Mereka bisa saja memisahkan kita. Tapi kau harus selalu ingat, Kak. Perasaanku padamu takkan pernah berubah sedikit pun. Percayalah.
―Reina―
=====
Rivanno POV
"Kak, foto-foto ini dicetak, ya," ujar Reina.
"Sip! Nanti kucetak banyak-banyak," timpalku.
Kami sedang berada di kamarku sekarang. Ia mengajakku melihat-lihat lagi hasil jepretan kami dua minggu lalu di Ciwidey yang belum sempat kucetak. Reina masih saja terpesona oleh semuanya. Andai masih ada waktu untukku, akan kuajak dia ke sana lagi.
"Ih, sumpah ya, Kak. Yang ini keren banget." Ia menunjukkan foto kami berdua. Dengan posisi aku memeluknya dari belakang, dan ia sedikit menoleh padaku yang sedang memperhatikannya. Sangat bagus, memang. Apalagi didukung oleh view di belakang kami.
"Iya, bagus banget," jawabku singkat sembari tidur di pangkuannya. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin melakukan ini.
"Kenapa, Kak?" tanya Reina kaget.
"Enggak. Pengen aja, Rei. Boleh, kan?" tanyaku sambil memandangnya.
Ia mengangguk dan malah memainkan rambutku. Lalu mengusap-usap keningku dengan telunjuknya. Sementara aku gantian melihat foto-foto kemarin.
"Tau gak, Kak? Aku selalu ngebayangin kita bisa kayak gini." Aku mendengar nada bahagia di dalam suaranya. "Kakak tidur di pangkuan aku dan sebaliknya. Kita bercanda, ketawa, bicara tentang masa depan kita. Aku selalu berharap masa-masa seperti itu bisa kita alami."
Reina tersenyum. Membuatku ikut tersenyum bersamanya. "Aku juga, Rei. Selalu pengen lewatin semua hal yang baru kutemui sama kamu."
"Sampe kapan kita mau begini, Kak?" Senyum itu masih ada di wajahnya. Namun matanya memancarkan kepedihan yang amat dalam. "Apa sebulan lagi kita masih bisa seperti ini? Atau cuma seminggu lagi? Atau bahkan cuma sampe besok?"
Aku bangun dengan sekali sentakan. Berbalik dan duduk menghadapnya. "Kamu ngomong apa sih, Rei?"
Ia tersenyum samar. Seperti sedang menahan sesuatu dalam dirinya. Emosi? Atau tangis? Entahlah.
"Aku yakin kamu tau pasti apa yang aku omongin barusan, Kak." Aku menelan ludah. Aku memang sangat tahu, Rei. Hanya saja aku masih tak ingin melihat kenyataan.
"Aku makin takut, Kak." Matanya sudah berkaca-kaca. Tapi tak ada setitik pun air mata yang jatuh.
Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku. Mencium puncak kepalanya penuh rasa sayang. Kami hanya berpelukan di atas tempat tidur. Mencoba menyingkirkan rasa takut yang menyerang. Dan setelah mengumpulkan kekuatan, kulepas pelukannya perlahan. Mengangkat dagunya agar ia bisa menatap mataku.
"Apapun yang terjadi, perasaanku gak akan berubah sedikit pun buat kamu." Kudekatkan wajahku dengan wajahnya hingga tak ada jarak. Mencium bibirnya lembut dengan ritme teratur. Tak ada paksaan dan tak dipenuhi nafsu. Aku menciumnya penuh kerinduan dan cinta yang bergejolak di hatiku. Namun beberapa detik setelahnya aku sadar ini sama sekali tidak benar.
"Aku tahu ini salah," kataku. "Aku yang salah. Karena aku yang mulai semuanya."
"Enggak, Kak. Gak ada yang salah," sela Reina. "Kamu gak boleh nyalahin diri sendiri. Apalagi nyalahin perasaan kamu. Keadaan yang bikin kita terlihat salah. Tapi kita juga gak boleh nyalahin keadaan apalagi takdir. Cukup bersyukur sama apapun yang Tuhan gariskan buat kita, Kak."
Aku terdiam mencerna ucapan Reina barusan. Ia lebih bisa berpikir begitu daripada diriku.
"Makasih untuk semua yang kamu kasih selama ini, Kak. Itu adalah hal terindah yang pernah aku alami." Reina menggenggam tanganku. Dan aku mencium tangan juga keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terlarang
RomanceSeorang kakak sayang sama adiknya..? Wajar... Tapi gimana kalo seorang kakak jatuh cinta sama adiknya..? Ini yang gak wajar..