6th piece : You, Who

986 134 41
                                        

YOU, WHO
.
.
“Kita ini tidak saling mengenal, jangan sok baik, ya!”
.
.

Sejauh mata Wendy memandang keluar jendela sejak lima belas menit yang lalu, tampak hilir mudik orang-orang masih tak surut juga di sepanjang peron kereta. Kebanyakan dari mereka seperti tergesa untuk memasuki kereta antarprovinsi yang sama dengan Wendy. Lalu, sisanya menjadi lakon yang melepas kepergian dengan beragam emosi.

Lama mengamati, Wendy merasa ada benarnya bahwa arti kehidupan sejatinya adalah tentang ‘singgah’ dan ‘pergi’. Wujud nyatanya ialah sesederhana yang terjadi di hadapannya sekarang. Manusia datang dan pergi, dengan berbagai alasan ada di sini. Ada yang datang karena ingin bertemu, ada pula yang pergi karena ingin menghindar.

Rasa-rasanya, gadis itu ingin mengulas senyum semiris mungkin untuk mengiyakan permisalan yang terakhir. Ya, apa yang Wendy lakukan di sini adalah wujud pelariannya.

Hari ini, untuk pertama kalinya, seorang Son Wendy mengalami pengkhianatan dalam hidupnya. Tidak ada hal yang terlintas dalam pikiran gadis itu usai menyaksikan pengkhianatan tersebut selain pergi. Sejauh-jauhnya asal tidak bertemu laki-laki itu tidak masalah. Selama-lamanya pula, sampai rasa sakitnya terlupakan.

Gambaran dimana kekasihnya berada satu ruangan tertutup dengan seorang gadis berambut merah dan berpotongan pendek, bukanlah sebuah pemandangan yang Wendy harapkan ketika hendak mengunjungi kekasihnya itu di kantor siang tadi. Apalagi posisi keduanya, dimana gadis itu berdiri di depan meja dengan tubuh mencondong ke arah kekasihnya, sukses mendidihkan isi kepala seorang Son Wendy.

Saat itu pula Wendy berada di titik termarah dalam hidupnya. Terlampau marah hingga rasa sakit dalam dadanya tidak bisa membuat Wendy menangis. Lebih menjengkelkannya lagi, acap kali gadis itu terdiam, memori buruk itu kembali berbayang di pikiran Wendy. Ia berulang kali berusaha mengalihkan pikirannya, namun pada akhirnya memori gadis itu tetap bermuara pada satu gambaran yang sama.

Maka, sependek pemikirannya, Wendy kira dia harus pergi jauh untuk menghilangkan rasa sakit dan amarahnya. Lalu, keputusannya jatuh pada kampung halamannya yang terletak jauh dari Seoul.

Kalut pemikiran Wendy sejurus kemudian terinterupsi saat suara perempuan dari interkom mengumumkan bahwa kereta akan segera berangkat. Gadis itu buru-buru memasang earphone di kedua telinganya, lantas memutar lagu bergenre rock dengan volume maksimal. Sengaja begitu karena ia pikir yang demikian setidaknya dapat mengalihkan sedikit amarahnya saat di perjalanan. Tepat saat kereta mulai berjalan, sepasang kelopak mata itu mencoba terpejam.

Semenit berlangsung sesuai harapan Wendy, namun menit-menit berikutnya apa yang terjadi di luar rencana.

Tanpa tedeng aling-aling, earphone di sebelah kiri gadis tercabut begitu saja. Sontak Wendy menoleh dengar air wajah terkejut, kedua matanya membelalak lebar saat mendapati seorang laki-laki sudah duduk di sampingnya.

Mulut Wendy terbuka dan tertutup beberapa kali, bingung memberikan reaksi yang seperti apa. Sebab, hari ini ia sedang marah sekali, tapi untuk beberapa alasan Wendy tidak bisa meledak begitu saja di tempat umum seperti ini.

“Kamu benar-benar ingin jadi tuli, ya? Volumenya terlalu kencang sampai aku bisa mendengarnya, tahu?” Laki-laki tersebut tersenyum, meski kalimatnya terdengar tegas, memperingatkan.

Rahang bawah Wendy bergerak selaras dengan matanya yang menatap nyalang laki-laki tersebut, lantas “lalu, urusanmu?”

Terlepas reaksi angkuh Wendy, laki-laki tersebut tetap mengulas senyum. “Aku peduli padamu, that’s why.”

Dua bola mata Wendy berputar, merasa jengah dengan jawaban tersebut. Berikutnya, gadis itu memilih untuk mengabaikan eksistensi manusia di sebelahnya. Tangan kanannya bergerak untuk kembali memasang earphone sebelah kirinya, sepenuhnya tidak peduli dengan apa yang dikatakan laki-laki tersebut.

Pieces of LoveWhere stories live. Discover now