أربعة

61 6 0
                                    

Empat

Sebuah apartemen kuno masih berdiri kokoh menghadap taman yang indah. Ini cocok untuk mereka berdua. Kota yang sekarang mereka pijak memang tidak seramai Tokyo, tetapi kesan bersejarahnya begitu melekat kuat pada setiap sisinya.

Itachi dan Konan menaiki tangga beriringan karena apartemen tersebut hanya memiliki tiga lantai.

Nomor 25 lantai dua. Akhirnya, mereka sampai juga. Konan segera mengambil kunci dan membukanya. "Ayo, masuk," ajak Konan lalu masuk terlebih dahulu. Itachi mengekor. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya seaktif ini bahkan saat ia hamil.

Apato yang mereka tempati memiliki sebuah ruang tamu, dua buah kamar tidur, sebuah kamar mandi, dan ruang makan yang merangkap dengan dapur. Cukup mewah untuk Konan tetapi akan berbeda ceritanya jika objeknya adalah Itachi. Apato ini juga menghadap matahari terbit. Tentu bisa digunakan berjemur oleh anak mereka ketika sudah lahir.

Menerawang jauh ke depan, Konan membayangkan apato yang kini ia tempati dipenuhi suara tawa anak-anaknya. Mereka bermain, makan di meja makan bersama, dan tidur dengan nyenyak di malam hari dengan cahaya bintang.

"Ada apa?" Mendadak lamunan Konan buyar. Ia tersenyum kecil, "ayo bersih-bersih. Nanti keburu malas." Ajakan wanita berambut biru gelap itu disambut khawatir oleh Itachi. "Aku saja. Ingat kau hamil."

Ada kekehan kecil. Itachi mengernyit. "Aku masih belum sepenuhnya lelah kok. Aku hanya menata pakaian, kamar, dan dapur kita kok. Sisanya kamu ya, Ita-kun," kata Konan kemudian.

"Oke, oke. Jangan terlalu lelah, ya." Kecupan kecil mendarat di kening Konan sebelum mereka berpisah untuk bersih-bersih.

.

"Kak." Suara Sai mendadak lemah. Sasuke menoleh, "ada apa?" Pemuda pucat itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar pembicaraannya dengan bungsu Uchiha. "Kamu kangen Kak Itachi, gak? Belum ada kabar tentangnya sampai sekarang. Semua medsosnya nonaktif."

Terdiam sejenak. Sasuke terlihat berpikir. "Jangan urus dia lagi. Dia kan bukan bagian kita lagi," jawabnya acuh. Sai membenarkan, tetapi masih ada perasaan persaudaraan yang kuat antara dirinya dan Itachi. Tentunya, butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan keadaan yang buruk seperti sekarang.

"Aku dengar, ibunya Kak Konan juga tidak mau menerima mereka. Kasihan..." Sasuke sangat geram mendengar perkataan adiknya itu. "Itachi, Itachi, Itachi. Bisakah kau jangan menyebut namanya di hadapanku. Dia telah membuat nama keluarga kita tercoreng." Amarah Sasuke meletup, wajahnya memerah. Tangannya mengepal sejak tadi, siap dilepaskan untuk meninju adik angkatnya. Tetapi, semua itu ia tahan. Ia tidak ingin melukai orang yang seharusnya ia lindungi.

Sai membuang muka, menghindari tatapan kakaknya yang satu ini. "Kak, dia masih saudaramu mau bagaimana pun kau mengelaknya. Karena darah lebih kental daripada air," jelasnya. Sasuke menghela napas. Sai yang kalem ternyata bisa membangkitkan amunisinya.

Bibirnya berkata perlahan, "aku tahu, Sai. Aku hanya tidak ingin mendengar namanya saja. Itu membuatku muak."

Tiba-tiba, ada cengkeraman di bahu pemuda berambut emo itu. Membuat tubuhnya berputar menghadap adiknya. Mata mereka saling bertatapan. "Aku tahu," kata Sai. Ia menatap dalam mata hitam yang lebih pekat daripada miliknya itu. "Jika alasan yang kaugunakan seperti itu. Maka, kau seharusnya membenciku sejak kedatanganku di sini."

Sasuke tersentak. Ia tidak menyangka Sai berbicara sejauh ini. Cengkeraman di bahunya ia lepaskan dengan pelan. Takut melukai tubuh di hadapannya yang lebih kecil daripada miliknya. Pandangannya kini beralih ke halaman buku di hadapannya.

  القدر: لعنة  -  Fate: Curse-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang