita itu. "tapi sekarang sudah ada kau, hmm.. Aku akan mencoba mengubah kebiasaan burukku."
"Yak Amber.. kau sedang apa? Kau tidak bekerja?" teriak ayah Sehun yang baru saja turun dari tangga disamping gedung.
"Aa, ne!" tanpa pamit ia langsung berlari seperti orang gila. Yoona segera berdiri, tetapi tidak tahu hendak kemana.
"Yak.. yak.. gwenchana, duduklah." kata pria tua itu kepada Yoona dan terus melangkah memasuki gedung. "kau itu tanggung jawabnya Sehun." ucapnya dalam hati sembari mengamati pekerjaaan karyawannya.  Yoona masih duduk disana menikmati keindahan butiran salju yang melayang dihadapannya.
"Nuna, ada seseorang yang mencarimu!" teriak Henry dari sela gerbang yang sedikit terbuka. Dapat Yoona lihat kepala Henry yang mencondong dari belakang gerbang. "mau aku suruh masuk?" berpikir bahwa itu Yuri, Yoona pun mengangguk mengiyakan. Namun prediksinya salah. Ternyata yang datang bukanlah Yuri, melainkan Kai. Yoona pun sedikit kaget hingga berdiri tegak tak percaya akan keberadaan Kai yang kini sudah berada disampingnya, dan duduk disampingnya.
"Kau, bagaimana kau bisa tahu tempat ini? " tanya Yoona yang masih berdiri, menatap Kai yang tengah mengamati keadaan pabrik.
"Jadi kau tinggal disini?" kata Kai yang tidak berniat menjawab pertanyaannya.
"Yak.. aku sedang bertanya padamu."
"Duduklah." menarik tangan Yoona agar gadis itu segera duduk. Dan segera melepaskan tangannya dari tangan gadis itu setelah Yoona benar-benar duduk disampingnya. "apa sekarang kau merasa bahagia?" tanya Kai tanpa menatapnya. Yoona merasa tidak senang mendengar pertanyaan itu, dan memilih tidak menjawabnya. Kai pun meliriknya yang ternyata sedang menundukkan wajahnya. "wae?"
"Kupikir kau sedang marah padaku." kata Yoona pelan tetap menunduk.
"Ani." melihat Yoona yang tetap menunduk, Kai mengusap kepala gadis itu dengan lembut, dan berhasil membuatnya Yoona menatapnya. "aku tidak mungkin marah padamu. Sebenarnya aku kesini untuk meminta maaf. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu, malam itu aku hanya sedang kecewa padamu yang tidak juga datang menghampiriku." jelas Kai tenang.
"Mian, aku sibuk, banyak hal yang harus aku pelajari disini."
"Aku mengerti."
"Kau, kenapa kau kesini sepagi ini? Kau tidak kesekolah?"
"Bukankah aku yang lebih pantas menanyakan itu padamu?" menatap kesal gadis itu. "mau sampai kapan kau bolos? Tidak lama lagi kita akan menghadapi ujian kelulusan. Datanglah, paling tidak kau harus lulus sekolah."
"Akan aku usahakan." jawabnya dengan nada seakan tidak tertarik. "tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau aku berada disini?"
"Kau tidak perlu tahu." mengingat Kai pernah menemukan keberadaan ibunya, Yoona pun mengangguk mengerti. Tiba-tiba saja raut wajah Kai berubah. Pria itu mengatup rapat mulutnya, rahangnya terlihat menegang dengan pandangannya yang lurus kedepan. Karena penasaran, Yoona pun mengikuti arah pandangannya.
"..." Yoona juga ikut terdiam.

---

       Setelah menutupi badan atletisnya dengan kemeja putih yang sedikit ketat, tanpa mengkancing dua kancing teratas, ditambah jeansnya yang terdapat banyak sobekkan, Sehun semakin terlihat seksi. Ia melipat lengan kemejanya seraya berjalan menuju lift. Mengamati tubuhnya dari pantulan dinding lift, ia tersenyum bangga. Lift terbuka dan ia pun segera melangkah dengan santai. Tapi mendadak langkahnya terhenti ketika mendapatkan Yoona tengah duduk berdampingan dengan seorang pria di halaman pabrik.

       Tanpa sadar matanya terus memperhatikan kedua manusia itu. Juga disaat sang pria membelai kepala Yoona, dan Yoona terlihat menikmatinya. Darah mendidih dan membuat sekujur tubuhnya terasa panas. Apalagi disaat matanya bertemu dengan pria itu. Pria yang baru ia ingat, bahwa dulunya ia pernah bertemu pria itu di rumah Yoona. Ketika pandangan itu saling bertemu, dapat Sehun rasakan aura ajakan bersaing dari dalam mata pria itu. Tapi ketika ia sadari bahwa kini Yoona juga ikut melihat kearahnya, dengan cepat ia melangkah guna menghilang dari pandangan mereka. Langkah kesalnya membawanya ke dapur Kris yang tengah membuat adonan kue.
"Kau kenapa? Raut wajahmu sangat tidak enak." tanya Kris yang heran melihat Sehun duduk dihadapan meja kerjanya. Menatap meja kerjanya yang berantakan dengan tatapan kosong. "siapa yang membuatmu kesal? Amber? Henry?"
"Opseo." jawabnya yang masih melamun.
"Kau lihat, bukankah adonan ini terlihat baik? Aku sedang membuat kreasi baru." tidak ada jawaban dari Sehun. "aish." decak Kris yang tidak juga dihiraukannya. "apa kau sedang cemburu?" tanya Kris yang terus menggerakkan mixer ke adonan kuenya.
"..." tetap tidak menjawab, tapi kini Sehun menatapnya. Seakan tersadar dengan ucapan Kris. Menatap Kris lama, mencoba memikirkan kata-katanya.
"Wae? Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Cemburu?" tanya Sehun pada dirinya sendiri. "Aa, hyung. Apa kau pernah memiliki keinginan untuk mencium seorang wanita?" tanyanya setelah itu.
"Tentu. Disaat aku melihat seseorang yang aku sukai, aku pasti memiliki keinginan untuk menciumnya. Apalagi jika pada saat itu ia terlihat sangat manis." ujarnya. "wae? Kau mencium seseorang? Nugu?"
"A-ani!" ia menjadi kaget mendengar perkataan Kris. Kris telah menebak dengan benar.
"Dimana kau menciumnya? Dipipi? Bibir?" desak Kris dengan yakin.
"Kenapa dia menebak dengan tepat?" pikir Sehun dalam hati. "lanjutkan saja kerjamu! Aish, kenapa adonanmu jelek sekali!" buru-buru ia melangkah pergi meninggalkan Kris.
"Aa.. Jadi kau sedang jatuh cinta." ucap Kris pelan.
"Anakku? Anakku jatuh cinta?" ayah Sehun timbul dari sela lemari penyimpan bahan.
"Ketua! Kau, kapan kau datang?" Kris mematikan mixer dengan mendadak karena kaget akan kehadiran pria tua itu.
"Jadi benar? Sehun sedang jatuh cinta?" menggenggam kedua bahu Kris dengan kencang.
"Oo? Aku tidak begitu yakin." seperti kilat pria tua itu sudah berlari pergi dari sana.






Continued..




You (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang