Meski ini sudah yang ketiga puluh tujuh, dia masih saja ditolak. Hah, payah sekali Wendy!
***
Sepasang kaki beralas sepatu hitam itu mengambil langkah hati-hati di balik dinding kelas. Sesekali ia berjingkat untuk kemudian melihat ke dalam dan mencari-cari apa yang sangat ingin dilihatnya saat ini. Ketika beberapa kali salah satu murid di dalam mendapatinya sedang melancarkan aksinya yang demikian, ia dengan satu gerakan cepat membungkukkan tubuh dengan dada bergemuruh.
Kemudian, langkah pendeknya berhenti ketika dinding kelas itu sudah berbatasan dengan kusen pintu. Satu langkah pendek saja yang ia ambil akan memposisikan tubuhnya tepat di depan ambang pintu. Alih-alih melangkah lagi, ia menggeleng keras-keras. Berusaha 'engusir jauh-jauh dua sisi dirinya yang kini justru berdebat seru.
'Maju saja, lalu tunjukkan dirimu. Mau sampai kapan sembunyi-sembunyi terus?'
'Hentikan langkah dan berbaliklah, Wendy! Dengan begitu, harga dirimu akan baik-baik saja.'
Tidak lagi hanya menggeleng, kini Wendy sudah menggerakkan tangannya tak tentu arah. Melakukan aksi pengusiran untuk dua bisikan tanpa wujud itu.
"Wendy?"
Satu sapaan berbuah pekikan nyaring yang menggema hingga ke sudut koridor terujung. Hanya dengan satu sapaan pula sukses membuat Wendy terlonjak berlebihan dengan sekali gerakan memutar posisi tubuh. Tangannya bergerak-gerak ke depan tak tentu arah, seolah menghalau segala jenis marabahaya yang mengancam keselamatan hidupnya.
Seluruh murid yang berada di koridor serempak melayangkan pandangan ke arah Wendy dengan beragam ekspresi wajah. Petugas kebersihan sekolah yang sedang menyapu sampai harus menghentikan pekerjaannya hanya untuk memastikan keadaan. Sementara beberapa murid dari dalam kelas tampak melongok ke jendela.
Ada apa,sih?
Melihat keadaan sekitar, Wendy menyuguhkan senyum manis yang dipaksakan seraya mengusap leher. Lalu, membungkukkan badan tepat 90◦ ke segala arah secara bergantian sebagai tanda minta maaf. Usai begitu, orang-orang tadi kembali pada urusan masing-masing.
Di sisi lain, orang di depan Wendy justru masih melongo. Pikirannya kosong begitu saja selama beberapa saat. Respon yang diberikan Wendy benar-benar berlebihan, kan? Diam-diam ia mencatat satu hal penting untuk diri sendiri : jangan pernah melakukan hal tadi lagi atau kau akan menanggung malu.
Seperti tersadar kembali, orang itu mendehem sebentar. Lantas, mecoba sekali lagi dengan ragu-ragu, "Wendy?"
Wendy menatap orang di depannya dengan wajah merah padam karena malu. Ia menggaruk dahi berhias poni rambut cokelatnya dengan meringis.
"Ya... mmm, eh, Sehun? "
Tanpa sadar, Wendy membuang wajah ke samping kiri. Satu hal yang langsung membuatnya terlonjak kaget lagi. Siapa sangka, reaksi kagetnya yang berlebihan justru membuat posisinya berpindah menjadi di depan ambang pintu kelas. Dilihatnya beberapa murid di dalam masih menatap Wendy dengan kening berkerut.
"Kau sedang apa?" tanya Sehun ingin tahu.
Sepasang manik cokelat gelap Wendy mengedar dengan cepat, berniat mencari seseorang yang menjadi tujuan awalnya. Tidak lama berselang, sepasang manik coklat itu berhenti di arah jam 10. Sosok itu sedang menulis sesuatu, tepat di sampingnya sekotak bekal pemberiannya -yang dia taruh diam-diam- masih di sana.
Sadar Wendy tak memberikan atensinya pada Sehun, laki-laki itu kemudian mengambil satu langkah maju lantas ikut melongok ke dalam kelas.
"Kau mencari seseorang, ya? Siapa? Biar kubantu," tawar Sehun berbaik hati.
YOU ARE READING
Pieces of Love
FanfictionEntah datang dari arah yang mana, dari sudut yang mana, pun dari pintu yang mana. Kepingan-kepingan cinta mereka selalu menghasilkan cerita. Ini tentang mereka, dalam kisah yang berbeda-beda. *** Park Chanyeol x Son Wendy AU!