SEMBILAN

20 1 1
                                    

RAMALAN

Tidak jauh dari jalan yang dilintasi Traya, berdirilah sebuah kabin. Kabin yang menyembunyikan dirinya di tengah rindang pepohonan hutan sunyi itu. Kabin itu seperti seorang penyendiri. Tidak ada kabin lain yang menemaninya melewati malam dingin. Tapi, penampilan luar kabin itu tak sesunyi keadaan sekitar yang mengepungnya. Lampu warna warni yang mengelilingi kabin terus memercikan cahayanya tanpa henti seperti ada parade di taman kota. Hanya orang buta yang tidak mampu melihat kerlipan lampu tempel yang mengelilingi kabin. Tak mudah untuk mengabaikan keberadaan kabin itu di sana.

Kabin itu bak sebuah rumah permen di tengah hutan yang kelam di cerita Hansel dan Gretel versi dongeng. Benar-benar mencolok. Mungkin jika anda tersesat di hutan, kabin itulah tempat pertama yang akan anda temukan dalam kelamnya hutan. Asap terus mengepul dari pipa cerobong. Seseorang sudah menyalakan perapian. Menghangatkan diri dari udara dingin yang dibawa oleh rintik hujan barusan. Tidak ada satu suara pun terdengar keluar kabin. Bahkan suara jangkrik yang berderik lebih nyaring dari kabin itu sendiri. Hutan berawa yang mengepung kabin itu terasa begitu berkabut. Sebuah rumah yang nyaman untuk ratusan kodok. Mereka mengorek dalam simfoni yang berirama.

Seorang gadis cilik membuka jendela kabin lebar-lebar. Ia menyandarkan dagunya di atas telapak tangannya. Matanya terpejam. DIa bukan tertidur. Tapi sedang menikmati suara binatang yang mulai bersimfoni menemani malam. Sudah lama ia tidak mendengar simfoni itu. Ia sudah begitu lama berada di tempat yang dipenuhi lolongan pendosa. Lolongan mereka memekakan telinga, tidak ada ketenangan di sana. Kalau saja ia bisa lebih lama lagi berdiam di sana. Ia akan menukar momen itu dengan harga apapun. Gadis itu mengigil. Angin malam mulai membelai kulit yang menempel pada rupa pinjamannya. Ia kembali tersenyum. Ia senang saat angin malam menyapa dan memeluknya dalam dingin. Sudah lama angin malam tidak melakukan kedua hal itu. Tidak ada angin di Narakanya. Narakanya terlalu membara. Membara menghukum jiwa-jiwa pendosa. Gadis itu terhenyak. Seseorang sudah lebih dulu menyudahi kerinduannya pada angin malam. Dia menyelimuti tubuh mungil gadis itu dengan sebuah mantel yang dicomotnya dari salah satu kursi si pemilik rumah. Tubuh gadis cilik itu terlalu ringkih jika ditimpa angin malam terus menerus.

“Angin malam tidak baik untuk anak-anak” Kelakar Bathara Yama, pria yang menyelimuti gadis itu dengan mantel.

“Kalau kau tau berapa umurku sekarang, kau akan berhenti memanggilku anak-anak” Timpal gadis cilik yang bernama Lilith itu. Bathara Yama sering melupakan kenyataan kalau dirinya tak seimut apa yang terlihat di luar. Rupa manis itu hanyalah sebuah sangkar bagi monster yang mengerikan.

Lilith terkekeh. Pria itu sering memperlakukannya bak seorang putri kecil yang rapuh dan butuh perlindungan. Ia terlalu tua untuk disebut anak-anak.
Bathara Yama hanya membalas tawa gadis itu. Ia bergerak ke arah rak buku si pemilik kabin. Matanya menyipit. Ia sedang mencari judul buku yang menurutnya romantis. Air mata ibu. Bukan. Judul itu terlalu menyedihkan untuk dibacanya. Tulah Penjual Bakso yang Serakah. Bukan juga. Judul itu terlalu mengerikan. Ia butuh sesuatu yang lebih ringan dari sekedar karma orang jahat. Wajahnya begitu merona saat menemukan buku yang dicarinya. Romeo and Juliet. Ia menarik buku usang itu dari kawannya. Matanya seperti melihat tumpukan berlian. Ia seperti ditakdirkan untuk membaca buku itu di sana. Judul itu selalu saja menarik hatinya. Entah sudah berapa ratus kali cerita klasik itu diterjemahkan dalam novel, pementasan teater bahkan film. Tidak pernah sekalipun ia bosan dengan itu. Lemari bukunya penuh dengan buku yang berjudul sama dengan versi yang berbeda.

Bathara Yama menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi rotan. Kursi itu begitu mungil jika dibandingkan dengan tubuhnya yang besar. Perawakannya seperti raksasa di rumah boneka. Ditaruhnya buku itu di atas pangkuannya. Kedua tangannya mengepit ke dalam. Ia tidak ingin buku usang itu rusak karena tangan kasarnya. Si pemilik bisa marah besar jika itu terjadi. Tak butuh waktu lama membuat pria itu hanyut dalam bacaannya. Sesekali ia menahan segukan. Pria pantang menangis. Terlebih hanya karena cerita romantis.

Si Anak TerkutukWhere stories live. Discover now