Melepasnya

5.1K 573 156
                                    

Elang manggut-manggut meneliti bentangan peta di depannya. Sebagai penerbang termuda dalam tim, ia harus banyak belajar dari para seniornya. Itu juga yang terjadi saat ia tiba di Lanud Hasanudin Makassar dua hari yang lalu. Penjelasannya tidak dengan gampang dipercaya karena ia tidak membawa identitasnya. Belum lagi ia harus bisa membedakan mana kawan dan mana lawan.

"Liat kondisi angin yang dari Barat Daya masuk atau hanya lewat di Selatan," ucap Letkol Penerbang Tony Arbianto, leader dari thunder team Sukhoi.

"Mungkin kalo seperti ini hujan cenderung bersifat lokal, Komandan," sahut Mayor Pnb Hendra Alfian.

"Berarti kita benar-benar fokus ke pengawalan Ndan?" tanya Elang.

"Untuk aerobatik nggak bisa Lang. Bassed clouds-nya terlalu rendah. Ada beberapa aturan untuk manuver lebih dari 2000 feet. Dari sumber ATC, ini 1900 feet. Awan dari barat bakalan masuk hujan 10 menit lagi. Kita harus nunggu dulu karena Bapak pake ATR," jelas Letkol Pnb Tony.

"Kita formasi arrow kan Ndan?" Elang memastikan lagi posisinya. "Saya sayap kanan?"

"Iya Lang," Kolonel Pnb Wahid Waskito menepuk pundak Elang, "Saya di belakang kamu. Nanti kamu harus sering koordinasi sama saya, kalo memang kurang maju langsung bilang kurang maju, kalo kurang up, bilang kurang up. Di situlah nanti Saya menstabilkan dengan point 2."

Elang mengangguk, "Kalo terlalu deket atau sesuai dengan check point yang kemaren malah ada celah Komandan," katanya.

"Iya," Letkol Pnb Tony menengahi, "Jadi saling komunikasi dua sayap masing-masing, nanti saya akan mengantisipasi begitu mendekati bandara ini!" ia menunjuk simbol bandara di peta.

"Siap Ndan!!" jawaban serempak terdengar menanggapi ucapan pimpinan tim.

"Udah?" Aya tersenyum saat Elang berjalan menuju ke arahnya. Gadis itu ikut menunggu di ruangan, menonton suasana briefing yang bahasanya sama sekali tidak ia mengerti.

"Kita harus check kondisi pesawat sebelom dibawa terbang nanti malem Ay," jelas Elang.

"Sebelum mempersiapkan pesawat," Aya berteriak hingga perhatian seluruh pilot tertuju padanya, "Ngeteh dulu Bapak-Bapak. Sudah dibikinkan!" ucapnya ceria.

"Wah, ini pasti gara-gara Letda Elang jadi kita semua dapet teh istimewa dari Mbak Aya," goda Mayor Pnb Hendra.

Aya tertawa, "Mumpung hujan jadi enaknya ngeteh. Kata Bapak juga mumpung masih ada waktu sebelum berjuang nanti malam, silahkan Bapak-Bapak."

"Ini yang lain dipanggilnya Bapak-Bapak, Letda Elang aja yang dipanggil Mas," ledek Letkol Pnb Tony.

"Iya, Lang, mumpung masih ada waktu sebelum nanti malam," Kolonel Pnb Wahid menimpali sambil meraih gelas tehnya bersama yang lainnya.

"Jadi berangkat jam berapa?" tanya Aya pada Elang setelah semua orang pergi menuju hanggar.

"Tadinya jam sembilan, tapi kayaknya bakalan ada hujan, kita tunggu sampe hujan reda untuk ngeliat kondisi awan."

"Kenapa harus gitu Mas?"

"Pesawat yang membawa Bapak nggak di-desain untuk menghadapi segala medan cuaca, beda sama yang aku bawa. Makanya kita juga harus terbang rendah untuk menghindari radar. Aku takut meski udah sempat dihancurin, orang-orang gila di Jakarta itu masih bisa mendeteksi kita."

"Kalo mereka tau apa yang bakalan terjadi Mas?"

"Bisa jadi mereka bakalan ngirim sekutunya untuk menandingi kita, atau menembak jatuh pesawat Bapak."

Angel Eyes-Indonesian Secret Service (Akan Diterbitkan Dengan Perubahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang