Aldrich menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang. Dia membiarkan setiap inci punggung hingga tengkuknya bersinggungan dengan sandaran empuk berlapis kulit itu. Kepalanya menengadah ke langit-langit dan matanya terpejam. Dia menarik panjang dan menghembuskan napasnya kembali dengan kasar, seolah organ-organ tubuhnya begitu merindukan oksigen.
Lelaki berambut ikal berwarna hitam itu merogoh saku celana pendeknya tanpa bantuan penglihatannya dan menemukan kotak rokok dan pematik yang beberapa saat lalu memang sengaja diletakkannya di sana sebelum diambilnya dari nakas kamar tidur.
Masih memejamkan kedua matanya, Aldrich mengambil sepuntung dari dalam kotak rokoknya dan meletakkannya diantara kedua bibirnya kemudian membakarnya dengan pemantik. Sekali lagi dia menghirup udara, namun kali ini melalui filter rokoknya dan membuangnya.
Kini Aldrich sudah menegakkan kepalanya dan membuka matanya, walau tidak ada yang benar-benar dipandanginya kecuali bayangannya sendiri yang terpantul di kaca bersandingan dengan pemandangan luar villa itu yang menampilkan kolam renang pribadi. Dialihkannya pandangan ke meja kecil di samping sofa tempatnya duduk, dimana terdapat sebuah botol bertuliskan Johnny Walker dan gelas kosong berisi es yang memang diletakkannya sendiri disana sebelum dia duduk tadi.
Aldrich menuangkan isi botol yang memang hanya tinggal setengah itu ke dalam gelas disisinya. Setengah sebelumnya dan botol-botol kosong lainnya yang masih bertengger di kitchen set memang sudah dinikmatinya bersama teman-temannya semalam. Atau tepatnya sembilan jam yang lalu.
Dia menegak isi gelas tersebut dengan segera, berusaha menghilangkan beban di kepalanya yang mulai muncul sejak semalam. Beban pikiran akibat kesalahannya sendiri.
"Lo.. belum tidur apa udah bangun?" Tanya sebuah suara penuh rasa penasaran yang muncul dari belakangnya.
Aldrich menengok ke arah suara tersebut dan menemukan seorang lelaki sebayanya yang sedang memandang jam dinding dan dirinya sendiri bergantian dengan pandangan penuh sangsi. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar tidur yang berbeda dari yang digunakannya dengan rambut acak-acakan dan wajah bangun tidurnya.
Aldrich memutuskan mengembalikan pandangannya ke arah depan tanpa niat menanggapi, karena dia yakin, lelaki itu akan melanjutkan dengan ataupun tanpa tanggapan darinya.
"Kayaknya sih nggak mungkin ya, Drich, kalo lo bangun jam segini. Hal yang hampir mustahil," katanya berhipotesis sendiri. Seketika wajah bangun tidurnya itu tersenyum licik penuh arti sambil mendudukkan dirinya di samping sahabatnya itu, "jadi kemungkinannya lo ajak Felicia nggak bisa tidur semaleman.."
Aldrich berdecak malas mendengar hipotesis sahabatnya itu.
"Untung villa yang kita sewa ini soundproof, man! Nggak kebayang gue musti denger suara berisik dari kamar kalian sampe pagi." Ejeknya lagi terus melanjutkan.
"Kayak kamar lo sama Bianca nggak berisik aja, Jo! Lo lupa siapa yang masuk kamar pertama kemarin, he?" Tanya Aldrich retoris tidak mau kalah kepada Jonathan, sahabatnya itu.
"Gue sama Bianca mainnya smooth, man. Kita udah bukan pemain pemula kayak lo sama Felicia," katanya sok senior, "jadi nggak butuhlah bikin suara-suara gaduh di kamar kayak gitu."
Jonathan mengambil kotak rokok beserta pematik yang diletakkan Aldrich di samping tubuhnya dan mulai bergabung untuk menikmatinya.
Aldrich, Jonathan dan kedua wanita dalam pembicaraan mereka tadi, Felicia dan Bianca, serta dua orang lagi yang belum mereka singgung dalam pembicaraan mereka tadi dan masih berada di kamar tidur lainnya memang menempati villa berkamar tidur tiga ini sejak semalam. Mereka menyewanya untuk menghabiskan weekend mereka minggu ini di Bali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationship
RomanceHanya butuh satu minggu untuk menjadikan gadis secantik Felicia pacarnya, dan kurang dari dua minggu, gadis itu sudah berubah status menjadi tunangannya. Aldrich terjebak. Dia terjebak oleh hasrat dan nasib sialnya sendiri untuk masuk ke dalam lingk...