"Bisa nggak sih kita kembali kayak dulu, Mor? Kita butuh ruang berdua buat bicarain semua baik-baik."
Suara Radin memecah keheningan malam ini. Aku menengadah menatap langit-langit kamar dengan gamang.
Malam ini ia menelponku setelah sekian lama kami hilang kontak.
"Nggak ada yang perlu kita bicarain, Din. Kita nggak pernah ada apa-apa dan selamanya anggap aja kita emang nggak ada apa-apa. Aku nggak mau ganggu hidup kamu dan kamu jangan ganggu hidup aku juga. Kamu bisa ngerti, kan?"
Suaranya tak terdengar lagi. Ia terdiam. Samar-samar aku bisa mendengar deru nafasnya dari seberang sana.
"Mor, aku boleh nanya sesuatu, nggak?"
"Apa?"
"Sebenernya perasaan kamu ke aku itu gimana sih?"
Pertanyaan itu akhirnya tertuju kepadaku.
Tertohok. Aku nggak tau harus menjawab apa.
Apa aku harus jujur?
Atau berbohong aja?
"Atau kamu cuma nganggep aku sebagai Arel?"
Deg!
Bener nggak sih sama apa yang Radin bilang barusan?
Aku sayang sama dia gara-gara ada bayang-bayang Arel, bukan?
Aku pertama kali tertarik buat kenalan gara gara dia mirip Arel, kan?
Tapi rasa-rasanya aku ini munafik. Bahkan aku tidak bisa menampik kalau-kalau memang aku masih menganggap bayang-bayang Arel ada pada diri Radin.
"Mor?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AM-PM 3: Timerrow
Short StoryAM-PM 3: Timerrow "Can we back together again like yesterday?"