HANSEL DAN GRETEL
Pendeta itu mengernyitkan dahinya. Kepalanya mendadak jadi panas. Telinganya berdengung. Suara bayi itu membuatnya naik darah. Kedua tangannya sudah menutup rapat telinganya tapi suara menyebalkan itu masih menelisik masuk. Menganggu pendengaran. Bayi mungil itu terus melengkingkan tangisan terbaiknya. Memecah malam, membelah langit. Sungguh menyebalkan. Sama menyebalkannya dengan orang yang akan dititiskannya itu. Si pendeta dan pengikutnya sengaja menculik bayi itu dari rumah sakit terdekat. Bayi itu kuat dan memiliki struktur tubuh yang gagah. Sungguh cocok di tempati oleh orang yang akan dititiskannya kelak. Tapi sayangnya tangisannya seperti perempuan. Begitu melengking dan memekan telinga. Sama seperti wanita yang sedang merajuk. Tangisannya itu bisa mengundang perhatian banyak orang kalau saja si pendeta tidak membawa kabur bayi itu ke hutan.
“Wungu!!! Bungkam bayi itu atau aku yang akan membungkamnya untuk selamanya” Ancam si pendeta.
Ia mengorek telinganya dengan kelingking. Mengetes telinganya yang hampir tuli akan suara tangisan bayi.
Wungu mengangguk kaku. Ia sendiri bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Bayi itu masih saja meneteskan air matanya, membuat Wungu bingung. Ia sudah memberikan bayi itu sebotol susu. Memeriksa popoknya dan bahkan sudah menimang bayi itu agar tidak melengkingkan tangisnya. Ia tau benar kalau si pendeta sedang meradang akan tangis bayi itu.Pria itu mengepal tangannya sambil menarik napas dalam-dalam. Mondar mandir seperti mobil mainan. Menenangkan diri dari tangisan bayi itu dan menjauhkannya dari pikiran jahatnya. Bayi itu tidak boleh dibuat bungkam untuk selamanya. Ia membutuhkan bayi itu untuk menitiskan pengikut setianya nanti. Ia tak boleh naik pitam Sabar..sabar.. Si pendeta menarik napas lagi. Baru kali ini ia belajar apa yang namanya sabar. Sabar itu tidak mudah karena menjadi sabar tak seperti membalik telapak tangan. Butuh kelapangan dada untuk menerima apa yang membuatnya meradang setengah mati.
Wungu menjentikan jarinya “Tiduuur!!!” Perintah gadis itu.
Bayi itu menguap. Dia menutup kedua matanya sesuai dengan perintah Wungu. Wungu menghela napas lega. Sihirnya mampu membuat bayi itu bungkam tanpa si pendeta harus turun tangan. Tidaklah mudah mencari bayi untuk dijadikan wadah. Mereka harus dilahirkan pada malam Selasa kliwon dan memiliki struktur tubuh yang mirip dengan yang dititiskan. Tidak banyak bayi yang memiliki kriteria seperti itu di kota ini. Ia juga tak punya banyak waktu untuk berkeliling mencari bayi lain. Wungu sedang dikejar waktu. Jika bayi itu berakhir di tangan si pendeta, mungkin saja dia harus menunggu ribuan tahun lagi untuk mengulang ritual yang mereka rencanakan sejak awal. Pendeta menjanjikan untuk membangkitkan keluarganya dari kematian saat ritual itu selesai. Ia sudah terlalu lama merindukan keluarganya. Ia tidak ingin hanya karena masalah sepele, pertemuan mereka jadi tertunda.
Si pendeta tersenyum lebar. Suara tangisan itu berhenti saat bayi itu sudah tertidur. Ia lebih menggemaskan saat tertidur daripada saat bangun. Dewasrani langsung membukan kain yang membungkus tubuh si bayi. Ia menyatukan kedua tangannya seperti orang bertapa. Mulutnya mulai membaca beberapa ajian. Bait demi bait ajian itu keluar dari bibirnya. Ajian itu mengundang awan kelabu muncul ditemani kilat berwarna hijau kemerahan mengelilingi si bayi.
YOU ARE READING
Si Anak Terkutuk
Teen Fiction"Kelak akan ada sepasang anak yang terlahir dari kebencian Bathara yang dikhianati. Mereka adalah anak terkutuk. Anak-anak yang akan menghancurkan dunia dengan kebencian yang sudah tertanam dari lahir. Kebencian yang diwariskan turun temurun dari...