Bagian 3

10.6K 1.2K 85
                                    

Ibunya benar-benar bahagia melihat kedatangan Alya. Beliau memeluk Alya erat. Begitu erat. Sudah lama Alya tidak merasakan pelukan hangat seperti ini. Sekarang, pelukan ini membuat dadanya semakin sesak. Alya menangis sesenggukan.

Ibu Alya melepaskan pelukannya. Alya menatap wajah beliau yang hari ini terlihat semakin tua. Wajahnya yang dulu selalu dipolesi dengan make up kini terlihat cantik natural. Beliau memang cantik. Hanya sekarang mulai terlihat keriput-keriput di wajahnya. Ibu mengelus kepala Alya, hal yang saat kecil sangat Alya suka. Tapi semenjak hari itu, ketika semua kehidupannya jungkir balik, ketika ibunya tidak pernah ada untuknya lagi, Alya selalu merindukan elusan tangan ini. Bukan hanya elusan ini, pelukan, segala perkataan lembut ibu, Alya merindukannya. Dan hari ini, akhirnya dia bisa merasakannya kembali.

"Kamu sudah besar, Nak," kata Ibu menatap Alya bangga. Matanya berbinar-berbinar.

Alya mengangguk dan tersenyum haru.

"Maafin Ibu, Alya. Maafkan, ayahmu juga ya, Nak. Ibu dan ayah memang bukan wanita yang pantas untuk menjadi orangtua sehebat gadis sepertimu."

Ibu kembali memeluk Alya. Alya menggeleng.

"Dari dulu ibu dan ayah adalah orangtua terhebat yang pernah Alya punya."

"Alya suka mangga, kan? Ibu sengaja menanam pohon mangga di depan rumah kalau nanti kamu pulang."

Alya yang mendengarnya terharu. Sebegitu rindu kah ibunya padanya? Tapi itu hal yang logis. Alya juga merindukan ibunya, sama seperti ibunya merindukannya.

Alya melepaskan pelukan dengan lembut. Ada satu orang lagi yang belum Alya temui.

"Ayah di mana?"

Ibu terdiam sejenak. Ada gurat kesedihan yang terbentuk di wajahnya.

"Bu?"

"Ayah ada di kamar. Beliau sekarang sakit-sakitan."

Alya kaget. Ayahnya? Sakit-sakitan? Dahulu Alya tahu bahwa ayahnya adalah manusia paling kuat di matanya. Ayahnya tidak pernah sakit. Sekali sakit paling hanya satu atau dua hari. Ayahnya adalah sosok yang kuat. Tahan banting. Hidup sehat, beliau tidak pernah merokok. Tidak pernah minum alkohol.

"Akhir-akhir ini ayah terlihat stress dan akhirnya beliau sakit-sakitan."

Alya terdiam.

"Gara-gara Alya pergi, Bu?"

Ibunya menggeleng. "Beliau hanya menyesali perbuatannya selama ini. Dia hanya takut kamu tidak akan pulang lagi. Tapi sekarang kamu ada di sini. Lebih baik kamu ke kamarnya."

Alya mengangguk. Alya menuju kamar orangtuanya. Suasana rumahnya sama seperti biasanya. Hanya Alya merasa sekarang lebih banyak foto keluarga yang dipajang. Alya mengetuk pintu kayu tempat orangtuanya biasa tidur. Tentu dia masih ingat. Terdengar suara lemah dari dalam menyuruh Alya masuk. Alya membuka pintu perlahan.

Wajah pucat ayahnya adalah hal yang pertama kali Alya lihat. Alya begitu miris melihatnya. Dia langsung berlari memeluk ayahnya.

"Ayah!"

Ayah Alya juga terlihat terkejut melihat putri satu-satunya muncul.

"Al..ya?"

Alya kembali menangis sesenggukan.

"Iya, Ayah. Ini, Alya. Anak ayah satu-satuanya. Anak ayah yang bandel, yang enggak bisa dibilangin, yang sudah ngecewain ayah dulu."

Ayahnya langsung membalas pelukan Alya erat.

"Ayah yang sudah mengecewakan kamu, Nak. Maafkan, Ayah, yang enggak bisa menjadi ayah yang baik buat kamu."

Alya hanya menangis. Hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang. Dia ingin berkata sesuatu. Tapi tenggorakannya terasa tercekat. Tidak bisa berkata.

[2/2] KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang