Possessed

723 38 5
                                    

Jogja sore ini sama seperti hari kemarin, Hujan. Kopi pahit dan melodi indah yang semesta ciptakan saat hujan turun adalah sejoli mesra tak terpisahkan, setidaknya untukku.

Aku terdiam disana, terhanyut dalam lamunanku sendiri, menelisik rangkaian ingatan dan memori yang telah otakku rekam, menghadirkannya kembali untuk dinikmati, seorang diri.

Kejadian ini sudah beberapa tahun berlalu, di sebuah siang yang terik awal Januari 2010. Saat itu Aku sedang tidak ada kelas, jadi kuhabiskan waktuku untuk tidur tiduran di ruang Lembaga Fakultas, yang merupakan ruangan bagi segenap Himpunan Mahasiswa dan UKM dari 3 jurusan di fakultasku.

Hiruk pikuk mahasiswa yang sedang berjuang memperebutkan posisi antrian di kantin sebelah kuanggap lullaby penghantar tidur. Namun, sebelum benar-benar bisa terlelap, hening menghampiri, tak lama memang. Sebelum kehebohan dan teriakan yang menyusulnya. Langkah kaki dari kerumunan orang adalah suara yang memuakkan.

Penasaranku terobati, saat aku mengintip dari balik jendela ruanganku kearah kerumunan Mahasiswa. Ada seorang Gadis muda duduk bersandar di salah satu kolom/pilar bangunan Kantin. Seorang Mahasiswi yang kukenal, berbicara pada gadis itu sambil menyodorkan sebotol air mineral. Sang Gadis menyambarnya, menghabiskan sebotol air itu dalam beberapa tegukan singkat, terkekeh sebentar, lalu memberikan tatapan tajam kepada setiap pasang mata yang hadir. Beberapa orang mulai merasa risih lalu mundur, sehingga Aku dengan jelas dapat melihat kondisi gadis itu sekarang.

Dia tampak menyedihkan dengan rambut acak acakan, wajah penuh debu, dan bibir yang pecah pecah.

Gadis itu berdiri, menyeret kaki kaki tanpa alas itu kearah pintu masuk ruangan Lembaga. Aku memburunya, menunggunya di depan pintu lobby. Ia melewatiku tanpa menoleh, lalu duduk di sofa yang berada diluar ruang rapat. Gadis itu tertidur.

Beberapa anggota Himpunan dari jurusan berbeda datang berbarengan. Sebelum mereka bertanya, Aku sudah menjawab dengan beberapa gelengan.

Seorang dari mereka mendekati gadis itu untuk bertanya tentang maksud dan tujuan gadis itu datang. Ia berdiri di pembaringannya, menatap lekat pada Satria, si penanya. Wajah mereka saling berhadapan, memaksa berkomunikasi satu sama lain dalam atmosfer sunyi. Cukup lama, sebelum Satria berbalik arah, dan membiarkan gadis itu merebahkan diri lagi pada sofa.

"Aku ga sanggup, "
"Dang, tolong hubungi pak Zikri, tadi masih mengajar di kelas arsitek lantai 3, jelasin kalau ada yang darurat disini". Satria menjelaskan dan meminta bantuan.

Dadang adalah ketua himpunan Teknik Sipil, ketuaku. Sangat lama Ia pergi, kurasa cukup sulit meyakinkan Dosen itu untuk meninggalkan perkuliahan demi gadis ini, namun akhirnya Pak Zikri berkenan turun.

Saat beliau menatap gadis itu, sang Gadis balik menatapnya. Tertawa histeris lalu berlari ke arah kami, dimana Pak Zikri dengan sigap menghadang.

"Kalian mau keluar,atau aku jadikan kalian semua masuk Islam !! " Hardikan keras Pak Zikri membuat langkah gadis itu terhenti.

Kami yang hadir di sana saling memandang heran tak mengerti, Satria menyuruh kami keluar ruangan, lalu Ia menutup pintu dari dalam.

Hanya teriakan, rintihan, dan kadang tawa keras yang kami dengar dari luar, sesekali juga terdengar benda benda terbanting, dan sudah pasti itu peralatan musik milik UKM Seni dan Teater yang tersusun di sepanjang lorong lobby.

Pintu ruang lembaga terbuka, Pak Zikri menyeka keringat dengan lengan kemeja nya, lalu terduduk lemas di dalam kantin setelah mengambil beberapa botol air minum dari kulkas.

Tanpa komando, kami yang sedari tadi penasaran, berebutan memasuki ruang lembaga. Melihat alat alat musik yang pecah dan rusak berserak, juga Satria yang duduk berjongkok di depan sofa, dimana gadis itu tertidur.

Ipit yang terakhir masuk, mengunci pintu lembaga, tak membiarkan selain anggota himpunan untuk ikut masuk, tentulah ruangan ini tak cukup mampu menampung kerumunan Mahasiswa dari beberapa jurusan dan angkatan sekaligus.

Satria masuk kedalam ruangan rapat, kami mengikutinya, semua orang tampak tak sabar dan ingin menyerbunya dengan pertanyaan. Tapi, tak seorangpun mulai bertanya, sampai Satria sendirilah yang bercerita dan cukup membuat kami takjub.

Gadis itu datang dari daerah Lamongan, Jawa Timur. Menurut pengakuannya, ia sedang membersihkan pekarangan rumahnya sore itu, lalu ia mendengar suara suara asing di pikirannya.

Singkatnya Gadis itu kerasukan, Ia melakukan perjalanan dari Lamongan ke Jogja, berjalan kaki, tanpa bekal, juga tanpa kesadaran.

Gadis itu memiliki sebuah masa lalu yang suram, Ia adalah anak tiri dari Ayahnya, dan sejak kecil sudah menjadi korban Pedofilia. Tekanan batin gadis itu amat besar, nalar dan kesadarannya tidak stabil.
Sepanjang perjalanan ke Jogja, gadis itu bahkan tak sanggup mengontrol tubuhnya sendiri, Ia benar benar kerasukan, hanya beberapa menit saja Ia mampu kembali ke kesadaran dirinya, yaitu saat mendengar Adzan, atau bertemu dengan orang yang menawarinya pertolongan, sekedar menawarkan makan dan minum atau menghantarkan ke tempat yang dituju.

Tapi suara-suara di dalam pikirannya menolak, Ia merasa silau memandang orang orang tersebut, semacam ada sinar terang yang terpancar dari wajah mereka.

Suara-suara itu membimbing nya menuju ke Yogyakarta, dan tujuannya jelas adalah Kampus ku, mereka ingin Gadis itu menghantarkan mereka pulang, ke sebuah Candi yang ditemukan di bulan Desember 2009, di areal pembangunan gedung perpustakaan milik Universitas ku.

Satria menghela nafas, sebelum meneruskan ceritanya,
" Ada 7 dari mereka yang memasuki tubuh gadis itu" katanya.

Jumlah yang fantastis, Namun, lima diantaranya sudah pergi ke area candi, satu sudah kembali ke gedung rektorat, dan sisanya ingin pulang ke rumpun bambu yang berada tepat di luar ruang lembaga.

Aku menelan ludahku, saat selesai mendengar penuturan Satria. Tak bisa kutolak, tapi sukar dipercaya. Aku rasa setiap hati dari kami yang berada di ruangan itu, merasakan hal yang sama.

Menjelang Maghrib, kami sudah menghubungi pihak kepolisian terdekat, menceritakan detil kejadian. Polisi juga tak mungkin percaya hal seperti itu, masalah masalalu sang gadispun tak bisa dibuktikan. Mereka menganggap kasus itu sebagai kasus orang hilang.

Para anggota himpunan patungan untuk sekedar membelikan gadis itu beberapa botol air minum dan roti sebagai bekal perjalanan. Rencana dari polisi adalah mengantarkan nya kembali ke rumahnya di Lamongan sana.

Ada banyak hal yang tak jelas dan ingin kuketahui, seperti bagaimana mekanisme pemulangannya ke Lamongan, juga nama gadis itu sendiri. Karena Satria enggan mengungkap nama si gadis.

Tapi ada satu hal yang pasti tak ingin kuketahui, yaitu dimanakah wilayah operasional wanita tanpa kepala yang gadis itu sebutkan, sewaktu menjawab pertanyaan kakak tingkatku tentang penghuni ruang lembaga yang selalu kami gunakan hingga lewat tengah malam itu.

KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang