Bayangan Hujan

33 0 0
                                    

Tanganku masih sibuk dengan pena. Mungkin, karena belum bisa beradaptasi dengan kamar ini. Karena pekerjaan ayah di pindahkan, kami pun ikut pindah rumah.

"Nila, kamu belum tidur?" Suara ibu tiba-tiba menjatuhkan pena di tanganku. "Kau sedang apa, nak?" tanya ibu di ambang pintu.

"Ibu ngagetin saja, nila nggak bisa tidur, ya ... Karena ...," jawabku sehabis memungut pena di lantai.

"Nanti juga biasa, cepat tidur! Besok kan nila harus ke sekolah baru, nggak boleh terlambat," kata ibu mengingatkan.

"Iya, bu. Nila paksain tidur."

"Yauda, bu balik ke kamar, mimpi indah ..." Ibu kembali menutup pintu kamarku setelah mengintip.

Dan aku masih duduk di kursi meja belajar sesekali mengintip keluar jendela lewat cela tirai yang tidak tertutup rapat. Di luar hujan deras.

"Jam segini masih ada saja orang di luar, hujan-hujanan lagi," gumamku melihat sosok orang di luar.

***

"Nila bangun! Ayo , bangun ..." Suara lembut ibu bangunkan aku.

"Hoam ... " Uapku merenggangkan tangan.

"Cepat mandi, habis itu sarapan," kata Ibu.

"Iya ..." Semalam akhirnya kubisa tidur walau kurang nyaman. Setelah mandi dan berseragam kuberlari kecil ke ruang makan sambil menenteng ransel di pundak kiri. "Siapa yang akan ngantar nila ke sekolah? Harus beradaptasi lagi, deh!" tanyaku menggerutu.

"Ibu yang akan ngantar," jawab ibu.

"Kamu ... Jangan nakal di sekolah baru nanti, jangan berkumpul sama anak-anak nakal, ya?!" Ayah angkat bicara.

"Iya, yaah ..." jawabku.

"Anak ayah ini kan anak baik-baik," senyumku manja.

"Yaudah, Ayah berangkat dulu, Bu ... Baik-baik ya sama nila," pamit ayah lalu jalan cepat ke pintu keluar.

Ibu mengantarku ke sekolah serta ke ruang pak kepala. Ibu menitipkan diriku pada pak kepala sekolah.

"Pak, saya titip nila di sekolah ini, sebelumnya saya berterima kasih," ucap ibu pada pak kepala. "Nila, ibu hanya bisa temanimu sampai di sini, baik-baik ya di kelas baru," kata ibu menyentuh pundakku tak lupa senyum di berikan.

"Iya, bu. Ibu nggak usah khawatir, nila kan udah besar," balasku.

"Jangan buat ulah, ya?! Ibu dan ayah nggak mau dengar berita kenakalanmu, bila terjadi alat perlengkapanmu ibu berikan akan ibu tarik!" bisik ibu mengancam.

"Jangan, bu!" pintaku.

"Jika begitu jangan bikin ulah?" Ulang ibu mengingatkan kembali.

"Iya, bu." Peristiwa itu membuat ibu takut terulang kembali di sekolah baruku. Padahal bukan aku mulanya pertikaian itu terjadi. Aku benci di ganggu, gadis itulah mencari masalah denganku hingga adu mulut dengannya yang berakhir di kepala sekolah. Dan aku yang kena hukuman karena teman-teman gadis itu sengkokol menyudutkan aku yang salah. Cerita itu berlalu ketika seminggu peristiwa itu terjadi, lalu pekerjaan ayahku di pindahkan ke kota lain yang tak kalah dengan kota sebelumnya. Aku mengikuti langkah kepala ke kelas yang akan jadi kelasku. Pintu pun di buka setengah, semua mata mengarah padaku. Pak Kepala sekolah berbicara pada guru yang sedang mengajar.

"Nila, ini Pak Norman. Wali kelasmu serta guru sejarah, sekarang kamu bapak tinggal dengannya, semoga bisa adaptasi,ya?" kata Pak Kepala.

"Terima kasih, Pak," ucapku.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang