Secangkir Dialog

109 9 5
                                    

Aku terdiam, melihat semua yang aku perlukan, atau aku akan jelaskan mengambang di hadapanku. Bersama uap Espresso yang kupesan, semuanya kembali berevaporasi dan menghilang di jarak antara aku dengannya.

"Bagaimana dengan pandangan- Bukan... Mungkin aku lebih tepat mengatakannya seperti ini... Apa yang kau pegang untuk ke depannya? Apa yang menjadi patokanmu untuk melangkah ke depan?"

Aku terdiam, mendongak mengarahkan wajahku ke arahnya. Dia cerminan diriku. Bukan orang yang flamboyan, bukan tipe karismatik. Hanya orang yang dicap sebagai "Paus dari Orang Bodoh" seperti Quasimodo yang memiliki pemikiran sedikit melenceng dari jalan kehidupan normal.

Samar-samar, ketika kami melakukan pembicaraan, itu seperti suara arus kehidupan di sekitar kami mulai mengecil. Mungkin lebih ke arah kehilangan fokusnya.

Kualihkan pandanganku dari dirinya ke luar kafe yang dibatasi dengan selembar fragmen kaca yang diukir dan blur di beberapa titik.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, sampai rongga dadaku sesak karenanya, lalu kuhembuskan residu oksigen yang kuhirup dengan perlahan, membentuk embun pada kaca di hadapanku.

"Itulah yang kupermasalahkan... Aku tak memiliki apapun untuk patokanku atau tempat pijakan di mana aku berdiri sekarang..."

Sudut bibirnya membentuk senyum janggal, namun cukup untuk disebut tulus pada akhirnya.

"Bukan begitu anak muda... Lihatlah kembali ke buku perjalananmu. Kau sudah berubah banyak. Kau tertekan, kau depresi, kau stres, dan kau kosong. Lalu coba lihat! Sekarang kau ada di puncak kisahmu. Kau merajai cerita kecilmu!"

Mendengar pernyataannya, aku tersenyum getir. Aku paham apa yang dia maksudkan, tetapi aku sama sekali tidak mengetahui apa yang dinamakan empati.

"Apa gunanya lautan tanpa garam? Apa gunanya langit tanpa awan?"

"Tidak tidak tidak... Kau salah sayang... Untukmu, kau bukanlah lautan yang kehilangan garamnya ataupun langit yang kehilangan awannya."

Dia tersenyum penuh arti dan membuat gesture telapak tangannya terbuka tepat di tengah dadanya.

"Kita semua seperti alam semesta multiverse. Kisah kita berbeda satu dengan yang lain. Kadang, ada mereka yang memiliki bintang yang baru saja lahir, ada juga yang bintangnya mulai meredup... Dan untukmu, kau hanya mengalami supernova kecil. Yang perlu kau lakukan hanyalah percaya, dan meyakini apa yang kau inginkan dalam hatimu."

Kali ini berbeda. Aku mendengar pernyataannya, dan aku melihat klise unik dalam pikiranku. Aku mengingat suaranya, aku mengingat wajahnya, aku mengingat ekspresinya, aku mengingat senyumnya, aku mengingat semua tentangnya. Dan dalam waktu yang kusadari selanjutnya, air mata yang bermuara di sudut mataku akan jatuh jika aku goyah.

Aku tersenyum, mungkin mendekati tertawa. Tapi yang keluar bukan tawa, melainkan isakan bahagia. Dadaku dipenuhi rasa sesak, meski tanpa adanya kadar tinggi oksigen yang aku hirup kali ini.

Ketika aku melihatnya lagi, dia tersenyum penuh arti. Sembari menangkupkan kedua tangannya di cangkir Latte yang ia pesan, ia bertanya padaku sekali lagi.

"Jadi, apa yang menjadi alasanmu bergerak sejauh ini?"

Aku bahagia, aku sedih, aku marah, aku kecewa, aku rindu, dan aku merasakan berbagai emosi lain yang belum pernah kurasak- mungkin lebih tepatnya, emosi yang telah lama kulupakan.

Dalam isakan kebahagiaan, sesak dalam dada yang memuncak, atau mungkin ini yang disebut dengan penyesalan, aku menjawabnya.

"... A-aku hanya ingin terlihat keren dihadapannya."

Kali ini, dia tersenyum. Dia mungkin menertawakan pemikiran kekanak-kanakanku. Tetapi bagiku, itulah hal yang menjadi acuanku, agar aku tak kehilangan tujuanku.

"... Begitulah... Itulah harapan murnimu. Cinta yang kompleks. Kamu bahkan hanya bisa berharap, bukan bersama, kan?"

Bersamaan dengan saat aku menghapus linangan air mataku, aku mengangguk kecil. Benar, kisahku bukanlah kisah seindah cerita Disney ataupun setragis kisah The Hunchback of Notre Dame. Kisahku stagnan, mungkin bisa disamakan dengan cerita You're Apple of My Eyes.

Kualihkan kembali pandanganku ke Esspreso yang kupesan. Di sisi-sisi cangkirnya, mulai terdapat embun-embun yang membantu Espresso pesananku menurunkan suhunya.

Kali ini, suara kehidupan di sekitarku mulai stabil, dan lalu lalang BGM Bossa Nova kembali mengisi ruang kecil ini. Dan kali ini juga, kuulurkan jemariku untuk menyentuh ujung pegangan cangkir Espresso milikku.

Begitu aku mendekatkan bibirku ke bibir cangkirnya, aku menyadari satu hal kecil.

Meski cukup banyak embun yang terbentuk, sisa-sisa kehangatan Espressonya masih terasa.

Memorandum MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang