Sinar matahari yang hangat membuat wajahku tidak nyaman. Dengan rasa sakit di kepalaku, cukup sulit untuk membuatku tersadar sepenuhnya. Meskipun memerlukan waktu, aku akhirnya tersadar dan mendapati diriku berada di tengah hutan. Kepalaku masih terasa sakit saat ini, dan sepertinya kakiku juga terkilir. Karenanya, aku kesulitan untuk berdiri. Namun aku melihat sebuah tongkat kayu, dan tongkat kayu itu terasa tidak asing. Aku pun meraihnya dan membuatnya sebagai alat bantu untuk berjalan. Meskipun terasa sakit, namun aku harus keluar dari hutan ini, sebelum matahari terbenam. Dan aku pun menyerah, rasa sakit ini sangat menyiksa. Sesaat sebelum aku pingsan, ada seorang pemuda yang berlari kearah ku. Sepertinya dia berteriak, namun aku tak bisa mendengar kata-katanya. Bahkan aku tidak bisa mendengar hela nafas ku sendiri. Yang aku lihat setelah itu, hanyalah kegelapan. Apakah aku mati? Aku tidak tahu...
Aku berhasil bangun. Dan yang lebih mengejutkan, aku terbangun di sebuah ruangan yang sangat rapi, dengan penerangan yang bagus. Aku mencoba merasakan halusnya tempat tidur tempatku berbaring. Udara yang ku hirup sedikit kasar. Aku pun mencoba untuk duduk, meskipun badanku masih terasa sakit. Kakiku sudah terbalut perban dengan rapi. Aku juga merasakan adanya perban di kepalaku. Sungguh mengejutkan, kurasa. Aku mencari-cari dimana tongkatku, namun sepertinya tidak ada di kamar ini. Mendengar sebuah langkah kaki, membuatku mengalihkan pandanganku kearah pintu yang ada di ujung ruangan. Sepertinya ada seseorang yang akan masuk. Pintu pun terbuka dan seorang pemuda masuk, sepertinya dia lah yang kulihat sebelum aku pingsan.
"Syukurlah, kau sudah sadar rupanya. Apakah kakimu masih terasa sakit?", dia bertanya.
"Ya... ini sedikit lebih baik.", jawabku.
Ia cukup ramah kepada orang asing yang baru di temuinya. Setelah meletakkan sebuah nampan yang berisi segelas susu hangat dan sebuah piring kecil berisikan roti panggang di meja dekat tempat tidur, ia menarik kursi meja dan duduk di samping tempat tidur.
"Siapa namamu?", pemuda itu kembali bertanya.
"(berfikir sejenak)... Nama ku... Aku tak bisa mengingatnya.", jawabku.
"Hhhhmmm... Amnesia.", ujarnya.
"Amnesia?", aku bertanya.
"Yup, mungkin kepalamu terbentur sesuatu.", jawabnya.
"(meraba kepala)... Kau benar..."
Sungguh ironis. Aku bahkan lupa dengan namaku sendiri. Dengan perlahan, aku meraih segelas susu hangat yang ia berikan kepadaku dan meminumnya.
"Apa kau tak ingat satupun tentangmu?...", tanyanya lagi.
"(Berfikir sejenak)... Togkat, apa kau tahu tongkatku?...", aku balik bertanya.
"Oh... tongkat itu, aku meninggalkannya di hutan...", jawabnya.
Entah mengapa tubuhku bergerak dengan sendirinya. Tubuhku serasa ingin bangkit dari tempat tidur, dan segera mencari tongkat itu. Aneh sekali, aku bahkan tidak menghawatirkan kakiku yang sedang terluka.
"Jangan bangkit dari tempat tidur terlebih dulu, kakimu sedang terluka kan!", cegah nya.
"Aku harus... aku harus mencari tongkat itu...", ujar ku.
"Apa?... Bukankah itu hanya tongkat kayu biasa. Apa istimewanya tongkat kayu seperti itu?", tanyanya.
"Tapi hanya tongkat itu yang ku ingat!", teriakku.
Dia langsung terdiam. Mungkin aku terlalu berlebihan. Aku tidak sepantasnya membentak orang yang sudah menolong ku.
"Ma... maaf, aku tidak bermaksut membentakmu...", ujar ku.
"Ti... tidak apa-apa, aku juga bersalah karena meninggalkannya begitu saja...", balasnya.
"Kau tidak salah, memang tongkat seperti itu bagi orang lain tidak berharga. Jadi tidak salah jika kau meninggalkannya.", ujar ku.
"Mungkin jika kau mau, aku bisa membantu mu mencari tongkat itu?", tawarnya.
"Baiklah, aku akan memerlukan bantuan nantinya.", ujar ku.
"Ok... aku akan membantu sampai kau menemukan tongkatmu kembali!", seru nya sambil berlari keluar dari kamar.
"Orang yang aneh...", gumam ku lirih sambil menghela nafas.
Setelah meletakkan kembali gelas yang kosong ke nampan yang berada di atas meja, aku mencoba bediri meskipun harus merasa sedikit kesakitan. Ternyata berdiri dengan satu kaki itu cukup sulit. Aku mencoba bertahan untuk berdiri dengan cara melentangkan tanganku. Sesaat setelah aku berhasil memfokuskan diri agar tidak jatuh, tiba-tiba pemuda itu masuk dan mengagetkan ku. Aku pun terjatuh karena terkejut.
"Oops, maaf?... ", ujarnya.
"Sepertinya kakiku bertambah parah...", ucapku lirih.
Dia mencoba membantu ku berdiri, lalu mendudukkan ku di atas kasur.
"Ambil ini... ", ujarnya sambil memberi ku sebuah tongkat kruk.
"Terimakasih... ", aku meraih tongkat itu darinya dan mencoba menyeimbangkan diri dengan tongkat kruk yang ia berikan.
Akhirnya aku dapat berdiri. Meskipun kakiku masih terasa sakit, namun aku ingin segera mencari tongkatku. Sebagian dari hatiku berkata bahwa itu tindakan yang konyol, dan sebagian lagi berhasil menggerakkan tubuhku untuk tetap mencari tongkat itu. Ya ampun, sebenarnya ada apa dengan tongkat itu...
"Bisakah kita mencarinya sekarang juga?", tanyaku.
"Apa kau yakin?...", dia balik bertanya.
"Mungkin tongkat itu bisa membantu ku mengingat sesuatu... ", ujar ku.
"Kalau begitu lebih baik kita cari sekarang.", ujarnya.
Pemuda itu membantuku berjalan hingga keluar rumah dengan sangat perlahan. Kami terus berjalan, berjalan, dan terus berjalan. Dalam hatiku, aku mulai mengeluh. Mengeluh karena terus berjalan dan menyiksa diriku sendiri. Pemuda itu masih terus membantu ku berjalan. Apa dia tidak lelah? Apa dia tidak haus?... Aku bisa melihat keringatnya yang menetes, jatuh perlahan ke tanah. Aku juga merasa bahwa tubuhku juga sudah banyak berkeringat. Ketika melihat ke atas, aku merasakan sinar matahari yang terik.
"Sudah sampai... di sini aku menemukan mu 2 hari yang lalu...", ujarnya.
Aku mulai memandang sekitar untuk mencari tongkatku. Sebuah tongkat... Tongkat yang sangat berharga. Lalu, aku menemukannya. Tongkat itu tergeletak di rerumputan. Aku berjalan terpincang-pincang menggunakan kruk. Lalu ku ambil tongkat itu perlahan. Aku mulai mengusap tongkat itu. tiba-tiba...
"Arrggg... aaaarkk... aaaa...", aku menggerang kesakitan.
"Oi... kau kenapa...", teriaknya sambil mengguncang-guncang tubuhku.
Entah kenapa dadaku terasa sakit. Apa ini?... Serangan jantung?... Tidak mungkin. Mataku perih... Kepalaku terasa mau meledak... Namun apa ini?... Apa ini semacam kutukan?... Kurasa tidak. Ini adalah Eltic (sejenis mana). Eltic yang ku segel di dalam tongkatku saat aku terjerumus ke Volfelus. Volfelus adalah sebuah kumpulan Trotyc (Pusaran Sihir) yang di hasilkan oleh benturan dari 2 Eltic yang berbeda lalu menghasilkan sebuah portal antar dimensi secara paksa. Otak ku seperti di load ulang. Akhirnya aku tahu siapa aku sebenarnya, dan kenapa aku bisa berada di sini. Rasa sakit di dadaku telah hilang... Tidak... Bahkan rasa sakit pada kakiku pun sudah tidak ada karena Eltic yang kuat mengalir dari tongkatku. Aku berdiri seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan tubuhku.
"A... Apa kau tidak apa-apa?... Ka... Kau bisa berdiri?... Kakimu... Bagaimana dengan kakimu?... ", pemuda itu bertanya dengan terbata-bata.
Ingatanku telah kembali. Semua ingatanku telah kembali. Serentak aku langsung memegang erat tongkat ku dan melepaskan sebuah sihir pengikat pada tongkat ku. Seketika itu pula tongkat tersebut berubah menjadi sebuah pedang hitam. Sebuah pedang suci yang di berikan ayahku, pedang Azvalord. Aku berbalik dan mengacungkan ujung pedang ku kepada pemuda itu.
"Terimakasih untuk sebelumnya, dan maaf untuk selanjutnya... Tapi... Kau harus menjawab beberapa pertanyaan ku jika kau masih ingin bernafas.. ", aku mengancam nya dengan tatapan yang dingin.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Curse - The Lost World
FantasyKisah perjalanan seorang pangeran yang tidak di inginkan lain oleh ayahnya sendiri. Di karenakan kerajaannya yang hancur, dunianya pun mulai di ambang kehancuran. Sang Fana, Zyxn Lastic, mencoba menghancurkan dunia setelah merebut Batu Valdizt [Immo...