× Empat Belas ×

7 2 0
                                    

Langit malam yang tadinya begitu cerah bahkan bintang-bintang yang bertebaran di angkasa sekarang menjadi tertutupi oleh awan hitam. Langit mendung dan disertai halilintar-halilintar kecil bagai mencambuk bintang-bintang di angkasa.

Dua orang yang kini berada di dalam mobil Audi A5 berwarna abu-abu yang memecah jalanan ibu kota pun saling terdiam. Sudah tiga menit mereka telah berdiam diri layaknya nyepi. Ditambah lampu yang berada di dalam mobil tak menyala membuat suasana menjadi begitu tenang.

"Kamu pulang ke rumah apa ke apartemen?"

Seseorang yang duduk di bangku kemudi mulai tak tahan dengan keheningan di dalam mobil miliknya. Orang yang duduk di sebelahnya pun menoleh dan mengendikkan bahunya pelan.

"Nggak tau. Mama sama Papa lagi nggak ada di rumah. Mama ikut ke Aussie, ngikutin papa. Katanya ada tamu penting." jawab gadis itu.

"Kamu ke apartemen?" tanya lelaki itu.

"Eh, no! Apartemen kamu kan di tinggali sama Leo. Kamar di apartemen kamu ada satu. Kamu nginep lagi di apartemenku aja." lanjut laki-laki itu.

Gadis yang duduk di sebelahnya mengangkat alisnya setinggi mungkin. Ia terlihat kesal dengan ucapan laki-laki di sebelahnya.

"Apaan? Nggak! Leo juga kan abang aku, Fa. Nggak mau. Aku maunya sama Leo aja." jawab gadis itu.

"Vania, sayang. Tapi Leo—"

"Kalo aku sama kamu, pasti meluk-meluk lah, cium-cium lah. Nggak mau. Leo nggak mesum kayak kamu, jadi aku mau ke apartemenku aja." timpal gadis yang di panggil Vania itu.

"Oke." jawab Raffa dengan cepat. Ia langsung membelokkan mobilnya di perempatan menuju apartemen Vania. Gadis itu langsung memandangaa Raffa dengan kebingungan.

"Eh?"

Raffa hanya tersenyum menanggapi Vania. Ia telah mendapatkan rencana baru di otak cemerlangnya. Ia sudah lama tinggal di Seatle. Itu yang membuatnya bisa langsung mendapat ide jika ada sesuatu yang mendadak seperti ini.

Tak ada rotan, akar pun jadi, batin Raffa.

Vania kembali terdiam melihat ekspresi yang di perlihatkan oleh Raffa. Perasaannya mulai tidak enak ketika ia menyeringai. Meskipun ia tak menhdap ke arah Vania, saat ini.

Pasti ada sesuatu diotaknya, nih bocah emang susah, batin Vania.

"Fa? Kamu nggak ada niatan aneh-aneh kan?" tanya Vania dengan nada khawatirnya.

Raffa menoleh ke Vania sebentar sebelum kembali fokus ke arah depan untuk menyetir mobilnya. Ia tersenyum manis pada Vania.

"Nggak, sayang. Kamu khawatiran banget, ya." timpal Raffa.

Di dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Vania saat ini. Wajah khawatirnya sangat cantik, menurutnya. Jika ia memotretnya pasti akan lucu.

Sekian lama, akhirnya mereka tiba di depan gedung apartement Vania. Ia mengarahkan mobilnya ke arah basement gedung. Vania juga menaikkan alisnya, namun ia hanya diam menunggu Raffa. Raffa membukakan pintu untuknya. Vania tersenyum ketika Raffa membuka pintu mobil di sampingnya. Laki-laki itu membalas semyuman manis milik gadisnya.

Mereka langsung masuk kedalam gedung dan menuju lantai 14, dimana kamar Vania berada. Mereka sampai didepan pintu bernomor 675 bercat putih dengan hiasan bunga-bunga mawar putih dari plastik. Vania memencet nomor pinnya.

"Leonard! Where are you?!" teriak Vania. Ia meletakkan tas selempang Channelnya di sofa berwarna biru muda.

"Apasih? Brisik, Van." ucap Leo acuh tak acuh. Ia menonton serial drama Cina bertema action di televisi. Ia tiduran sambil memakan snack dengan bungkus berwarna hijau.

"Jajan gue kok lo makan sih! Mahal tau!"

"Mahal apaan? Sepuluh ribu-an, yaelah, Van."

Vania yang mendengar itu pun cemberut. Ia menhentak-hentakkan kakinya yang masih mengenakan sepatu. Bahkan ia belum melepas sepatunya yang berwarna putih itu.

"Sepuluh ribu berharga, goblok."

"Serah! Lepas dulu tuh sepatu. Gue juga yang nyapu." timpal Leo.

Ia memperhatikan Vania yang melepas sepatu putihnya yang berlogo ceklis. Ia meletakkan sepatunya di rak di samping televisi.

"Malam, bang Leo." ucap Raffa dari belakang Vania.

Leo langsung bangkit dan berdiri mendengar suara bariton Raffa yang menggelegar. Ia menatap Raffa dengan mata elangnya dan memincingkan matanya seraya meminta penjelasan mengapa ia berada disini.

"Oh, kakak ipar, adik iparmu ini akan menginap disini. Ayah dan ibu mertua sekarang berada di Australia, kakak ipar. Jadi, adik iparmu ini akan menemani istrinya selama mertua tak ada dirumah. Sekalian nagih jatah—"

"Jatah tai bitj! Raffa katanya cuma nganter! Ngapain jadi nginep sih?!" teriak Vania sambil melempar buah apel merah dari meja ke arah Raffa. Dan dengan cekatannya dan refleksnya, Raffa dapat menangkap buah apel merah itu tanpa adanya luka karena menempel di lantai marmer yang dingin ini.

"Sayang, aa kan mau menemanimu demi calon anak kita tercinta." ucap Raffa sambil memeluk tubuh ideal sang pujaan hati.

"Menemani tai? Palingan lu raba-raba dikit, Fa." ucap Leo yang membuat Vania menendang kakinya.

Leo yang merasa tulang keringnya di tengdang pun mengaduh kesakitan dan masuk kedalam kamar Vania. For your information, apartement Vania hanya ada satu kamar meskipun apartemen ini cukup luas.

"Leonard! Keluar dari kamar gue!"

"Males. Lo yang tidur diluar. Ada Raffa, Van. Jadi anget-anget giman gitu!" ucap Leo dari dalam kamar Vania.

"Dasar kakak kurang ajar!" ucap Vania pelan.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka sedikit dan menampilkan wajah Leo. Ia menyeringai saat menatap Vania. Ia memberi kode pada adik tirinya ini sambil mununjuk Raffa.

"Gue denger omongan lo, Van. Nih. Biar anget."

Brakk

Leo menutup kembali pintu kamar Vania dengan cukup keras. Sebelumnya ia telah melempar selimut berwarna biru muda milik Vania. Vani mengambil selimut yang di lempar Leo untuknya.

"Pulang gih." usir Vania ketika ia mendapati Raffa sudah duduk di matras depan televisi.

"Gak. Kamu bisa masuk angin, sayang. Aku angetin kamu aja,"

"Dih dikira baso apa diangetin. Sekalian di goreng, Fa." sinis Vania sambil melangkahkan kakinya ke matras.

"Dih, sini."

Raffa menarik tangan Vania hingga ia terduduk di matras. Ia juga menidurkan Vania dan meletakkan kepalanya di pangkuannya.

Vania menatap Raffa tak percaya. Ia melihat Raffa sedang tersenyum padanya. Rambutnya yang berantakan membuatnya terlihat semakin tmpan dari biasanya.

"Raffa jangan baperin aku ya. Nanti kalo putus susah move onnya." ucap Vania pelan.

"Kata siapa kita bakal putus? Alana? Claire? Christine? Ariana? Akhirnya kan balik lagi, sayang." ucap Raffa pelan.

Vania memperhatikan manik matanya. Ia selalu tersenyum ketika Vania menatapnya. Menampakkan senyuman termanisnya.

Boyfriend goals banget sih, Fa, batin Vania.

"Ya kan soalnya kamu macem-macem sama dia."

"Aku nggak ada macem-macem ya sama dia. Dianya aja yang agresif." jawab Raffa sambil mencium kening Vania.

"Raffa suka menelin cewek waktu di Seatle, Van." ucap Leo dari balik kamar Vania.

"Leo bangsat!" seru Raffa.

To be continue...

Best Love From BesfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang