"Papa! Aku pulang!" Kata Vanessa dengan suara lantang melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang tamunya.
Vanessa menjatuhkan tubuhnya ke sofa, ke sisi suaminya Abby yang masih setia duduk di sana sambil membaca buku setebal lima ratus lembar di tangannya.
"Kamu masih baca buku itu? Kamu nggak pindah tempat sama sekali sejak aku pergi ya, Pa?" Tanya Vanessa menaikkan alisnya curiga. Padahal sudah tiga jam dia meninggalkan rumah ini, untuk menjalankan rencananya menganggu Aldrich.
Abby menunjuk menggunakan dagunya ke arah mug kopi di atas meja depannya.
"Aku ambil kopi di dapur kok. Terus ke toilet juga," kata Abby menjelaskan cuek tanpa mengindahkan pandangannya dari buku bacaannya.
"Bosen banget sih jadi kamu, Pa. Ngabisin weekend seharian cuma baca buku doang!" Vanessa bersungut-sungut di sisinya.
Abby memutuskan membuat sebuah lipatan di halaman yang sedang dibacanya dan memanjangkan lengannya untuk melingkar di pundak istrinya tersebut, karena dia yakin sungutan tersebut tidak akan berakhir jika dia belum menanggapinya.
"Jadi gimana? Rencananya udah berhasil belum?" Tanya Abby seolah tahu apa yang sedang direncanakan Vanessa.
"Rencana apa?" Tanya Vanessa berpura-pura tidak paham apa yang dimaksud Abby.
"Rencana apapun yang ada di otak kamu sekarang ini," jawab Abby sambil mengusap puncak kepala wanita itu, "rencana yang bikin kamu keluar pagi-pagi hari libur kayak gini nggak bilang-bilang aku."
Vanessa terkekeh mendengarkan analisis Abby yang selalu terdengar cerdas, "Kok kamu bisa tahu sih, Pa?"
"Emang ngapain lagi kamu hari libur keluar rumah pagi-pagi nggak ijin aku, dan bisa bikin Aldrich panik buru-buru keluar rumah jam segitu," jelas Abby membuat Vanessa mengangguk-angguk bangga.
"Suamiku emang jempolan! Nggak bohong gelar dokter kamu," kata Vanessa memamerkan kedua ibu jarinya.
"Punya gelar dokter juga belum tentu bisa nganalis kerja otak kamu," kata Abby kembali meletakkan tangannya di kepala Vanessa, "perlu pengalaman puluhan tahun baru bisa tahu apa yang ada di pikiran kamu."
"Jadi," Abby melanjutkan, "kamu lagi rencanain apa ke Aldrich sama calonnya?"
Vanessa merangkul manja suaminya, "aku pingin Aldrich cepet-cepet kasih kita cucu deh, Pa."
Abby menaikkan satu alisnya tanda bingung, "Secepat apa? Sekarang?"
Vanessa mengangguk, "Dulu kan kita nikahnya telat makanya kita punya Aldrich juga telat, dan aku merasa menyesal kita nggak punya Aldrich lebih awal. Jadi aku mau Aldrich bisa punya bayi lebih awal, biar dia nggak menyesal kayak apa yang aku rasain."
"Memang kamu nyesal?"
Vanessa mengangguk, "Habis kamu nggak mau punya anak lagi karena umur aku. Kalau kita nikah lebih awal kan kita bisa punya adik buat Aldrich, Pa."
Abby memang melarangnya untuk hamil lagi setelah mereka memiliki Aldrich. Dan walaupun Abby beralasan karena usia Vanessa yang sudah kepala tiga, namun sebenarnya bukan itu alasan utamanya melarang Vanessa untuk memberikan Aldrich adik. Dia hanya tidak sanggup lagi melihat istrinya kesakitan saat melahirkan buah hati mereka. Untuknya Aldrich sudah lebih dari cukup.
"Jadi kamu berencana maksa Aldrich nikah habis ini? Setelah maksa dia buru-buru tunangan?" kata Abby lagi melanjutkan.
"Aku nggak maksa kok, Aldrich yang mau tunangan sendiri," kata Vanessa berkilah.
Abby tersenyum penuh arti sambil tetap mengunci pandangan kepada istrinya tersebut, membuat Vanessa sadar bahwa lelaki itu tahu sesuatu yang lebih.
"Kamu tahu, Pa?" selidiknya.
Abby mengangguk, "Mana mungkin anak itu mau tunangan atas kemauannya sendiri sementara kelakuannya masih kekanak-kanakan begitu. Dan karena apa lagi kecuali kamu pegang kartu matinya dia sampai dia mau disuruh tunangan."
Sekali lagi Vanessa harus mengakui bahwa suaminya itu memang selalu cerdik dalam menganalisis keadaan.
"Tapi menurut aku, Aldrich beneran sayang sama Felicia kok, Pa. Kamu nggak lihat gimana Felicia dan Aldrich waktu hari pertunangan mereka? Mereka berdua manis banget. Aku merasa mereka cocok, Pa. Memang kamu nggak merasa gitu ya?"
"Aku nggak bilang mereka nggak cocok kok," kata Abby sambil tersenyum memandang istrinya, "terserah kamu ajalah. Kamu yang ngerti kan Aldrich itu gimana. Mungkin memang lebih baik kalau dia lebih cepat nikah. Supaya dia bisa belajar bertanggung jawab."
Vanessa tersenyum puas atas tanggapan Abby. Seolah sudah mendapatkan tiket persetujuan atas rencana pribadinya.
Dalam hati dia berharap putranya tidak mengecewakannya dan menuruti keinginan yang tadi sudah disampaikannya secara gamblang kepada Felicia dan Aldrich. Membayangkan Aldrich junior akan hadir ke dunia membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum.
***
Part ini emang singkat. Jangan komplen dl yah 😅 nanti sore akan ak upload satu part lagi 😉
Part ini spesial buat yang kangen sama Abby dan Vanessa
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationship
RomanceHanya butuh satu minggu untuk menjadikan gadis secantik Felicia pacarnya, dan kurang dari dua minggu, gadis itu sudah berubah status menjadi tunangannya. Aldrich terjebak. Dia terjebak oleh hasrat dan nasib sialnya sendiri untuk masuk ke dalam lingk...