Waktu telah berlalu, sejak di larang berteman dengan Putri, aku tak pernah menunjukkan diri atau pun dekat lagi dengan Putri. Tapi, aku selalu mencuri waktu untuk melihat keadaan Putri di rumah sakit hingga keluar rumah sakit.
"Nisa, Putri kabarnya gimana?"tanya Nara baru datang.
"Alhamdulillah baik, Nara. Dan sudah keluar rumah sakit dua minggu lalu," jawabku senyum.
"Tapi ... Kenapa dia tak menemui kamu? Padahal yang tolongin dia itu kamu?" tanya Nara lagi.
"Mungkin belum ada waktu saja, lagipula dia juga nggak tahu aku menolongnya?"
Tiin!!! Suara klakson mengagetkan kami yang sedang ngobrol di jalan sambil memungut botol-botol. Kami berhenti lalu memandangi mobil yang terhenti di belakang kami. Seseorang keluar dari mobil.
"Putri," panggilku senang.
"Eh, anak sampah minggir, lo? Jangan sok akrab, deh!" ucap Clara keluar dari mobil yang sama.
"Siapa dia? Seakan kenal gue?" tanya Putri seakan lupa.
"Ya ... Iya lo 'kan terkenal hingga dia hanya anak sampah suka mungut sampah kenal lo." penjelasan Clara sambil menghina.
Entah, mengapa hari ini ada yang aneh dengan Putri. Apa yang terjadi kepadanya? Mengapa dia seakan tak mengenal tentang diriku? Tak ingat selama ini. Aku hanya membisu penuh tanya dalam hati. Dan lagi bersama Clara.
"Udah, akh ... Kita cabut. Nanti kita telat pentas!" seru Putri balik badan ke mobil. "Tolong, ya. Beri kita jalan."
Kami pun menepi sisi jalan berdiri di atas trotoar mempersilakan mereka berlalu.
"Ya, ampun! Dia nggak ingat sama kamu, Nis?! Mudah sekali lupakan sesuatu yang pernah bersamanya serta menolong nyawanya itu?" kesal Nara melihat peristiwa tadi.
"Sudahlah ... Lanjutkan saja pekerjaan kita. Mungkin ada sesuatu yang tak kita ketahui? Tak baik seperti itu? Lagi pula ibunya melarangku berteman dengan Putri," kataku sambil kembali memungut gelas-gelas plastik.
"Kamu pernah bilang, kan? Suatu perbedaan bukan penghalang suatu hubungan. Dan apa pun terjadi di dalam suatu hubungan jangan di akhiri mesti bertikai hebat?"
"Lalu, apa yang ingin kamu sampaikan padaku, Nara?"
"Aku kenal kamu, Nisa. Putri juga pernah membantuku, dan kita pernah bermain bersama dan aku menjauh karena bermain dengannya di hina oleh orang yang setara dengannya. Tapi, kamu masih saja tak pedulikan hinaan itu? Kamu tetap bermain dengan Putri. Jujur aku tak paham dengamu ..." Nara menghentikan ceritanya dan memandangku.
"Kenapa pikiranmu seperti itu?" pertanyaannya di akhir cerita.
"Kamu takut Putri yang di hina bermain denganmu, bukan takut kamu di hina?""Tak ada bedanya dengan Putri. Putri pun sama di hina sama mereka karena bermain denganku tapi dia masih saja bermain denganku? Jadi, apa aku harus pergi atas hinaan itu? Lagi pula bagiku kata-kata itu hal biasa, tapi bila kata-kata itu menghina orang-orang kusayangi tentu aku membela," jawabku menjelaskan atas tidak mengertian Nara kepadaku.
Nara memandangku,"Kini aku mengerti. Tapi, melihat hal tadi Putri tak ingat kamu? Itu sungguh menyakitkan."
Aku hanya diam membisu. Pertanyaan itu yang menghantui pikiranku. Apa yang terjadi pada Putri? Mengapa dia tak ingat tentang diriku? Mungkinkah dia lupa ingatan? Tapi, sudahlah mungkin lebih baik dia tak ingat tentang cerita itu.
***
Peristiwa itu terulang kembali Preman-preman itu kembali mengganggu. Entah, sedang apa Putri di sore hari ini dan jalan seorang diri? Dan preman itu menjahilinya."Aku harus menolongnya." gumamku
Putri pun lari melepaskan diri dari preman-preman itu. Tapi, tampaknya para preman itu tak mau melepaskannya hingga mengejar Putri yang kabur. Saat langkah Putri hampir dekat persimpangan segera kutarik tangan Putri untuk sembunyi di balik gerobak di penuhi karung.
"Dimana gadis itu?!" tanya preman bertato banyak.
"Mau ngapain kalian? Mau ganggu temanku?" tanya Nara nada tinggi tangannya sudah genggam balok besar tiba-tiba.
"Kita hanya ingin tahu gadis barusan lewat sini!"
"Nggak ada seorang yang lewat! Kalian hanya mengganggu, pergi sana! Atau balok ini melayang!!"
"Ya, pergi sana!" sambungku mengambil sisa balok yang ada.
Tidak ada perlawanan, hanya wajah kesal tergambar di raut wajah para preman itu dan pergi tinggalkan kami.
"Dasar preman penakut! Hahaha." tawa Nara melihat preman itu pergi.
"Terima kasih sudah menolongku." Putri keluar dari sembunyian.
Nara melirik gadis yang baru keluar dari sembunyian. Keningnya berkerut, raut wajahnya berubah tidak suka.
"Ou, jadi dia yang di cari oleh mereka? Kenapa di tolong, Nisa? Dia 'kan lupa sama kamu."
"Nara?" panggilku untuk tidak lanjutkan katanya.
"Apa kita sebelumnya sudah mengenal?" tanya Putri.
"Tidak. Hanya kemarin saja kita menghalangi jalan kalian saat itu," jawabku.
Putri memandang dengan tatapan menyelidik, seakan mencari yang terlupakan.
"Putri." Seseorang memanggilnya.
Mata kami pun tertuju asal suara panggilan itu. Seorang wanita cantik berpakaian kantor melangkah cepat menghampiri. Wanita itu tidak lain ibunya Putri.
"Ngapain kamu berada di tempat ini, Putri?" tanya ibunya. "Dan kamu lagi? Bukannya saya peringatkan jangan pernah lagi dekat dengan anak saya?" giliran tatapannya mengarahku. Memaki.
Hanya membisu untuk menjawabnya.
"Bu, mereka telah menolong Putri dari kejaran preman. Kenapa bicara ibu kasar dan lagi bicara begitu?"Putri angkat bicara.
"Sebaiknya kita pulang! Kamu harus nurut sama ibu?!"
Tak ada sekata yang keluar dariku, Nara pun sama. Membisu mendengar kata yang keluar dari Ibu Putri yang coba ingatkan diriku akan larangan itu. Aku hanya bisa menatap langkah kaki itu pergi. Sepertinya Putri telah berubah, tak ingat tentang dirinya. Dia yang suka membela, membantu, mengajak bermain. Kini dia seakan tak ingat satu hal yang di lakukan bila bertemu denganku.
****"Mereka lagi," gumamku tak sengaja melihat mereka keluar dari gerbang belakang sekolah dan menghindar.
"Tunggu!" panggil Putri mencoba menghentikan langkahku.
"Eh, mau ngapain panggil anak sampah?" tanya Clara seketika.
"Dia telah tolongin gue, jadi ... Jangan panggil dia anak sampah?" jelas Putri.
Langkahku terhenti membelakanginya. "Apa Putri telah kembali ingatannya?" pikirku.
"Aku pernah merasa kenal kamu, dan terasa dekat. Kenapa nggak ada yang ingatin aku tentang kamu?" kata Putri penasaran.
"Hadeh ... Untuk apa ingat dia? Dia bukan siapa-siapa lo?" sambung Clara.
"Iya, tak perlu ingat siapa aku?" sahutku berlalu.
"Kenapa aku tak perlu ingat kamu? Kenapa kau tak bantu ingatanku, Nisaa ...? Apa kau tak ingin lagi berteman denganku? Bahwa kita pernah dekat?" tanya Putri bertubi-tubi.
Sejenak langkahku terhenti mendengar pertanyaan Putri dari jauh. Tak sadar setetes air mata jatuh ke tanah. "Maafkan aku Putri! Cukup di sini tak perlu lagi kau tanya karena perbedaan kita sangat jauh." Kata tak mampu kuutarakan, melangkah menjauh.
"Kenapa? Kenapa kau tak ingin membantu ingatanku kembali? Termasuk mengingatmu?" Putri kembali bertanya.
Dan lagi kebisuan menjawab. Kulanjutkan langkahku pergi, memastikan benar-benar jauh hilang dari pandangan mereka. Dan duduk di tepian trotoar yang sepi. Berat terasa hati kubawa, menjauh dari sahabat sering menemani dan berbagi ilmu.
"Jujur, kau tahu Putri? Ini sangat berat, entah sampai kapan aku bisa seperti ini? Aku kangen sekali bermain denganmu?" Kupandangi sketsa gambar aku dan dirinya dalam kertas yang kulukis dengan pensil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryBerbagai cerita pendek ada di sini. Yang suka baca yang langsung cepat habis ya di sini ヽ('▽`)/