Bagian 2

10.6K 1.2K 37
                                    

Alya menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghapus bayangan Nanda dari benaknya. pikirannya sangat tidak mungkin jika lelaki itu adalah Nanda. Kalau iya, seharusnya lelaki itu juga mengenalnya. Nyatanya lelaki berkacama hitam itu kini sudah berjalan lagi dan masuk ke mobil sedan hitam yang baru saja datang.

"Alya?"

Alya menoleh. Aldo menatapnya heran.

"Kenapa?"

Alya terdiam sejenak.

"Apa kamu ngerasa pernah ketemu sama pembicaramu itu?" tanya Alya.

Aldo mengerutkan kening. "Iyalah. Aku baru saja tadi ketemu dia."

"Sebelumnya?"

Aldo mengedikkan bahu. "Emangnya kenapa?"

Alya menggelengkan kepalanya berkali. "Aku merasa kenal. Mungkin hanya perasaanku saja."

"Siapa memangnya?" tanya Aldo penasaran.

"Teman SMA."

Aldo diam. Pikirannya langsung tertuju pada satu nama. Siapa lagi kalau bukan cowok itu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Aldo.

Dia sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Alya mengingat cowok itu. Meskipun dia tahu bahwa sebenarnya gadis itu tidak akan pernah melupakan lelaki bernama Nanda.

Alya terdiam. Tidak menjawab. Pandangan gadis itu menerawang ke langit dengan semburat warna jingga.

"Aku ingin pulang."

"Pulang? Kamu menginap di apartemen yang biasanya, kan?"

Alya menggeleng. Dia menatap Aldo.

"Bukan pulang ke sana. Aku ingin pulang ke rumah. Ke rumahku yang lama."

***

Selama enam tahun, dia tidak pernah mengabari orangtuanya. Dia tidak pernah pulang bertemu orangtuanya. Dia tidak pernah tahu kabar orangtuanya. Setiap kali ke Indonesia, Alya menginap di apartemen keluarga Aldo yang sengaja dipinjamkan untuknya. Namun hari ini, dia ingin pulang. Saat sedan hitam pembicara tadi itu menghilang, Alya ingat tentang sedan hitam enam tahun yang lalu. Mobil yang datang ke rumahanya yang membawa ibunya pulang. Malam itu ketika Nanda dengan nekatnya datang ke rumah. Kala itu Alya benar-benar frustasi dengan kehadiran Nanda. Namun hari itu adalah hari di mana untuk pertama kalinya Alya merasakan hangatnya pelukan Nanda. Pertama kalinya, Nanda melihat dirinya menangis.

Alya menghela nafas panjang. Lupakan soal kejadian itu sejenak, Alya ingin fokus pada masalah dia dan orangtuanya. Dia merasa jadi anak durhaka. Enam tahun pergi tidak berpamitan. Alya hanya meninggalkan sepucuk surat di atas meja belajarnya di kamar. Kemudian dia pergi dari rumah.

Sekarang ketika dia berdiri di depan rumahnya lagi, jantungnya berdetak kencang. Rumah lamanya itu masih berbentuk sama. Berbentuk minimalis dengan cat bewarna putih. Hanya saja sekarang rumahnya terlihat lebih hijau. Alya tidak ingat ada pohon mangga di halaman rumahnya. Namun sekarang ada pohon besar dengan buah-buah mangga mengantung di dahannya. Perut Alya langsung terasa lapar. Dia memang pecinta buah mangga. Alya menatap pagar hitam yang ada di hadapannya. Tangannya terulur, tapi tidak berani menyentuh pagarnya. Dia masih ragu.

"Ini rumahmu, Alya. Kamu enggak perlu mengetuk pagarnya," celetuk Aldo.

Alya menoleh. Aldo sedang menatapnya heran dari kaca mobil yang terbuka.

"Masuk saja. Aku menunggu di sini."

Alya mengangguk. Kali ini dengan keyakinan di hati, dia membuka pagarnya. Alya membukanya dengan sangat pelan dan lembut. Nyaris tak terdengar suara bising yang biasa ditimbulkan pagar hitam itu saat dibuka atau ditutup. Alya menyusuri jalanan aspal kecil di antara halaman yang kini telah menghijau dengan jantung berdetak kencang. Alya berdiri di depan pintu utama rumahnya. Pintu yang sudah tidak pernah dia buka selama enam tahun.

Dengan detak jantung yang semakin cepat, Alya membuka pintu rumahnya. Hawa-hawa sejuk langsung menerpa dirinya. Entah apa penyebabnya, namun Alya rasa ini adalah hawa yang berbeda dengan enam tahun yang lalu. Dulu, setiap kali Alya datang suasana rumahnya terasa sangat pengap dan tidak nyaman. Sekarang, rasanya benar-benar berbeda. Alya merasa lebih lega dan nyaman saat menginjakkan kaki ke dalam rumah.

Tidak ada yang berubah ketika Alya membuka pintu rumahnya. Yang pertama kali terlihat adalah ruang tamu yang rapi. Sama seperti saat Alya meninggalkannya. Dari ruang tamu ke bagian dalam rumah dipisahkan lemari besar. Hanya ada sebagian kecil ruang untuk jalan semakin masuk ke bagian dalam rumahnya. Suasanya sangat sepi.

Alya ingin memanggil kedua orangtuanya. Namun, baru saja membuka mulut, tenggorokannya terasa tercekat. Tidak ada suara yang keluar. Susah sekali ingin berbicara. Membayangkan betapa lamanya dia tidak pulang di tempat kelahirannya sendiri membuat Alya sangat sedih. Membayangan betapa jauhnya dia pergi tanpa pamitan membuat Alya merasa sangat berdosa. Bahkan meskipun masih teringat jelas bagaimana sikap kedua orangtuanya saat itu, Alya tetap tidak bisa menghilangkan rasa tak enak hatinya. Bagaimanapun juga mereka tetaplah orangtuanya. Alya harus menghormatinya.

Alya menutup mulutnya. Jantungnya masih berdetak kencang. Secara tak sengaja, gadis itu menoleh ke kanan. Pandangannya langsung tertuju pada pigura yang terpajang di tembok, sejajar dengan wajahnya. Alya mengerutkan kening. Dia merasa familer dengan isi pigura itu.

Alya mendekat. Pigura itu bukan menyimpan sebuah foto, melainkan sebuah potongan surat kabar. Di bagian atas potongan surat kabar itu tertulis judul 'ALYA, REMAJA INDONESIA YANG BERPRESTASI DI LUAR NEGERI'. Di bagian kanan tulisan surat kabar itu terdapaat foto dirinya yang sedang berpose dengan sebuah medali emas. Alya ingat tentang foto itu. Saat itu dia sudah ada di Singapura dan mengikuti lomba di sana. Ternyata ada media Indonesia yang menyadari bahwa peraih medali emas saat itu adalah remaja asal Indonesia. Alya ingat itu. Kejadiannya sekitar empat tahun yang lalu. Itu sudah cukup lama.

Mata Alya beralih pada tulisan di bawah pigura. Bukan tulisan bagian dari surat kabar, tapi ada sebuah kertas putih ukuran kecil memanjang sepanjang bagian bawah pigura. Terdapat tulisan tangan yang indah di sana. Alya membacanya.

Anakku, cepat pulang, ya. Ibu rindu sama Alya...

Serasa ada pisau tajam yang ditikam di dadanya begitu Alya membaca sebaris tulisan di bagian bawah pigura itu. Tidak perlu dikira lagi, dia memang merasa sangat hina sekarang. Dia melupakan orangtuanya, dia melupakan wanita yang melahirkannya, dia melupakan lelaki yang dahulu masih sempat menafkahinya. Padahal selama ini mereka menunggunya. Mereka menunggu dirinya utuk kembali. Mereka merindukannya sosok dirinya.

Mata Alya berkaca-kaca. Lama-lama mengaburkan pandangannya dan kemudian menetes perlahan di pipinya. Dia tidak bisa menahan lagi kesedihannya. Sekarang perasaan rindu kepada orangtuanya mulai memenuhi perasaannya. Tidak ada alasan baginya untuk menahan air matanya.

Seseorang datang.

"Siapa itu?!"

Alya menoleh. Pandangannya bersitatap dengan mata tegas milik seorang wanita paruh baya. Mata yang dahulu menyimpan kehangatan dan kelembutan saat menatap dirinya. Wanita paruh baya itu menjadi terperangah melihat kehadiran Alya. Pandanganya melunak.

"Kamu...Alya?"

Alya menangis. Gadis itu mengangguk.

"Aku sudah pulang, Bu."

***

Maaf ya klo sekiranya updatenya lama enggak sesuai harapan 🙏🙏🙏 lagi banyak tugas soalnya jadi nulisnya nyicil" heheh 😁😁😁

Jangan lupa vote dan komennya :)

[2/2] KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang