Kisah Tentang Tiga Titik Cahaya

62 3 2
                                    

Kurwok! Kurwok! Kurwok!

Suara burung Wak-wak, sejenis  burung belibis dengan corak warna bulu dominan hitam dan sedikit putih pada sekitaran lehernya, terdengar bersahutan dari balik pohon rumbia yang berjejer di bagian selatan sebuah jalan tanah berbatu.

Jalan gelap yang ketika musim hujan berubah menjadi medan berlumpur itu adalah satu-satunya penghubung antar dusun di desa Air Molek.

Ketika itu, malam telah lewat dari separuh saat kawanan burung Wak-wak mendadak sunyi tanpa suara, tergantikan derap langkah terburu dari seseorang yang belum jelas siapa. Namun yang pasti, dia mengerti benar keadaan jalan yang langkah demi langkah mantap ia jejaki,walau hanya mengandalkan berkas cahaya bohlam lampu di ujung jalan.sebagai patok tujuan.

Setengah batang rokok kemudian, ia tiba di bawah gapura berbahan bambu kuning yang mulai lapuk termakan waktu. Tidak banyak rumah berpenerangan listrik dekat pintu masuk dusun, namun rupanya redup cahaya lampu yang menggantung di teras rumah-rumah panggung dari kayu, khas melayu itu mampu menunjukkan siapakan si pemberani penyusur jalan di tengah kelam malam.

Adalah Satimin, seorang pria berumur akhir 30-an yang merupakan aslipenduduk dusun setempat, berpakaian serba hitam dari ujung kaki hingga seutas kain yang melilit bagian dahi di kepalanya kini tengah duduk berjongkok, mengatur napas setelah ia buang sisa rokok yang sedari tadi ia hisap. Satu tarikan napas kemudian ia berdiri, tampak ragu sesaat sambil memperhatikan rumah dengan pencahayaan paling terang malam itu, dimana pada sisi teras rumah tergeletak gelas-gelas kosong dan asbak berbahan seng yang telah menggunung, penuh kulit kacang dan puntung rokok.

"Tok..tok..tok!"

...

Satimin mengetuk pintu cukup keras dengan jeda yang tak terburu, ingin memastikan agar suaranya terdengar oleh penghuni rumah.

"Tok..tok..tok!"

...

Lagi, Satimin mengulangi ketukan pintu, namun dengan suara yang lebih keras dan tempo yang dipercepat. Wajar jika dia mulai gusar dan tak sabar karena telah cukup lama si penghuni rumah tak jua membukakan pintu.

...

"Pak! Pak Lurah!"

Panggil Satimin dengan suara sekeras yang ia bisa setelah kesabaran mulai mendekati tapal batas amarah..

...

"S-siapa?"

Suara lembut terdengar dari balik pintu yang masih tertutup, Satimin melihat bayangan orang sedang mengintip dari balik tirai jendela ruang tamu yang berbatas dengan area teras.

...

"Saya Satimin, Bu!" Ucap Satimin dengan suara yang diperlunak karena menyadari orang yang bertanya dari dalam adalah Istri si pemilik rumah, dengan kata lain adalah Sang Ibu Lurah.

"Oh, Kang Satimin, ya?!"

"Ada apa, Kang? Tengah malam begini berkunjung"

Kalimat tanya kembali terdengar dari dalam rumah, tapi Satimin belum mampu melihat wujud Bu Lurah karena rupanya ia masih enggan membukakan pintu di keadaan seperti itu. Dengan pemahfuman, Satimin pun mengutarakan perihal keperluan yang ia katakan sebagai "Sesuatu yang mendesak dan teramat gawat" Ia pun berkeinginan untuk dapat menemui Pak Lurah dengan segera, tengah malam sekalipun.

Mendengar penuturan Satimin yang masih berdiri di teras rumah, Bu Lurah kemudian menjawab dengan singkat, "Sebentar!" Lalu berjalan menuju kamar tidur utama untuk menemui sang suami yang ternyata telah duduk di sisi ranjang tidur mereka.

KAMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang