Aku tahu kalau aku mencintainya. Dan sangat menginginkannya. Sebagaimana ia mencintai dan menginginkanku. Meski dia tak pernah tahu betapa besar cintaku padanya. Yang terpaksa kusembunyikan karena kenyataan pahit di hadapan kami. Kalau saja dalam diri kami tak mengalir darah yang sama, aku takkan pernah menyembunyikan perasaanku padanya —pada kak Rivanno.
—Reina—
=====
Rivanno. Satu sosok yang selalu terbayang di benakku. Satu-satunya lelaki yang bisa begitu mudah menempati hatiku. Cinta pertamaku. Bahkan sudah 4 tahun lebih dia selalu ada di hatiku.
Tentu saja aku akan sangat senang jika tak ada kenyataan pahit yang menghalangi cintaku bersatu dengan cintanya. Dia kakakku. Meski kami tak lahir dari rahim yang sama, tapi sangat jelas darah ayah sama-sama mengalir dalam tubuh kami. Itu alasanku selama ini menyimpan rapat perasaanku padanya.
Ya. Aku jatuh cinta pada kakak seayahku itu. Sejak pertama kalinya setelah 10 tahun dia bersikap tak acuh dan dingin padaku. Saat pertama dia memandangku penuh rasa sayang. Dan aku makin jatuh teramat dalam saat tahu perasaan dia yang sesungguhnya padaku. Dia menyukai, menyayangi dan mencintaiku sebagai seorang lelaki —bukan seorang abang.
Hal ini yang membuatku menangis hari itu. Hari dimana dia nyatakan perasaannya padaku. Bukan karena sekedar takut kehilangan saat aku menolak cintanya. Tapi lebih kepada tersiksa karena harus membohongi dirinya dan hatiku sendiri.
Aku tahu ini salah. Tak akan ada satu pun pembenaran tentang hal ini. Karena itu aku lebih memilih diam. Karena itu pula dia selalu memperlakukanku sebagai adik perempuan dan berlaku seperti seorang kakak laki-laki yang terkadang protektif.
Hingga akhirnya —setahun setelah hari itu— kak Vanno membawa teman wanitanya ke rumah. Kak Annisa selalu rajin berkunjung sejak itu. Bersama kak Tyo —sahabatnya— dan kak Annisa, aku melihat kak Vanno selalu tersenyum, tertawa dan bahagia. Dan aku bersyukur karenanya. Dengan begitu ia bisa dengan cepat melupakanku.
Tapi nyatanya aku tak bisa bersyukur lagi saat kak Vanno mengatakan pada ibu kalau kak Nisa sudah jadi pacarnya. Waktu itu aku hanya bisa tersenyum pahit. Berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatiku rapat-rapat. Dan setelahnya aku hanya bisa mengurung diri sepulang sekolah sampai tiba waktunya makan malam selama dua minggu.
Kekanakkan memang. Tapi aku patah hati. Mata dan hatiku selalu sakit tiap kali kak Vanno dan kak Nisa terlihat bercanda di depanku. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana aku bisa tertahan sampai sekarang.
=====
Hari ini David —teman SMP dan juga teman kuliahku sekarang— mengajakku nonton. Dan dengan senang hati aku menerimanya. Sudah lama aku tak mengobrol juga dengannya.
Dering ponsel mengagetkanku. Ah, iya. Kak Vanno belum kuberi tahu soal acaraku nanti sore. Segera saja kuangkat panggilan darinya. Suara beratnya mendominasi di telingaku. Aku merindunya meski kami tiap hari selalu bertemu.
"Kakak nanti gak perlu jemput Rei. Soalnya, Rei mau jalan dulu sama temen," kataku saat dia bertanya aku pulang jam berapa.
"Jalan kemana? Cewek apa cowok?" Kudengar nada penasaran dalam suaranya. Dia mau bersikap protektif lagi sepertinya.
"Cowok, Kak. Mau nonton." Aku tersenyum membayangkan dirinya di ujung sana. Memakai kemeja yang pas di badan. Dan dasi yang menggambarkan suasana hatinya.
Oh... Ayolah, Rei! Berhenti berkhayal yang tidak-tidak tentang kakakmu! Otakku yang masih agak sehat meneriakkan kata-kata yang sangat menyakiti hati. Aku meringis.
"Oke. Have fun. Jangan kemaleman pulangnya."
"Iya, Kak." Kuputus sambungan telepon dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terlarang
RomansaSeorang kakak sayang sama adiknya..? Wajar... Tapi gimana kalo seorang kakak jatuh cinta sama adiknya..? Ini yang gak wajar..