Bagian 12

8.2K 934 40
                                    

Bagian 12

Aku harus ke Manila. Kamu bisa temuin aku di bandara jam 12 siang.

Alya menghela nafas melihat sebaris pesan dari Nanda. Manila? Itu ibu kota Filiphina. Nanda harus pergi ke luar negri untuk mengurus pekerjaan. Kalau Alya pikir-pikir, Nanda sungguh keren. Padahal umurnya masih dua puluh dua. Disaat pemuda pada umumnya masih menikmati masa mudanya, menyelesaikan kuliah, atau mencari pekerjaan, Nanda sudah pergi ke luar negri untuk mengurus pekerjaan. Nanda benar-benar punya posisi yang penting di perusahannya.

Alya bersiap-siap. Dia akan mengantarkan Nanda. Tentu saja, mana mungkin membiarkan Nanda pergi begitu saja. Sesuai pesan dari Nanda, Alya menemui Nanda di bandara pukul 12 siang. Saat itu Nanda sudah menunggunya di salah satu kafe di bandara. Nanda terlihat sibuk dengan beberapa dokumen dan laptop hitamnya. Alya berhenti sejenak, memberhatikan Nanda dari jauh.

Dia sungguh bekerja keras ya...

Alya tersenyum, dia berjalan menghampiri Nanda.

"Hei!" seru Alya.

Nanda mengangkat kepala. Wajahnya yang tadinya tegang menjadi lebih cerah melihat kehadiran Alya.

"Hai!"

Nanda menutup laptopnya. Alya duduk di depannya.

"Sendirian?" tanya Alya.

"Yah, sebenarnya aku pengen gitu. Tapi papa bilang suruh aja sekretaris juga."

"Oh. Sekretaris yang perempuan kemarin itu? Mana kok enggak ada?" tanya Alya heran.

"Tuh! Di meja dekat kamar mandi," kata Nanda tanpa menoleh atau menunjuk.

Alya menoleh. Dia melihat perempuan yang saat itu memanggil Nanda di restoran sedang duduk sendirian di kursi di dekat kamar mandi. Perempuan itu menatapnya dengan pandangan jengkel. Alya kembali menoleh ke depan.

"Kok dia duduk sendirian?" tanya Alya lagi.

"Hmm...ada pekerjaan privasi," jawab Nanda.

Sebenarnya itu hanya alasan Nanda saja. Sudah jelas sejak kejadian di restoran itu, Nanda jadi jengkel berat dengan sekretarisnya itu. Hubungannya yang sudah dibuat seminimal mungkin dengan Cyntya menjadi lebih seminimal mungkin lagi.

"Yah, berarti aku ganggu juga nih ya?" tanya Alya dengan wajah polosnya.

"Eh, enggak kok! Ini sudah tinggal dikit. Bisa diselesaiin nanti aja," kata Nanda.

"Gitu ya, maaf ya kalau aku ganggu," kata Alya bersalah.

Nanda tersenyum. Memang dari dulu sampai sekarang, Alya tidak pernah berubah. Gadis yang polos. Wajahnya selalu tenang tak berdosa. Sekali pun dulu Alya wakil ketua OSIS yang garang, kenyataannya sebenarnya adalah Alya tetap saja gadis yang polos.

"Aku sudah bicara sama Aldo. Dan akhirnya hubungan kita membaik," cerita Nanda.

"Oh ya? Aldo belum mengabariku apa-apa."

"Mungkin sebentar lagi dia juga akan kembali. Kalau kamu ada apa-apa, bilang saja ke Aldo."

Alya mengangguk. Suasana hening sejenak. Alya melirik Nanda.

"Kamu...perginya lama ya?" tanya Alya.

Nanda membalas lirikan Alya. Kemudian tersenyum jahil.

"Kenapa kangen ya?" goda Nanda.

"Ih! PD banget! Senang tahu kamu pergi! Aku bisa cuci mata ke yang lain," balas Alya. Niatnya sih balas menggoda. Tapi sepertinya Nanda menganggap itu serius. Karena wajah Nanda yang tadi dihiasi senyuman jahil langsung memudar. Dia menatap wajah Alya serius.

"Apa?" tanya Nanda.

Senyuman jahil di wajah Alya ikut pudar.

"Hah, Nanda! Jangan dianggap serius yang tadi! Aku Cuma bercandaa!" seru Alya panik.

Nanda menatap Alya datar, membuat Alya jadi ketakutan. Ternyata Nanda kalau cemburu menyeramkan juga.

"Nanda, maaf..." kata Alya melas.

Nanda tertawa kecil. Dia mengacak-ngacak rambut Alya lembut.

"Alya, Alya, kamu itu emang limited edition ya. Cuma ada satu di dunia ini," kata Nanda sambil tertawa.

Jantung Alya berdebar-debar mendengar perkataan Nanda. Wajahnya memerah, tersipu malu. Tawa Nanda semakin keras.

"Ih merah tuh mukanya."

Alya langsung menjitak Nanda pelan.

"Kamu ini! Aku godain kamu marah, tapi kamu godain aku terus!" seru Alya kesal.

"Iya, iya, Alya. Jangan marah dong," jahilnya Nanda semakin menjadi-menjadi.

Alya mendelik. Tangannya mengangkat tas hitam, bersiap memukulkan ke Nanda.

"Nanda..."

"Iya!" seru Nanda buru-buru sebelum tas itu mendarat di tubuhnya.

Dia sudah tidak perlu dijelaskan dua kali bagaimana kalau Alya marah. Ingatannya masih segar dulu bagaimana wajah garang Alya waktu SMA dulu.

Hampir satu jam mereka berbincang-bincang cukup lama. Mereka tidak menyadari bahwa selama itu pula ada sepasang mata yang memandang mereka dengan dendam dan penuh amarah. Cyntya benar-benar kesal. Apalagi melihat tingkah Nanda yang begitu ramah pada Alya, Cyntya sudah sampai batas kekesalannya. Dia tidak tahan.

"Pak, bentar lagi check in!" seru Cyntya kesal.

Nanda melirik jam tangannya. Untuk yang kali ini Cyntya tidak berbohong.

"Hati-hati, Nanda di sana. Jangan lupa untuk menghubungiku," pesan Alya.

Nanda mengangguk.

"Kamu juga hati-hati di sini ya. Inget ya, kamu jangan main yang aneh-aneh. Aku sudah bilang ke Aldo."

Alya memberi hormat. "Siap, Bos!"

Nanda tersenyum.

Sekali lagi, dia mengacak rambut Alya lembut, yang sebenarnya lebih mirip mengelus kepala Alya. Alya tersenyum sekilas kepada Cyntya. Cyntya membalas senyuman Alya dengan tidak ikhlas.

"Aku pergi," pamit Nanda.

Alya mengangguk.

Dia melambaikan tangan kepada Nanda sampai akhirnya laki-laki itu menghilang di balik keramaian. Alya mengenggam hpnya erat.

Aku akan menunggu.

Tapi, apa yang terjadi selanjutnya, manusia tidak akan tahu. Karena awalnya berjalan baik, manusia berpikir semuanya akan baik-baik saja. Padahal, takdir hanya Tuhan tahu.

Singkat cerita, sejak saat itu Nanda tidak pernah menelponnya.

-----

Tegang nih ceritanya... 

Panggil telolet aja atuh biar enggak tegang 😂😂😂 Heheheh  😁😁😁

Jangan lupa vote dan komennya :)

[2/2] KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang