Tanpa Kata

3.6K 543 60
                                    


"Elang Langit Satria!!" seseorang yang sudah menanti di tepian menyalami Elang. Tepat pukul 4 pagi, kapal yang ia bawa sandar di satu sisi dermaga Pulau Kelagian.

"Mas Wahyu," balas Elang sembari menabrakkan bahunya pada lelaki bernama Wahyu itu.

"Di mana paketnya?"

"Dia tidur Mas. Nanti biar gue yang gendong. Ah, gimana? Ada tempat buat istirahat sementara?"

"Udah Lang!" Wahyu menepuk pundak Elang, "Gue udah siapin. Paling nggak lo punya waktu dua hari buat bertahan nyiapin energi."

"Kendaraan?"

"Begitu lo sampai dermaga Ketapang, di sana udah ada mobil yang siap lo pake. Ini kuncinya!"

Wahyu adalah Tentara Angkatan Laut yang bertugas di Bandar Lampung. Ia sangat mengenal medan Pulau Kelagian karena pulau itu adalah wahana latihan menembak bagi Angkatan Laut. Pertemuannya dengan Elang terjadi sekitar dua tahun lalu, saat Elang pertama kali mendapatkan kesempatan terbang tunggalnya. Mereka menjadi akrab, sering berkirim kabar dan Elangpun pernah berkunjung sekali ke rumah Wahyu bersama Desy.

"Makasih Mas. Gue ambil paketnya dulu," kata Elang sambil berlari masuk lagi ke dalam kapal, membopong Aya yang kelelahan dan tertidur pulas.

"Cantik nian aslinya!!" puji Wahyu saat melihat gadis dalam dekapan Elang itu. Ia takjub bahwa dalam kenyataan, wajah halus Aya bersinar bak pualam. "Bahu lo luka Lang? Masih kuat?" tegurnya memperhatikan bahu Elang yang tak sejajar posisinya dengan sebelah kiri.

"Peluru kontra sniper Mas. Udah seminggu kok," jawab Elang ikut berjalan mengikuti langkah Wahyu, masuk lebih dalam ke bagian pulau.

"Lo harus tetep hidup Lang. Jangan sampe dia sendirian berjuang," nasihat Wahyu. Ia menunjuk sebuah rumah kayu berpelita temaram, "Itu homestay-nya. Gue udah sengaja minta pulau ini diamanin, biar lo nggak ada gangguan selama persiapan perjalanan dan kecil kemungkinan musuh berani masuk ke sini."

Wahyu membuka pintu homestay itu perlahan. Di dalamnya rapi dan tak banyak perabotan. Hanya ada satu ranjang besar yang sudah dipersiapkan, berlapis busa, berwarna coklat muda. Elang membaringkan Aya di atasnya, kemudian menarik selimutnya.

"Soal Desy," Wahyu memberi jeda pada kalimatnya sebentar, "Gue turut berduka cita Lang," ujarnya.

"Makasih Mas. Udah sebulan sejak dia nggak ada, gue udah main-main aja sama perasaan."

"Karena dia?" tunjuk Wahyu langsung ke arah Aya.

Elang hanya tersenyum menanggapinya. Siapa saja pasti tahu tentang betapa di mata Elang tersimpan perasaan mendalam pada sosok yang terbaring lemah itu.

"Lo mencintai Desy karena terbiasa. Terbiasa menerima cinta, bukan memberinya. Sedangkan pada Ayaka, lo memberi segenap perasaan terhadapnya karena lo memang menginginkannya, membutuhkannya dan merasa nggak bisa hidup kalo itu tanpanya."

Elang tidak membantah. Ia menghisap rokoknya damai sembari membanting tubuhnya di sofa, membenarkan kalimat Wahyu tentang perasaannya. Ia hanya memberi, selalu memberi tanpa tahu bahwa sebenarnya ia bisa menerima. Elang merasa cukup dengan limpahan cinta dari Desy hingga ia tak perlu cinta lain.

"Lo cuma beranggapan bahwa cinta dari yang lain itu nggak perlu lo rasakan. Semua udah lo dapatkan, tinggal pengalihan rasa cinta lo ke orang lain walau sebenernya, lo menyadari itu bukan pengalihan. Lo mencintai dia sejak awal, sejak lo melihat senyumnya, sejak lo mendengar suaranya, atau sejak lo mengamati gerak-geriknya lewat teropong senjata. Dia udah menawan hati lo sejak awal. Tapi benteng tinggi yang lo bangun rapat-rapat itu menolak membuka pintunya. Lo merasa nggak ada orang lain yang bisa memberi lo cinta selain Desy. Bener?"

Angel Eyes-Indonesian Secret Service (Akan Diterbitkan Dengan Perubahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang