Perbedaan Yang mengakhiri

24 0 0
                                    

Seperti biasa Putri mendatangi tempatku bekerja yang mereka kata 'Sampah' barang yang sudah di pakai lalu di lempar ke tempat pembuangan. Ya, aku bekerja sebagai pemulung, memunguti bagian barang yang mereka buang untuk menafkahi kehidupanku sebatang kara. Sampah-sampah itu di manfaatkan kembali, didaur ulang.

Putri mendatangiku untuk mengajak bermain keluar dari pekerjaan yang kulakukan. Namun, rasa takut itu menggelayut. Dia seorang anak orang kaya bermain denganku seorang pemulung?

"Aku takut jika nanti temanmu melihat kamu bermain denganku, anak pemulung," kataku menolak.

"Ayolah, Nis. Sudah jangan pikirkan hal itu? Mereka tak lebih baik darimu," rayu Putri berwajah manis.

"Tentu mereka lebih baik dariku? Mereka sederajat denganmu, sementara aku ..."

"Ya sudah, jika nggak mau tak apa? Aku hanya mau bermain dengan kamu," potong Putri mengubah nada datar.

"Maaf, Put. Aku sibuk, kamu tahu tugas seharianku, kan?"

"Biar kubantu, aku ingin belajar seperti dirimu."

"Apa kamu nggak malu membantuku memungut sampah? Apa kata mereka? Yang ada kamu dihinanya," tanyaku melihat Putri masih di sini.

"Aku tak pedulikan hal itu. Sebab, aku merasa nyaman di sini," jawabnya senyum.

Putri memang berbeda, dia tak pernah malu melakukan hal menjijikan memungut sampah. Tak pernah juga pedulikan perkataan orang-orang yang menghinanya apalagi berteman denganku seorang pemulung. Dia adalah teman terbaikku, mesti perbedaan kita sangat jauh.

"What? Siapa yang ada di sini? Apa kita nggak salah lihat?" tanya seorang berpakaian seragam sama dengan Putri pada ketiga teman di sampingnya.

"Teman kita gadis terpopuler di sekolah membantu anak sampah, sungguh memalukan," sambungnya dengan sombong.

Kulihat raut wajah Putri tidak suka akan kehadiran mereka, dan ingin mereka lekas pergi dari hadapannya.

"Emang kenapa? Nggak boleh, ya?" tanya Putri datar.

"Aduh ... Please, deh! Putri jangan malu-maluin kita, dong? Masa lo berteman dengan anak sampah?!" jawabnya.

"Eh, Clara. Jangan lagi lo sebut anak sampah pada sahabat gue, ngerti?!" balas Putri dengan nada marah.

"Kalian dengar, nggak? Dia bilang sahabat? Bersahabat dengan anak sampah! Haha ... Haha, menggelikan," tawanya menghina.

Kugenggam tangan Putri yang sudah membentuk kepalan yang siap melayang dan mendarat. Dan menekan agar peredaran emosi itu tak terlepas dari sarangnya yang akan mengacaukan pikiran Putri karena termakan hinaan itu.

"Put, sabar. Aku tak ingin kamu marah," ucapku lebih dekat.

"Sebaiknya kalian pergi? Bukankah tempat ini bau?" saranku mencegah keadaan tambah memburuk.

"Tak perlu ngomong begitu, kita juga akan pergi! Lama-lama di sini yang ada tertular bau sampah, cih!" balasnya merendahkan tempat keberadaanku dan kembali ke dalam mobil.

"Kenapa, Nisa? Mereka itu mencari masalah denganku! Apa kau nggak dengar setiap perkataan yang terus menghina? Harus di beri pelajaran." Kini Putri berbalik marah padaku yang mencoba menahan emosinya yang mulai membuncah.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang