💦 2 💦

5.6K 797 51
                                    

Senyum Zevanna mengembang begitu melihat bocah menggemaskan yang beberapa minggu terakhir ini dekat dengannya sedang duduk di salah satu kursi di ruang guru.
Selalu, Gama akan datang ke ruang guru hanya untuk bertemu dengannya.

"Gama lagi apa sayang?" tanya Zevanna setelah berdiri di samping Gama.

Gama yang sedang asyik mewarnai buku gambarnya langsung menolehkan kepala ke arah datangnya suara. Senyum di bibir kecilnya merekah kala melihat orang yang sedari tadi ditunggu kini sudah berdiri di dekatnya. "Lagi mewarnai, bunda. Tapi, bunda kok lama sekali sih sampainya?" rajuknya merengut.

Bibir mungil yang berwarna kemerahan itu mengerucut, menunjukkan bahwa Gama sedang merajuk karena lama menunggu 'bundanya' itu.

Zevanna hanya bisa terkekeh melihat tingkah Gama yang menggemaskan. Lalu, karena gemas ia mengecup pipi bulat bak bakpao tersebut. Setelahnya, ia duduk di samping Gama dan mengangkat anak itu ke atas pangkuan.

"Maaf, tadi ada yang nangis di kelas jadi ibu nenangin dia dulu baru bisa ke sini. Gama mau 'kan maafin ibu?"

"Iya deh Gama maafin," kepala kecil itu mengangguk-angguk.

Baik Zevanna dan Gama menikmati kebersamaan mereka. Hingga suara yang datang dari arah muka pintu membuat mereka serempak menolehkan kepala.

"Wah makin lengket aja nih, An!"

"Kamu nih Ir, ngagetin aja." ucap Zevanna saat melihat Irma tersenyum lebar ke arahnya.

"Lengket banget dia sama kamu, An. Aku sih maklum kamu kan 'bundanya' anak-anak." ujar Irma begitu mendudukan dirinya di seberang meja. "Kayaknya kamu udah waktunya buat cari pendamping deh, An, biar punya satu yang kayak Gama." imbuhnya tahu jika temannya yang satu ini tidak pernah mau membahas masalah pendamping hidup. Entah apa alasannya sampai wanita secantik Zevanna seakan enggan untuk membahas topik yang satu itu.


Bibir Zevanna terkatup. Ia lebih memilih mengamati Gama yang menggoreskan warna di buku gambarnya ketimbang meladeni perkataan Irma.

"Kamu punya trauma ya, soal pernikahan? Orang tua kamu atau saudaramu yang bercerai?" tanya Irma beruntun.

"Ngaco." Zevanna mendengus kesal. Tanpa merasa perlu menatap temannya, ia berkata, "Ibu sama bapakku itu dipisahkan oleh maut, trus saudara aku satu-satunya belum nikah. Lalu, darimana pertanyaan nggak masuk akal itu?"

Seketika Irma terdiam. Keningnya berkerut mendengar penjelasan singkat Zevanna. Wanita bertubuh pendek itu jadi bertanya-tanya, kalau tidak mengalami trauma, mengapa Zevanna seakan enggan menjalin hubungan dengan lawan jenis?

Beberapa menit setelahnya tidak ada lagi pembicaraan diantara kedua wanita itu. Mereka sama-sama memperhatikan Gama yang sedang mewarnai. Hingga suara telpon yang berdering mengagetkan mereka. Zevanna yang lebih dulu tersadar dari keterkejutan langsung merogoh tasnya karena mengenali nada dering yang terdengar itu.

Setelah menyentuh tombol hijau di layar, Zevanna langsung menempelkan benda tipis itu di telinganya. Kecemasan tampak jelas di wajah Zevanna usai mendengar apa yang dikatakan si penelfon.

Seraya memasukan barang-barang pribadinya ke dalam tas, Zevanna berkata, "Ir, tolong izinin aku ke kepala sekolah ya, soalnya ibu keserempet motor pas pulang dari pasar tadi."

Sigap Irma menyanggupi dengan berkata iya. Ia tahu, saat ini Zevanna tidak memerlukan celotehan panjang lebarnya.

Begitu barang-barang pribadinya telah masuk ke dalam tas, Zevanna merunduk untuk menatap wajah bulat Gama yang mendongak demi membalas tatapannya.

Seputih Hatimu [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang