Part 23 - Option

187K 11.2K 251
                                    

Felicia tidak berminat untuk lebih lama lagi berada di kampus setelah pertemuannya dengan Aldrich di perpustakaan. Felicia meminta Pak Pri, supir keluarganya menjemput untuk pulang ke rumahnya. Dia ingin segera berada di kamarnya dan menangis sepuas-puasnya.

Aldrich adalah lelaki yang sangat dicintainya. Fakta itu masih belum berubah. Bahkan itulah penyebab kekecewaan terbesarnya saat ini. Lelaki yang disayanginya melebihi siapapun, menolak keberadaan bayinya sendiri disaat kebahagiaan terbesar Felicia adalah karena dia mengandung bayi lelaki itu.

Felicia dilema. Bagaimana mungkin dia rela berpisah dengan Aldrich sementara lelaki itu masih menempati urutan pertama di hatinya. Namun di lain sisi dia tidak mungkin membunuh darah dagingnya sendiri hanya karena ingin menuruti keegoisan orang yang dicintainya.

Felicia paham apa yang ditanyakan oleh Aldrich padanya tadi, tentang apa yang akan dilakukannya sekarang, setelah memutuskan berpisah dengan lelaki itu. Walau dia tetap bersikeras mengatakan bahwa Aldrich tidak perlu kuatir dan dia akan mencari penyelesaiannya, sejujurnya dia bingung apa yang harus dilakukannya.

Tidak mungkin dia mengatakan kepada Mama dan Papanya bahwa dia hamil dan tidak ada lelaki yang akan bertanggung jawab akan hal tersebut. Mama dan Papanya tidak bodoh dan jelas Aldrich akan menjadi tertuduh pertama. Sementara dia harus mencari cara untuk mempertahankan bayinya. Satu lagi kepenatan yang membuat kepalanya hampir pecah.

"Udah sampe, Non," kata Pak Pri menyadarkannya dari lamunan.

Felicia mengangkat pandangannya dan melihat bahwa kini dia sudah berada di depan rumahnya sendiri.

"Makasih, Pak," kata Felicia lirih sambil membuka pintu mobilnya.

Felicia kembali menerawangkan pikirannya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Dia bahkan tidak sadar saat seseorang sedang duduk di sofa ruang tamunya.

"Felicia?" Panggil Teddy berusaha menyadarkan kelakuan ganjil gadis itu.

"Ted?" Kata Felicia sadar, "kamu kok disini?"

Teddy berdiri dan menghampiri Felicia, "mau pamit sama kamu dan Tante Om. Besok malem kan aku udah balik. Tapi Tante sama Om belum balik, untung kamu balik cepet." Kata Teddy tersenyum sambil mengusap kepala Felicia, seperti yang selalu dilakukannya.

Dan seolah meruntuhkan pertahanan kuatnya sepanjang hari ini, Felicia menangis.

"Lho? Kenapa Fel?" Tanya Teddy bingung dan khawatir.

Dan Felicia menangis semakin menjadi-jadi. Dia memeluk Teddy erat-erat dan tidak berniat melepaskannya sampai perasaannya membaik, entah untuk berapa lama.

***

"Sebentar," kata Teddy mengawali tanggapannya, berusaha mencerna berita yang baru saja disampaikan oleh gadis di hadapannya dengan sebaik-baiknya, "Kamu.. beneran hamil?"

Felicia mengangguk. Mengatakannya kepada sahabat sejak kecilnya itu membuat Felicia merasa sedikit lega, seolah bebannya menjadi sedikit lebih ringan. Kelopak matanya membengkak dan napasnya masih sesengukan sehabis melepaskan bebannya dengan menangis di pelukan Teddy tadi.

"Aldrich udah tahu?" tanya Teddy penasaran.

Felicia kembali mengangguk.

"Terus? Gimana?"

Felicia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aldrich nggak mau bayi ini, Ted."

Teddy berusaha untuk tidak menghakimi. Dia berusaha menempatkan diri dari sisi seorang laki-laki bahwa berita seperti ini tentu sangat mengejutkan untuk mereka. Walau saat mengingat Aldrich bajingan itu melukai sahabat sejak kecilnya yang sudah seperti adiknya sendiri itu membuat hatinya panas.

"Lalu apa rencana kamu Fel?"

"Yang pasti aku nggak mau menggugurkan bayiku sendiri, Ted," katanya tegas.

"Tapi gimana caranya? Kamu nggak berpikir akan membesarkan bayi sendirian kan? Dan Tante sama Om pasti tahu siapa ayahnya, kamu pikir mereka akan biarkan gitu aja?"

Felicia menunduk lesu, "Aku nggak tahu, Ted. Aku juga bingung."

Teddy menopangkan kedua lengannya di atas lututnya dan mempertemukan di depan wajahnya sendiri sambil berpikir keras, seolah ini adalah masalahnya sendiri.

"Aku ada ide, tapi nggak tahu kamu setuju atau nggak," kata Teddy akhirnya memutar otaknya, "Kamu mau ikut aku ke US? Bilang sama Tante dan Om kamu mau kuliah di sana."

Felicia nampak berpikir keras mempertimbangkan usul tersebut.

"Tante sama Om pasti nggak akan bisa nolak kalau kamu bersikeras. Dan seharusnya mereka tenang karena ada aku di sana."

Felicia masih terdiam berpikir.

"Tapi lebih baik kamu pikir baik-baik dulu, Fel. Ini cuma usul aku aja. Aku kan balik besok malam, kamu jelas nggak bisa langsung pergi sama aku besok. Tapi kamu tinggal kabarin aku kalau kamu benar-benar siap mau ke US, aku pasti ada di sana buat bantu kamu."

"Makasih, Ted. Aku akan pikirin baik-baik," kata Felicia tersenyum untuk pertama kalinya hari ini.

Perkataan Teddy jelas membuatnya merasa sedikit lebih lega. Minimal dia sudah menemukan solusi untuk melanjutkan hidup bersama bayinya. Walau dia tidak mengerti bagaimana caranya dia bisa bertahan tanpa Aldrich di sisinya.

"Kamu udah ke dokter?" tanya Teddy lagi.

Felicia menggeleng.

"Jadi kamu pakai testpack?" tebaknya.

"Nggak, aku tahu dari jadwal bulanan aku. Aku udah telat seminggu."

Teddy menaikkan alisnya, "Jadi kamu belum cek sama sekali?"

Felicia kembali menggeleng.

"Kamu mau aku temenin ke dokter, Fel?"

"Nggak usah, kamu kan udah mau pulang besok, Ted."

"Aku kan pulangnya malem, jadi paginya aku bisa temenin kamu," kata Teddy lagi.

"Nggak usah Ted, aku bisa sendiri kok," kata Felicia, "Aku kan juga harus belajar mandiri untuk membesarkan bayi ini nanti."

Teddy menghela napas dan sekali lagi membelai rambut gadis itu dengan sayang, berharap gadis itu bisa tegar menjalankan keputusannya. Karena seperti apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya, mereka adalah pihak yang lebih menderita karena mereka yang lebih mencintai pasangan masing-masing, dan Felicia harus tahu konsekuensinya.

***

Aku tahu part ini pendek 😅😁 yg sabar yaah, bsk aku akan update lg kok
😘😘

RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang