Suara gesekan sebuah pintu yang terbuka menyadarkan kedua lelaki itu bahwa sebentar lagi mereka tidak akan menjadi dua-duanya orang yang berada di sana.
Aldrich sudah bisa menebak siapa yang baru saja bergabung dengan mereka dari arah pintu yang terbuka. Pintu kamar tidur yang ditinggalkannya beberapa saat yang lalu untuk menjernihkan pikiran.
Dan pelaku dari kepenatan pikirannya itu sedang berdiri canggung di depan pintu yang sudah kembali tertutup, mengenakan kaos kebesaran milik Aldrich dan celana pendek yang hilang dibalik kaosnya.
Jonathan segera berdiri dari tempatnya duduk bersama sahabatnya beberapa saat lalu sambil mematikan rokok ditangannya ke dalam wadah asbak di meja depan mereka.
"Gue masuk kamar lagi deh." Katanya dengan nada penuh kerelaan tidak ingin mengganggu pasangan baru itu.
"Gue cuma mau ambil minum kok, Jo." Kata Felicia buru-buru. Takut kehadirannya mengganggu kedua orang sahabat itu walau tujuan awalnya keluar kamar memang untuk mencari lelaki yang menghilang dari sisinya saat dia terbangun tadi.
"Gue juga cuma ngerokok bentar," balas Jonathan sambil tersenyum kepada Felicia tanpa menunda kepergiannya, "gue balik kamar lagi, mau tidur sampe siangan." Jelasnya tanpa ditanya sambil menepuk pundak Aldrich sambil melewatinya.
Felicia membalas senyum lelaki itu masih sama canggungnya. Dia memang baru mengenal lelaki itu seminggu belakangan ini setelah status barunya sebagai pacar Aldrich dan bahkan dia belum pernah berbicara dengan Jonathan kecuali saat bersama Aldrich seperti kesempatan barusan.
Jonathan menghilang ke balik pintu kamarnya dan meninggalkan mereka berdua disana.
Felicia berjalan mendekati Aldrich yang sudah memandangnya semenjak sahabatnya berjalan menjauh dari sofa. Dia duduk di tempat tadi Jonathan berada.
"Kamu kok bangunnya pagi banget?" Tanyanya berbasa basi walau bukan itu yang sebenarnya ingin diketahuinya.
Aldrich melingkarkan lengannya untuk menyentuh pinggang gadis itu dengan tangannya yang menganggur.
"Cari udara bentar," jelasnya sambil menunjukkan puntung rokok kedua yang dibakarnya dengan jari tangannya yang lain.
Felicia mengangguk-angguk paham sementara Aldrich memainkan jari-jarinya di sekujur punggung gadis itu yang berlapiskan kaosnya sendiri yang terlihat kebesaran di tubuh mungil itu. Padahal kaos itu biasanya melekat pas di tubuhnya sendiri.
Harus diakuinya, Felicia yang mengenakan kaos longgarnya dengan rambut ikal tergerai dan wajah bangun tidur tanpa make-up-nya terlalu sensual dan menggelitik nadinya. Apalagi dengan mengingat fakta bahwa perempuan cantik itu sudah menjadi miliknya sejak semalam, walau kenyataan atas kesalahan semalam tetap membuatnya cemas.
"Oh iya, aku pinjam kaos kamu, Al," katanya tiba-tiba menjelaskan setelah Aldrich memperhatikan tubuhnya intens beberapa saat yang membuatnya mengira itu yang menjadi fokus lelaki itu.
"Soalnya baju yang aku bawa lehernya kebuka semua," jelasnya menggantung tanpa melanjutkan sambil meraba lehernya sendiri. Wajahnya bersemu merah sambil berharap Aldrich paham maksudnya.
Aldrich mengikuti gerakan tangan Felicia dengan jari dan pandangannya dan menemukan cukup banyak tanda dari hasil nafsu gilanya semalam yang tercetak di sekujur kulit leher gadis itu.
"Nanti pulang pakai jaket aku aja ya buat nutupin," kata Aldrich penuh rasa bersalah, "semoga nggak keliatan orang rumah kamu."
"Nanti di rumah aku bisa pake kaos turtleneck, kok." Kata Felicia yang membuat Aldrich sedikit tenang.
Mereka kembali berdiaman beberapa saat. Saling menunggu topik yang harus mereka mulai mengenai semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationship
RomanceHanya butuh satu minggu untuk menjadikan gadis secantik Felicia pacarnya, dan kurang dari dua minggu, gadis itu sudah berubah status menjadi tunangannya. Aldrich terjebak. Dia terjebak oleh hasrat dan nasib sialnya sendiri untuk masuk ke dalam lingk...