Waktu masih pagi ketika ku mulai menjalani hariku. Sayup-sayup terdengar suara adzan penanda waktu shalat Subuh. Seketika itu pula aku beranjak dari tempat tidurku bersiap untuk shalat berjamaah di masjid dekat rumah. Ku lihat Teddy masih belum bisa lepas dari kasur kesayangannya itu. Gravitasi di kasurnya terasa sangat kuat hingga suara adzan Subuh pun tak mampu membangunkannya. Aku berusaha untuk membangunkan Teddy.
"Ted, ayo bangun! Udah waktunya Subuh ini. Kita ke masjid, yuk!" ajakku.
"Ah, Boy. Masih ngantuk ini. Kamu duluan aja sana," jawabnya dengan mata masih setengah mengantuk.
"Eh, gak boleh gitu. Entar dosa lho...," balasku.
"Sudahlah aku masih ngantuk ini semalam habis begadang nih," balasnya lagi dengan nada agak ketus.
Aku pun sadar tidak bisa memaksanya. Akhirnya aku berangkat ke masjid seorang diri sambil berpamitan dengan ibuku. Sudah beberapa hari ini ayahku tidak pulang ke rumah karena ada tugas di luar Jawa sehingga hanya ada aku, ibuku, dan Teddy yang tinggal di rumah.
Matahari kian menampakkan dirinya. Ibuku pun telah menyiapkan sarapan lauk yang serba lengkap ditambah dengan sambal balado kesukaanku. Namun, aku merasa ada yang kurang. Si Teddy belum juga beranjak keluar dari kamarnya.
"Boy?" panggil ibuku.
"Iya, Bu? Ada apa?" balasku sambil menuju ke arah ibuku.
"Tolong bangunin si Teddy ya, Nak. Bilang ke dia kalau sarapannya sudah siap," pinta ibuku.
"Iya, Bu. Kakak segera ke kamar," jawabku lantas langsung menuju ke kamar.
Aku pun penasaran. Entah mengapa, selama beberapa hari terakhir ini dia jarang keluar dari kamarnya. Kalau tidak untuk makan, mandi, atau membeli sesuatu yang diinginkan, pasti dia akan menyepi di kamar. Tak tahulah apa yang sedang ia pikirkan. Tak lama kemudian, aku masuk ke kamar dan menghampirinya.
"Ted, ayo ini udah waktunya makan," kataku.
"Hmm.... entar aja deh, masih jam berapa coba," jawabnya dengan malas.
"Heh, matahari aja udah naik, kamu masih molor aja. Entar sakit baru tau rasa lho," balasku setengah marah.
"Iya deh iya aku ke sana," jawabnya dengan nada yang masih malas.
Kami pun sarapan bersama. Suasana pagi yang tampak damai dan tenang ditambah dengan kicauan burung yang semakin menyejukkan suasana. Pagi yang indah sekali kalau kata Koes Plus, grup musik legendaris negeri ini. Setelah sarapan, kami pun berbincang santai sambil mencurahkan isi pikiran kami. Ini sudah menjadi tradisi di keluargaku.
"Bagaimana rasa masakan ibu, Nak?" tanya ibu pada kami berdua.
"Enak, Bu. Tidak seperti biasanya ibu memasak seperti ini," jawabku penuh basa-basi.
Teddy pun diam saja ketika ibuku menanyakan rasa masakannya. Ibu yang terheran-heran pun bertanya.
"Kamu gak apa-apa kan, Ted? Kenapa kok diam saja? Bagaimana rasa masakan bibi?"
"Gak ada apa-apa kok, Bi. Masakan bibi enak kok," jawab Teddy sedikit dengan sesuatu yang ditutupi.
Aku dan ibuku terheran-heran melihat sikap Teddy yang berubah akhir-akhir ini. Biarlah, mungkin ia sedang tidak ingin mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Terpendam
Teen FictionSetelah Tiara menolak cinta Teddy, kepribadian Teddy pun mulai berubah yang ditunjukkan dengan perilakunya kepada orang-orang di sekitarnya. Namun ia sadar bahwa berdiam diri tak dapat menghilangkan perasaannya kepada sosok Tiara yang dicintainya. H...