Seberkas Luka

35 0 0
                                    

Hari ini ayah dan ibu akan pulang dari jerman, rasanya ingin segera berada di rumah menyambut kedatangannya. Selepas pulang sekolah aku langsung menancap gas mercy, mobil kesayanganku yang di berikan orang tuaku sebagai kado teristimewa di umurku ke tujuh belas.

Setiba di depan gerbang rumah, kubuka sendiri gerbang karena saat ini tidak ada seorang yang dengar suara mesin mobilku datang. Gerbang tak terkunci, mudah bagiku untuk masuk.

Kupercepat langkah, berlari manis menuju pintu. Suara gaduh di dalam rumah menghentikan langkahku di depan pintu. Jantungku terasa terpompa kencang dan tiba-tiba terhenti mematikan peredaran darah. Ruangan yang selalu penuh kehangatan dan keceriaan berubah mencekam. Lantai yang bersih kini penuh bercak merah dan genangan yang kental dari tubuh seorang yang tergeletak.
"Apakah ini mimpi?" Gumamku tak percaya.

***

Sepuluh tahun telah berlalu, bayangan itu masih menghantui. Ayah ibuku terbunuh oleh pamanku sendiri dan mungkin saja akan ikut terbunuh jika aku tak berhasil melarikan diri.

"Hey, Anggun jangan melamun dong!" tegur Nina tiba-tiba. "Bantuan napa? Soalnya susah-susah bener." Nina mendumel pusing mengerjakan tugas dari dosennya.

Nina adalah seorang yang telah menemukanku serta menolong nyawaku yang hampir melayang karena kecelakaan. Karena hal itu, aku di nyatakan mengalami anmesia. Benturan keras yang terjadi di kepalaku membuat separuh ingatan di otakku hilang.

"Bagaimana bisa bantu? Sekolah aja nggak, bantu ngerjai tugasmu," kataku sembari melihat-lihat soal.

"Ya, kali aja bisa bantu," harap Nina lesuh.

"Yah, gimana. Aku coba, deh! Semoga bisa jawab soal," kuperhatikan setiap soal yang memusingkan itu.

"Nah, gitu. Aamiin." Nina mengaminkan.

Aku tinggal di rumahnya. Menemani kesehariannya dan membantu-bantu yang kubisa lakukan. Orang tuanya jarang pulang karena pekerjaan bisnis di luar negri. Sebab itu, aku menemaninya sepanjang waktu dan Nina selalu berusaha membantu mengingat dengan segala pertanyaan. Tak semua kukatakan karena ada cerita tak boleh di ketahui olehnya.

****

Suatu rasa rindu membawa langkahku pada sebuah rumah mewah. Rumah yang pernah menjadi arah pulangku, menyimpan banyak cerita dan pembunuhan itu. Sungguh tak di sangka pembunuh itu adalah pamanku sendiri. Luka yang tertanam menumbuhkan ingin keadilan nyawa dengan nyawa.

"Paman. Tunggulah aku kembali membawa keadilan untukmu?!" batinku dendam.

Entah pamanku memiliki alasan apa untuk melakukan hal keji itu? Dan aku tak percaya selama ini akan kebaikannya hanyalah palsu semata.

"Anggun, anggun ... Sedang apa di sini?" sapa Nina tiba-tiba.

"Akhirnya, aku cariin kamu dari tadi, sampai nggak tau arah? Aku khawatir akan kabarmu yang nggak pulang tepat waktu," balasku.

"Ya ampun, maaf yaa Anggun. Aku lupa ngabarin kalo pulang agak malam," kata Nina menepuk keningnya.

"Hmm ...."

"Yaa, maaf. Sebelum pulang kita makan dulu di warung sana?" ajak Nina melingkarkan tangannya di belakang leherku.

"Baiklah."

"Oya, kamu ingat nggak? Jika melihat benda ini?" tanya Nina menyodorkan gelang setiba di warung makan.

"Gelang klasik, ya?" kataku melihat benda yang di pegang Nina.

Apa sampai segitunya Nina mencoba ingin kembalikan ingatanku? Gelang itu kubeli di Jerman saat liburan di sana karena klasik dan menarik, aku membelinya.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang