× Enam ×

12 3 1
                                    

Bagian enam: Kelap Malam

Di tengah ruangan, Aldi duduk di sofa yang saling berhadapan. Ia tak sendiri, melainkan bersama-sama dengan teman-temannya. Sudah setengah jam ia duduk disana dan bercengkrama menceritakan kehidupan mereka dari kecil hingga saat ini.

Aldi tertawa terbahak-bahak ketika Putra menceritakan kisah hidupnya. Bahkan ia sampai terbatuk-batuk mendengar cerita sohibnya.

"Ya elah, Put. Mantan lo berapa sih sampai lo nggak bisa bedain cewek beneran sama cewek jadi-jadian." Sahut Aldi ketika Putra menyelesaikan ceritanya.

Putra menyerngitkan dahinya. Ia menatap tajam Aldi yang sedang tertawa. "Kalo lo jadi gue, lo pasti juga ngelakuin hal yang sama."

"Kagak, kagak. Gue udah punya Veve. Cukup dia saja. Daripada meluk banci." Ia kembali tertawa dan memukul bahu Putra pelan.

"Ah, fucking your—"

"Mouth." Sahut Vania sebelum Putra menyelesaikan ucapannya.

Aldi dan kawan-kawan pun langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara. Ia nampak sangat terkejut mendapati Vania yang sedang berada di depannya. Ia kembali ke club, pikir Aldi. Ia kembali terkejut ketika Rafi datang dari belakang Vania.

"Hey, wassup?!" Sapa Rafi ke teman-teman Aldi.

"Ngapain lo kesini, Van?" Tanya Aldi seketika.

"Main." jawab Rafi. "Gue nanya Vania, bukan elo." ucap Aldi.

Vania pun mengalihkan pandangannya dari Putra ke Aldi. Ia menaikkan satu alisnya lalu tersenyum tipis. Ia tak mau ambil pusing soal ini. Ia juga tak peduli jika Aldi akan mengadu lagi ke orangtuanya.

"Main sama anak-anak." Jawab Vania. Ia langsung menepuk bahu Aldi sebelum ia pergi meninggalkannya dan teman-temannya.

"Sejak kapan lo punya anak?!" Seru Aldi yang tak ditanggapi oleh Vania.

Kini ia sedang mencari Bryan dan teman-temannya yang lain dengan Rafi yang berada di belakangnya. Ia tak usah khawatir berada disini. Jika ia berada di kelab malam seperti ini, Rafi rela menjadi bodyguardnya semalaman.

"Lo mau kemana?" Tanya Rafi yang melihat Vania melangkahkan kakinya ke dance floor yang berada di kelab ini.

"Nyari yang lain." Jawab Vania singkat. "Mereka disana, Van. Punya mata itu dipakek. Jangan buat pajangan aja." Timpal Rafi sambil mencekal tangan Vania dan menariknya menuju teman-temannya. Ia selalu mengatai mata Vania lebih cocok jadi pajangan karena maanya berwarna abu-abu gelap.

Vania terpaksa menuruti Rafi yang telah mencengkram pergelangan tangannya. Memang tak terasa sakit, tapi ia terkesan malu karena orang-orang disekitarnya menatapnya aneh.

Gue bukan jalangnya dia. Dih. Seakan-akan gue jalang yang dipaksa muasin mereka, batin Vania.

DUKK!

"Aw," jerit Vania ketika Rafi mendudukkannya di sofa yang telah ditempati teman-temannya. Vania menjerit bukan kerena Rafi yang kasar mendudukkannya tetapi karena ia melihat pipi Rafi yang tiba-tiba ditampar oleh seorang perempuan.

"Apa-apaan sih elo?!" Seru Bryan. Rafi tak berkutik. Ia hanya memegangi pipinya yang kini memerah.

"Oh, lo belain temen lo yang brengsek bajingan ini?" Tanyanya.

"Dih. Dia emang brengsek, kalo dia merasa ceweknya brengsek sama dia." Sindir Bryan secara terang-terangan. Ia menatap wajah perempun itu dengan tajam.

Best Love From BesfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang