Syafa dan Keyra hanya bisa menunduk ketika gumaman Rangga terdengar. Was-was dengan hukuman apa yang akan mereka terima. Lain halnya dengan Lisa yang menunduk karena menahan tawa. Rangga bukan lagi bergumam, suaranya terdengar dengan jelas di telinga.
"Ehm." Rangga berdeham untuk menarik perhatian.
"Nona Syafa, silakan ditulis tangan alasan Anda tidak mematuhi aturan panitia. Ditulis di buku halus. Tegak bersambung. Masih ingat kan di mana meletakkan kepala, badan, dan kaki tiap huruf?"
"Gitu doang, Ga?" Protes Lisa, "Untuk keterlambatannya?"
"Sama seperti barusan. Nona Syafa dan Keyra tulis alasannya di buku kotak. Ukuran tiap kotak satu kali satu sentimeter." Rangga tertawa puas dalam hati. Itu buku kotak milik anak PAUD. Buku kotak Masha seperti itu.
Syafa dongkol. Dia sudah lupa cara menulis sambungan, malah sekarang diminta menulis di buku anak PAUD. Beneran malapetaka.
**
Selesai memberi hukuman untuk Syafa, Rangga akhirnya membawa kucing putih ke kantin. Dia perlu bantuan Bu Arum, ibu kantin untuk menjaganya selama dia ospek.
"Pagi, Bu!" sapanya yang sudah masuk sampai dapur kantin.
"Astaghfirullah! Mas Rangga ngagetin ibu aja!" Bu Arum menjawab sambil mengelus dada. Bagaimana tidak kaget kalau sekarang masih pagi dan kantin belum sepenuhnya buka, terlebih Rangga langsung masuk ke dapur.
"Hehehe, maaf, Bu. Oh, ya, Bu? Ada kardus kosong nggak? Saya mau nitip ini."
Rangga memasang senyum maut sambil mengangkat Si Putih ke depan dada. Bu Arum yang melihat penampakan kucing membulatkan mata tidak percaya.
"Mas Rangga nggak ikut ospek? Kok malah ngurusin kucing?"
Rangga kembali tersenyum, kali ini sedikit dipaksakan. Dia belum dapat jawaban atas pertanyaannya, tetapi sudah harus menjawab. Hadeh!
"Ini tadi kucing nyasar, Bu. Kasihan," jelas Rangga kepada Bu Arum yang kini mengangguk paham sambil ber-oh.
"Jadi? Bisa kan saya titip di sini, Bu?"
"Ah, bisa-bisa. Itu ada kardus, masukin aja, Mas. Jangan lupa dilubangi."
Ah, akhirnya masalah Si Putih terpecahkan. Rangga menatap kardus mahakaryanya dengan bangga. Urusan kucing, aman!
Dia baru saja berpamitan kepada Bu Arum untuk kembali ke lapangan ketika Si Putih mengeong. Ah, dia teringat sesuatu dan kembali berjalan ke dapur.
"Ibuuu," panggilnya lagi, kali ini dengan suara dibuat sedikit kekanakan.
"Lho? Nggak jadi pergi to, Mas? Katanya tadi mau ke lapangan?"
"Itu, Bu.... anu...," kalimat Rangga terhenti di ujung lidah, sungkan.
"Anu?
"Itu, Bu... Em, boleh minta tulang sisa soto buat makan Si Putih? Kasihan, dia teriak minta makan terus itu."
"Oalah. Kirain apa. Iya, Mas. Nanti ibu kasih makan, tenang aja."
Rangga tersenyum lega. Akhirnya dia bisa kembali ke lapangan sambil bersiul senang.
**
Ospek hari pertama selesai dan bisa dibilang cukup lancar bagi Rangga. Tentu saja minus kelakuan maba yang bernama Syafa. Ingat Syafa, Rangga jadi ingat kucing yang dia ungsikan tadi pagi.
"Lis, duluan, ya!" pamitnya kepada Lisa sambil berjalan cepat menuju kantin.
Jangan sampai Bu Arum sudah tutup berhubung waktu hampir Maghrib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenyah Rasa
EspiritualSebagian naskah dihapus ### "Ga," panggil Al ketika Rangga mulai melangkah meninggalkan halaman rumah Syafa. "Ya, Kak?" "Subuh di Jogja itu jam setengah lima." Al berkata sambil tersenyum simpul. ### Ini kisah, Seorang pemuda tampan, rupawan, hingga...