Cukup malam, tetapi mata Syafa enggan terpejam. Seharusnya dia mudah terlelap setelah menjalani ospek hari pertama dan kekenyangan sepulang dari MH. Nyatanya dia masih asyik di depan MacBook-nya.
Pemandangan sepanjang kampus menuju MH Kaliurang tadi membuatnya gatal ingin menulis tentang angkringan, warung lesehan, dan ekspansi resto-resto waralaba asing. Boleh saja sebagian orang berpendapat itu menghadirkan harmoni. Menampilkan sisi lain Jogja yang tetap arif pada kuliner lokal dan terbuka untuk semua jenis makanan dari luar negeri. Namun, tidak baginya. Pemandangan itu menunjukkan keberhasilan pemodal-pemodal besar menggerus pedagang kecil. Penjajahan di sektor kuliner. Sekarang harga makanan di restoran waralaba asing pun bisa dijangkau semua kalangan. Jika begitu, maka pemilik angkringan yang paling dirugikan. Mereka ada sekadar untuk mempertahankan hidup.
Jari-jemarinya berada di atas keyboard. Dia sedang memilah kalimat yang akan dijadikannya pembuka. Sebulan absen menulis, membuatnya sedikit gagap.
Syafa meraih gelas. Airnya tinggal separuh. Dia meminumnya pelan. Keheningan malam membuat telinganya awas. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Kemudian benda-benda bersenggolan.
Syafa menyibak gorden kamar. Terlihat seorang lelaki mendorong angkringan dengan dibantu istrinya. Oh, roda depan gerobak penjual makanan itu terganjal polisi tidur yang dipasang di gang depan rumah kost-nya. Setelah dua tiga kali mengerahkan tenaga, alhamdulillah, mereka bisa melalui gundukan semen yang memanjang di badan jalan.
Syafa kembali ke kursinya. Menatap kursor yang berkedip.
Yogyakarta baginya adalah angkringan, nasi kucing, keramahan, dan sikap qonaah penjualnya, pembeli yang juga ramah bahkan turut akrab dengan pembeli lainnya. Hal-hal yang membuatnya merindukan kota ini. Kenangan yang ngangeni. Mungkin benar orang bilang, di Jogja itu 1% angkringan, sementara 99% lainnya adalah kenangan.
Ponselnya bergetar di atas meja. Syafa melirik sekilas. Senyumnya mengembang. Kembarannya menelepon. Syafa meraihnya. Membawa ke tempat tidur. Mengobrol dengan Syifa harus dalam posisi nyaman.
"Nggak kurang malem neleponnya, Syi?" sindir Syafa. Dia sudah memeluk boneka kucing bernama Catty.
"Nggak suka kutelepon? Kututup, ya?" Suara Syifa terdengar serius.
"Jangan, jangan!" ucapnya cepat sambil membelai-belai bulu halus Catty.
"Gimana ospeknya, Sya? Seru pastinya."
"Hihihi... mayan. Aku telat tadi, Syi...." Cerita Syafa tentang hari pertama ospeknya mengalir lancar.
"Hati-hati dengan sosok senior yang menghukummu." Syifa mengingatkan.
"Kenapa harus hati-hati? Nggak ada hal yang membuat dia ada di level, aku harus hati-hati. Biasa aja kali, Syiii!" Syafa menepis kekhawatiran Syifa. Jawabannya sangat meyakinkan.
"Hati-hati aja, Sya. Nggak ada yang salah dengan hati-hati. Kehidupan kampus itu lebih sadis. Kampus miniatur kehidupan dalam arti sebenarnya. Yang bakal kamu temui lebih beragam. Ya, mahasiswanya, dosennya. Kamu nggak lagi di Akbid yang semua penghuninya perempuan. Juga bukan di Ma'had Al Ihsan yang pengajar-pengajarnya menjaga pandangan dan pergaulan__"
Syafa tidak lagi mendengar ceramah panjang Syifa. Ketika disentil Ma'had Al Ihsan, tempat dia menimba ilmu agama tiap sore, ingatannya melayang pada sosok ustadz muda idolanya dan teman-temannya.
Ustadz yang menularkan VMJ padanya, Virus Merah Jambu. Bukan salah ustadznya, semua salah dirinya. Dia memupuk harapan terlalu tinggi.
Ustadznya mah lempeng-lempeng saja. Dia datang hanya untuk mengajar. Begitu usai, dia langsung pulang dengan motor matic-nya. Sikapnya itu membuat dia dan teman-temannya penasaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Serenyah Rasa
SpiritüelSebagian naskah dihapus ### "Ga," panggil Al ketika Rangga mulai melangkah meninggalkan halaman rumah Syafa. "Ya, Kak?" "Subuh di Jogja itu jam setengah lima." Al berkata sambil tersenyum simpul. ### Ini kisah, Seorang pemuda tampan, rupawan, hingga...