Repetisi Senja

174 11 4
                                    

Aku masih cukup banyak mengingat.

Atau mungkin, aku hanya tidak mampu untuk melupakan.

Aku masih ingat, ketika tanah di sini masihlah bersuhu rendah di musim lalu yang sejauh sebelumnya cukup untuk mengulangi masa awal tahun ketigaku.

Mengulang kembali, awal tahun ketigaku bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Waktu itu, masihlah kedepresian dan tekanan yang melingkupi seluruh hidupku. Sesampai akhirnya, aku bertemu sekilas dengannya.

Cherry Blossom

Pohon yang tertiup, mengulang kembali memori yang tersisa di pikiranku. Sambil menggenggam sebuket bunga tulip diantara kebun bunga tulip, dan tepat di bawah pohon cherry, aku kembali mendongak untuk menghormati sisa-sisa ingatanku.

Aku cukup yakin, masa itu, aku adalah kosong.

"Ayah, bolehkan aku bermain musik?"

Begitu pertanyaanku meluncur keluar dari mulutku, aku tak mampu menariknya lagi.

Dan tanpa pernyataan apapun, ayahku terdiam, berdiri, dan mulai memukuliku layaknya aku sebuah samsak bebas.

Dalam setiap pukulannya, aku sama sekali tak berteriak maupun mengerang. Jika saja sekalipun aku mengerang atau berteriak, mungkin aku akan dipukuli lebih jauh dalam satu hari ini.

"Ayah, bolehkah aku menulis?"

Dan pukulan menghujaniku lagi, tanpa menghiraukan kehidupan di sekelilingku.

"Ayah, bolehkah aku menggambar?"

Aku terkesima dengan gambaran yang terlintas di hadapanku. Setiap gambaranku disobek, dan lebam di kulitku bertambah, seiring dengan bertambahnya rasa bersalah dan menyalahkan di dalam hati.

"Ayah, bolehkah aku menulis?"

Kali ini, tak ada satupun air mata yang mengalir mengiringi setiap pukulan dan bentakan yang menjalari rongga udara dan rongga tubuhku.

Aku cukup terbiasa dengan hal ini. Bukannya sakit, namun terbiasa membuatku merasa sakit itu terasa nikmat, sampai di titik aku kehilangan rasa kemanusiaan dan emosi.

Dan selanjutnya, aku hanya terdiam di tempat tidur. Kesadaranku melayang, menggantung di awan-awan, menggantung di langit-langit kamar.

Ketika kualihkan pandanganku ke arah jendela, melalui sudut mataku terlihat air hujan membasahi jendela. Dan sekilas juga, dinginnya merambat melalui substrat tak terlihat menyergap pori-pori kulitku.

Terlalu dingin. Namun tubuhku sendiri tak mau menuruti perintahku untuk mengambil selimut yang tergeletak di dekatku.

Kuputuskan untuk menghangatkan diriku dengan berjalan di bawah hujan. Saat ini ayahku belum pulang, karena itu aku memiliki cukup banyak waktu untuk melarikan diri dari kebosanan.

Seketika aku berada di jalanan tanpa payung, aku terdiam dan mendongak ke arah awan. Di hamparan kebun tulip, dan tepat di bawah pohon cherry yang hidup tanpa daun.

Awan gelap, berkesinambungan, tanpa ada ujung cahaya, dan sebuah suara mengisi rongga udara bersama bentuk tetesan hujan.

"Apa arti hidup sebenarnya?"

Aku menoleh, dan yang mengisi pandanganku adalah gadis putih pucat berselimut mantel putih pucat berambut hitam pekat.

"... Hidup akan berarti ketika seseorang mati."

Jawaban yang absurd. Meski begitu, aku merasakan hangatnya rongga dadaku mengalahkan dinginnya tetesam hujan yang menembus pori-pori kulitku.

"Jadi selama ini kita tidak berarti?"

Dia kembali bertanya mengenai filsafat kehidupan. Bagaimanapun, aku bukanlah Socrates maupun Aristoteles. Jadi aku hanya menjawab semampuku.

"Mungkin berarti. Hanya saja kita semua belum menemukan jawaban yang tepat."

Terduduk di kursi taman, dia menatap pohon cherry dalam diam, dan merenungi sesuatu seakan hal itu akan terenggut oleh waktu.

"Aku harap aku hidup sebagai bunga."

"... Semoga keinginanmu terkabul..."

Mendengar pernyataanku, dia tersenyum geli sambil menutup mulutnya dengan punggung telapak tangan kirinya.

"Tidak.. Aku sudah menjadi bunga. Aku hanya berharap hidup sebagai bunga bagi orang lain."

Begitu mulia pernyataannya. Begitu mulia keinginannya.

Aku mendongak, kembali menatap sisi barat dari gulungan awan berombak. Yang menyatakan bahwa hari mulai gelap.

"... Ya, kupikir itu hal yang benar..."

Lalu dingin salju yang memberontak mulai turun mengiringi Desember itu. Pertemuanku dan pertemananku berkembang.

"Apa yang kau inginkan?"

Ujarnya dalam mantel putih pucatnya lagi. Namun karena siklus salju yang mulai turun, pucatnya kelihatan indah.

"Terbang."

Hanya sepatah kata itulah jawabanku. Aku sama sekali tak mengharapkan banyak hal untuk hidupku.

"Kenapa kau tidak mencoba untuk menulis?"

Aku tersenyum getir mendengar sarannya. Gadis ini sepertinya hidup dalam sunia dongeng.

"Skenarionya tidak bisa diubah."

"Bagaimana dengan sembunyi? Bukannya kau bisa terbang dengan itu?"

Sekali lagi, aku terkesima dengan itu. Dengan pemikirannya, dengan dia, dengan segalanya tentangnya.

Begitu aku mengangguk kecil, dia beranjak berdiri dan mulai berlari di sekeliling pohon cherry. Figurnya yang anggun, seperti boneka porselen yang rapuh.

Dengan sekali hirupan nafas, dia meneriakkan sebuah kalimat yang mengubah hidupku untuk selamanya.

"CARPE DIEM!!!"

Begitu teriakannya selesai, nampaknya waktunya juga terhitung selesai. Dengan fenomena itu, dia melompat dan berbaring diantara bunga tulip putih.

Mayat di bawah pohon cherry.

Dia tidak bergerak lagi.

Begitu aku membuka mata, aku sama sekali tidak berlinang air mata. Karena pertemuan kami berdua, bukanlah hal yang spesial.

Bagaimanapun, aku berusaha menyangkal, bahwa aku menyesal. Aku menyesal kebodohanku membutakanku. Aku menyesal aku buta karena kebodohanku.

Mengulang kembali senja musim dingin tersebut, aku mendongak ke arah ufuk barat.

Sekali lagi, awan bergulung menyelimuti atas kepalaku. Namun entah bagaimana, cahaya merah di ufuk barat memiliki kuantitas cukup banyak.

Menyadari hal ini terlalu lama, itu membuatku ingin tertawa. Untuknya, juga untuk diriku sendiri.

Dan dengan pemikiran tersebut, kuletakan sebuket bunga yang kubawakan untuk penghormatanku yang terakhir terhadapnya. Mendiangnya, di pusaranya tanpa ada tulisan maupun tanda apapun. Hanya saja aku akan mengingatnya dalam waktu yang lama.

Aku kembali tersenyum. Namun bukan senyum getir, melainkan senyum tulusku yang muncul entah dari mana.

Dan dalam senyum itu, aku berbisik kecil. Sangat kecil, sampai-sampai mungkin aku sendiri akan melupakan kata-kata ini.

"Selamat tinggal, Hana. Aku bersyukur pernah bertemu denganmu."






FWH Notes:

Hana di bahasa jepang berarti bunga.

Memorandum MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang