Si Orang Utan

73 10 5
                                    


Pagi ini kali keduanya kami berada di Rumah Sakit Kota. Pukul tujuh pagi.

”Apa kita akan pulang mengambil baju ganti untuknya?” Basir bertanya menatapku sambil menunjuk kearah Azzam.

Aku mengangguk.

Ruangan kembali lengang.

Aku mengusap wajah,  melirik kearah Azzam yang masih terbaring. Basir sudah bergegas masuk ke kamar mandi.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan agar bisa membayar semua biaya rumah sakit ini. Anak 15 tahun sepertiku mungkin hanya bisa berjualan koran, menjadi pedagang asongan,  atau mungkin menjadi kenek bis. Uang yang ku dapat dari semua pekerjaan itu masih kurang dari cukup,  amat kurang, teramat malah.

”Sam! ” Suara berat itu refleks membuatku terlonjak kaget,  lamunanku buyar. Aku menoleh ke arah Basir yang melangkahkan kaki ke arah sofa yang ku duduki. Basir tertawa pelan melihatku ” Tidak usah dipikirkan Sam,  aku yang akan membayar biaya Azzam.” Basir berkata santai—seolah bisa membaca lamunanku tadi—.

Aku menghembuskan nafas panjang, bagaimana mungkin Basir akan membayarnya?  Dengan apa?

”Kau jaga Azzam,  tunggu kabar selanjutnya dari Dokter Ghani. Aku akan mencari uang yang kau pikirkan itu.” Basir berdiri dari sofanya,  melemparkan handuk ke arahku,  ” Kau mandilah Sam, mungkin pikiranmu akan lebih segar,  juga badan bau kau itu. ” Basir menyeringai pergi,  menyisakan aku dan Azzam di ruangan ini.

Kembali lengang.

Aku tidak menyangka Basir akan melakukan cara itu agar bisa membayar biaya Rumah Sakit,  dan aku terlambat mengetahui semua itu.

♤♤♤

Basir berjalan menyusuri jalanan, awan-awan hitam siap menurunkan butiran air dari atas sana. Jalanan basah, sisa-sisa air masih tergenang membuat becek jalanan kota.

Terminal kota. Tujuan pertama Basir.

Kumuh, bau, becek, ramai, itulah terminal kota kami. Orang-orang berlalu-lalang, bergegas, berdesak-desakan. Itulah tujuannya Basir ke sini. Menyelinap diantara orang-orang itu dan tanpa di sadari tangan nya telah menggapai sesuatu,  menariknya dengan cepat,  dan kemudian ikut berdesak-desakan kembali,  berusaha mencari mangsa berikutnya.

Basir berdiri menyandarkan punggungnya ke dinding,  mulai menghitung penghasilannya.

Inilah tempat bersembunyi para
perewa, bandit,  atau sejenisnya di terminal. Basir jelas mengetahui setiap sudut tempat ini, dia memang sudah berjanji tidak akan melakukan ini lagi,  tapi itu hanya ucapan,  mudah saja baginya untuk dibantah jika sedang terdesak seperti ini.

Tiga dompet sudah di ambil alih Basir. Tidak sia-sia. Mulut dompet pertama mengangap, tiga ratus ribu rupiah. Wow! Basir menyeringai lebar. Seratus lima puluh ribu di dompet kedua,  dan terakhir,

Mata Basir membulat melihat uang yang terakhir ia rogoh dari dompet bergambar bunga-bunga cerah. Dompet terakhir.

Enam ratus lima puluh ribu rupiah!

Tangan Basir bergetar,  separuh hatinya merasa bangga dan senang, dan  separuhnya lagi?

Hati kecilnya merasa amat bersalah. Tapi nafsu memang amat susah di cegah. Basir memasukkan uang-uang itu ke dalam tas salempang berwarna hitam miliknya. Kembali menyusuri jalanan.

Awan hitam berganti menjadi matahari yang bersinar terang,  silau cahaya menyipitkan mata,  hangat nya matahari menusuk kulit.

Basir berjalan tanpa henti,  bergegas,  sudah pukul setengah dua belas siang.

Explanation of My LifeWhere stories live. Discover now