Kisah Sepia

64 6 2
                                        


Ada kalanya kita harus menyerah. Menanggung segala kalah dan keluh kesah, sembari menyiapkan diri, membuat keputusan sendiri. Ada hal yang harus dipertahankan juga, meski sejauh apapun itu berubah, sejauh apapun itu dari jangkauan.

Aku menatapnya, melihat bahwa secercah harapan yang kupunya, sirna. Menghilang dari kalbu, meneruskan jejaknya dalam ketiadaan. Aku hanya menginginkan hal yang mudah, namun juga sulit dalam saat yang sama. Meski begitu, aku menginginkannya.

Aku tidaklah menginginkan segalanya. Aku tak serakus itu. Bagaimanapun, hal yang kuinginkan bukanlah aspek pribadi, namun juga relasi dan konklusi. Sebuah egoisme yang dirasakan dari satu sisi, aku hampir-hampir tersenyum kecut karenanya.

Senyumannya begitu tulus, sebuah senyum yang harus dilindungi dan ingin kulindungi, namun sejauh sebabnya, ada pembatasan yang tak memperbolehkanku bersapa dan bermuara dengannya. Ada hal yang harus dipertahankan, sekali lagi. Itu mungkin sebuah penyesalan, karena aku seorang pecundang, dan yang beruntung juga untuknya.

Matanya bertemu dalam pandangku, dan pipinya memerah semu. Matanya, sekali lagi, tersenyum, bersamaaan dengan senyum tipisnya yang membuatku berpikir "Ah... Dia memang yang aku cintai..." Bersamaan dengan itu, aku membalas senyumnya yang begitu menawan, dengan senyum terbaik yang kubuat, untuk membalasnya.

Aku bukanlah Nero,Petrionus, Vivancci, Petrus, Herakles, Perseus, Odysseus, Romeo, Hamlet,dan tokoh cerita dan kisah-kisah lain yang memilki kebanggaan lain. Aku tak lebih dan tak kurang, hanyalah terbilang dalam kata aku, yang menapaki jalannya sendiri, berharap padanya, tanpa sadar menggantungkan diri terhadapnya juga.

Tanpa ada sebuah kisah maupun cerita lain, aku menjalani ceritaku, yang mungkin cukup busuk untuk ukuran sebuah cerita dekil. Meski begitu, teruslah aku berasumsi, bahwa inilah caranya, inilah jalannya, inilah pilihannya. Bersama dengannya, kutapaki lorong ini, yang diliputi senja sepia yang sedikit terlalu merah pada waktunya.

Tak ada kisah maupun cerita lain, aku harus melanjutkannya, pikirku semu. Aku tersenyum kecut menghadapi kenyataannya, bahwa ia, akan berharap padaku, dan memintaku untuk menyelamatkannya. Tak kutolehkan lagi jarak pandangku, yang selalu terpaku pada sepasang sepatu kali ini.

Aku masihlah berharap padanya, aku masihlah bergantung padanya, dia masihlah jadi anganku, destinasiku, pembawa perubahanku. Karena itulah, ada hal yang harus dipertahankan, sekalipun itu menyakitiku, asalkan dia begitu bahagia.

Menolehkan pandangku lagi, mereka bergandengan tangan, saling berdendang ria dan bercengkrama bersama. Hanya ada sedikit ruang terpisah diantara genggamannya, dan mungkin, itulah sisa untuk tempatku. Sebuah kata terima kasih.

Kualihkan lagi jarak pandangku, menghadapi kenyataan, dan hanya untuk menulis sebuah epilog dari masaku, dan masanya. Bukan hal yang menarik, namun itu selalu begitu. Selalu saja begitu.

Kudongakkan penglihatanku, melihat sinar senja yang berkurang cukup, atau mungkin terlalu banyak untuk masanya. Dan dengan itu, kutinggalkan tempat diriku seharusnya berada, menuju ke mana ketiadaan berada. Cukup gelap.

Figurnya, dan figurnya, bayang-bayang mereka diterpa sinar gelap dari bayangan pohon yang mereka lalui, namun pada saat yang sama, figurnya terlihat begitu indah, dan figurnya terlihat begitu jelas. Pada posisiku, aku mengalaminya, bayangku hilang, namun figurku sendiri hanyalah bayangan, bagi dia untuk sekarang.

Kualihkan pandangku, jauh darinya, memandangnya, yang mungkin untuk kesekian kalinya. Ada hal yang tak ingin untuk berubah.

Kutinggalkan dia, dan teman baikku, untuk bermandikan sinar senja, berharap satu sama lain, saling membahagiakan, dalam angan, harapan, dan kisah cinta mereka. Aku mungkin inhibitor, namun aku masihlah ada di antara mereka untuk kali ini, dan seterusnya. Hal ini akan terjadi, pikirku senang. Namun, kali ini, aku mengerti.

Ada hal yang ingin kuubah, namun tak mampu. Melihatnya, untuk kesekian kalinya, lagi, dadaku terasa sesak, namun juga begitu lega. Senyumnya, begitu lembut, selembut angin yang meniup dedaunan petang.

Kuasumsikan, bahwa aku seorang masokis dan pecinta netorare.

Aku mengerti.

Aku mengerti bahwa aku masih mencintainya.

Aku mengerti.

Kubisikan segalanya dalam tanda kesemuan.

"Selamat tinggal... Semoga kau bahagia, anganku..."

Memorandum MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang